Gula Melimpah, Harga Naik ?

Gambar-Katun-Harakah-Gula-naikPertengahan Juni ini Pabrik Gula (PG) harus berani mengeluarkan produknya, walau akan bersaing dengan gula impor yang lebih murah. Pada saat bersamaan PG juga masih harus tetap melaksanakan musim giling menghasilkan gula. Sehingga gula dalam negeri bertambah banyak tersimpan gudang PG. Ironisnya, pemerintah terus membuka keran impor. Anehnya, harga gula tetap merambat naik menjelang bulan puasa dan persiapan Idul Fitri.
Hingga kini (di PTPN XI saja) masih terdapat sekitar 101 ribu ton lebih gula tersimpan di berbagai gudang di Jawa Timur. Itu hasil giling PG tahun 2013 lalu. Sebanyak 1.722 ton gula milik petani. Selebihnya, 66.521 ton milik pedagang, serta hampir 33 ribu ton milik PTPN XI. Secara nasional sampai bulan April 2014 (menjelang musim giling 2014) masih terdapat 800 ribu ton gula tersimpan di PG. Sedangkan serapan pasar hanya sekitar 100 ribu ton per-bulan.
Padahal sejak awal bulan Mei sudah dimulai pesta rakyat dengan bazar dan pasar lengkap. Daerah yang berada di sekitar pabrik gula (PG) sedang melaksanakan tradisi, pasca-tebang tebu. Walau sebenarnya harga tebu tidaklah “semanis” yang di-impikan. Petani tebu kelimpungan, karena biaya tanam lebih mahal dibanding hasil jual tebu ke pabrik gula (PG). Bahkan PG tak berani mengeluarkan hasil gulanya, karena kalah bersaing dengan gula impor.
Lebih lagi selama setahun terakhir, rendemen tebu sangat rendah. sehingga hanya sedikit menghasilkan gula. Produksi gula nasional akan menurun. Maka yang diuntungkan adalah importir gula, yang akan memperoleh tambahan kuota. Bahkan gula rafinasi (eks-impor) sebagai bahan baku industri makanan-minuman (mamin) juga dipasarkan secara bebas. Stok gula makin membanjiri pasar, harga anjlok, penghasilan petani makin jeblok.
Karena itu diharapkan pemerintah mempertimbangkan ulang kuota impor gula. Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian, bahwa izin impor gula (mentah) diberikan kepada perusahaan yang memiliki basis tebu atau ke-gula-an. Dus, dalam jajaran BUMN yang berhak adalah PT Perkebunan, atau perusahaan swasta pabrik gula. Tetapi kenyataannya, impor gula tidak hanya oleh industri gula, melainkan melalui “makelar” BUMN lainnya.
Ironisnya, pemerintah tidak pernah serius memperbaiki problem per-gula-an secara on-farm (urusan di lahan tebu) maupun off-farm (di PG). Agaknya pemerintah lebih memilih cara mudah, dan menguntungkan sesaat. Yakni, impor gula yang nyata-nyata lebih murah plus bonus pajak impor. Namun akibatnya, petani tebu dan PG semakin kelimpungan.
Tetapi bulan Juli merupakan saat yang tepat PG menggelontor stok gulanya ke pasar, bertepatan dengan naiknya permintaan. Bulan puasa Ramadan selama lebih dari lima dekade telah menjadi puncak permintaan kebutuhan gula. Ini bisa dimaklumi karena hampir seluruh rumahtangga membuat berbagai panganan berbahan gula. Lebih lagi menjelang Idul Fitri, segala bentuk jamuan setiap rumahtangga selalu menyertakan rasa manis.
“Manisnya” bulan Ramadan sudah menjadi adat budaya. Berdasarkan catatan di berbagai pasar induk, demand gula bisa melejit sampai 300% dibanding bulan-bulan selain Ramadan. Maka inilah kesempatan PG untuk cuci gudang, tak peduli harus bersaing dengan gula impor. Sebab biasanya masyarakat telah mengerti, bahwa kualitas gula lokal lebih manis, lebih bersih dan aman. Karena kualitas yang lebih baik itu, maka harga gula impor selalu dibawah harga gula lokal.
Menjelang Ramadan juga dijadikan kesempatan pedagang untuk mulai menaikkan harga gula. Walau hanya naik sekitar Rp 200-an per-kilogram di tingkat pengecer pasar tradisional. Ibu-ibu rumahtangga bisa memaklumi, ini hanya sebentar (sebulan) saja. Toh jika mau, masih ada yang lebih murah, yakni gula impor yang putih (diberi pemutih) dan tidak beraroma.

——- 000 ——-

Rate this article!
Tags: