Gula Rafinasi Marak, Gula Lokal Menumpuk di Gudang

HPP gula pada Agustus melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 45/2014 yang mencapai Rp 8.500 per kilogram tidak berdampak pada harga lelang gula.

Foto: ilustrasi

DPRD Jatim, Bhirawa
Maraknya gula rafinasi ke Jatim membuat gula lokal tidak terserap di pasaran. Akibatnya ribuan ton gula menumpuk di gudang milik PTPN XI tepatnya  di pabrik gula Wonolangan Probolinggo. Tak heran dengan masalah ini petani tebu merasa dirugikan karena pabrik gula tidak bisa membayar tebu yang dikirim ke pabrik sebagai akibat sepinya pembeli.
Manajer Pengolahan Pabrik Gula Wonolangan Probolinggo,  Teguh Ananto Wibowo mengaku sampai saat ini terdapat 14 ribu ton gula yang menumpuk di gudang pabrik.  Terjadinya tumpukan gula ini dikarenakan harga gula di pasaran anjlok, dari Rp 9.500 menjadi Rp 8.100 per kg. Selain itu permintaan gula di pasaran turun drastis. Jika kondisi pasar terus-terusan seperti ini, maka dipastikan petani tebu dan pabrik gula merugi. Karena itu, pihaknya berharap pemerintah mengkaji regulasi khususnya untuk mengatasi penumpukan gula akibat gula tidak bisa beredar di masyarakat. Selain itu pemerintah khususnya Pemprov Jatim diminta mengambil langkah tepat dalam menyelesaikan permasalahan ini.
“Jika terjadinya penumpukan gula ini tetap dibiarkan begitu saja maka dapat berakibat fatal karena gula lokal akan kalah dengan rafinasi. Di satu sisi ribuan petani tebu akan gulung tikar karena tidak bisa beli bibit dan pupuk akibat dana talangan yang ada di pabrik gula tidak cair karena gula lokal tidak terserap,”tambahnya, Selasa (30/9).
Dijelaskan Teguh posisi pabrik gula semakin terdesak. Mengingat pabrik gula tidak bisa menolak jika ada petani tebu yang minta digiling. Sementara pabrik gula sendiri kewalahan karena gudang yang ada sudah penuh. Selain itu pihak pabrik gula sendiri khususnya para sinder akan dikejar-kejar oleh pihak bank yang telah meminjamkan kredit ke petani. Petani sendiri tidak dapat mencicil kreditnya karena tidak ada uang,  para sinder dijadikan jaminan.
“Saat ini para sinder nasibnya gelisah karena dikejar-kejar terus dengan pihak bank. Padahal yang menikmati kredit bank para petani yang kini kesulitan bayar kredit akibat uangnya macet,”tambahnya.
Kondisi seperti ini, lanjut Teguh, seolah menjadi siklus yang terjadi setiap lima tahunan. Yaitu pada 2009 dan  2014. Tapi pada 2009 tidak separah ini, berbeda dengan tahun ini yang kondisinya sangat memprihatinkan. Kalau pemerintah tidak segera mengambil kebijakan dipastikan banyak pabrik gula yang merugi dan gulung tikar.
Terpisah, Sekretaris APTRI (Asosiasi Petani Tebu Repubik Indonesia) Jatim, Faikul Himam  mengatakan  anjloknya harga gula lokal  akibat dari melubernya gula impor di pasaran.  Padahal sesuai aturan, gula rafinasi hanya digunakan untuk industri, tidak diperbolehkan masuk di pasaran. Tapi fakta di lapangan gula impor sudah membanjiri pasar, imbasnya gula produksi lokal tidak bisa terserap pasar, akibat minimnya permintaan.
Untuk itu, ia  meminta pemerintah bertangungjawab atas permasalahan ini. Di mana pemerintah harus mengendalikan masuknya gula impor. Hal ini tidak saja tanggungjawab Pemprov Jatim,  tapi juga pemerintah pusat, dikarenakan Jatim ini juga menjadi pemasok gula untuk nasional. “Jika kran impor gula terus dibuka, maka ekonomi para petani tebu akan mati. Kalau perlu pemerintah harus menutup kran impor gula,” tambahnya.
Mantan Ketua Komisi A DPRD Jatim, Agus Dono Wibawanto menegaskan kondisi ini memang tidak boleh dibiarkan terus menerus karena akan mematikan petani tebu. Karena itu, harus ada kebijakan dari pemerintah pusat yang melindungi harga gula lokal agar stabil. Selain itu HET (Harga Eceran Tertinggi) yang ada sekarang harus dikatrol dari Rp 8.500 menjadi Rp 9.500 per kg. Apalagi saat dilelang hanya laku Rp 8.100/kg. “Ini jelas sangat merugikan petani. Karena itu harus ada pertemuan tripartit antara BUMN, Mendag dan Mentan untuk membicarakan kondisi ini,”lanjut politisi asal Partai Demokrat ini. [cty]

Tags: