Gunung Penanggungan Masuk Cagar Budaya Jatim

Gunung PenanggunganPemprov Jatim, Bhirawa
Pemprov Jatim menegaskan kawasan Gunung penanggungan merupakan Kawasan cagar budaya tingkat provinsi. Untuk itu setiap pengembangan di area gunung yang merupakan komplek peninggalan Raja Airlangga ini harus mendapatkan persetujuan dari kementerian kehutanan dan Gubernur Jatim.
Penegasan ini merupakan reaksi atas rencana Pemkab Mojokerto  yang akan membangunan jalan beton sepanjang 4 kilometer menuju lereng serta anak tangga hingga puncak Gunung Penanggungan.
Pemprov Jatim melalui Disbudpar Jatim mengingatkan agar pembangunan tersebut harus memenuhi aturan dan kebijakan yang ada. Kepala  Dinas Kebudayaan dan Pariwisata  (Disbudpar) Jatim, Dr.H.Jarianto mengungkapkan untuk menjaga dan melestarikan Kawasan Gunung Penanggungan, akhir tahun 2014 lalu telah terbit SK Gubernur yang memasukkan kawasan tersebut menjadi cagar budaya tingkat provinsi. Selanjutnya, ke depan kawasan tersebut juga tengah diusulkan menjadi cagar budaya tingkat nasional.
“Jadi Pemkab Mojokerto tidak bisa melangsung pembangunan tersebut tanpa seizin dari Kementerian Kehutanan dan Gubernur Jawa Timur,” kata Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jatim, Dr H Jarianto MSi, Rabu (4/2).
Sebab, lanjutnya, kawasan juga ditemukan lebih dari 113 situs purbakala tersebar di gunung Penanggungan. Bahkan, Gunung Penanggungan itu sudah ada sejak jaman Mpu Sendok hingga Majapahit akhir diakui sebagai tempat paling suci menurut agama Hindu.
Bahkan dalam riset yang dilakukan Universitas Surabaya (Ubaya), Gunung Penanggungan itu merupakan kawasan spiritual sejak zaman Mataram hingga Majapahit, sehingga situs yang tersimpan pada satu gunung inti, empat gunung sekunder, dan empat bukit penyangga di kawasan itu berasal dari enam abad, karena angka yang tercatat di sana menyebutkan sejak abad ke-10 (899 Saka atau 977 Masehi) hingga abad ke-16,
“Di situ tempat penyimpanan situs, arca, dan lainnya yang berharga dan sakral,” katanya.
Bahkan, ditambahkannya, banyaknya situs purbakala yang tersebar di gunung Penanggungan tersebut erat kaitannya dengan puncak Mahameru yang juga diyakini masyarakat sebagai satu diantara gunung suci.
“Dan mitos itu kemudian memunculkan konsentrasi banyak situs purbakala yang tersebar di gunung Penanggungan yang terlihat kecil tetapi bermakna besar bagi kehidupan masyarakat Jawa,” katanya.
Menilik hal itu, lanjut Jarianto, sudah seharusnya kawasan tersebut harus benar-benar dilindungi dan dilestarikan. Bahkan, pihaknya juga terus bekerjasama dengan lembaga dan pemerintah kabupaten/kota yang ada di kawasan Gunung Penanggungan tersebut.
“Jangan sampai ada pembangunan yang mengarah pada pengerusakan lingkungan yang ada di kawasan Gunung Penanggungan tersebut. Jika memang ada, tentunya akan ada sanksinya. Sebab tempat itu layak sebagai cagar budaya,” katanya.
Pengelolaan cagar budaya yang sudah ditetapkan provinsi, maka pemkab/kota bekerjasama dengan beberapa menteri seperti menteri kehutanan, menteri pendidikan dan kebudayaan, Bupati Mojokerto, Bupati Pasuruan, dan Gubernur juga terdapat dari akademisi yaitu Universitas Surabaya (Ubaya).
“Pengawasan juga telah dilakukan melalui BP3 Mojokerto, ada 15-20 orang untuk menjaga kawasan dan seisinya seperti situs dan arca juga lainnya,” katanya.
Di sisi lain, dalam rangka melestarikan dan menjaga kawasan cagar budaya di masing-maisng kabupaten/kota. Jarianto menghimbau pada seluruh kabupaten/kota yang mempunyai cagar budaya hendaknya segera menyusun peraturan daerah  tentang cagar budaya. [rac]

Situs Budaya Gunung Penanggungan
Lebih dari 113 situs purbakala tersebar di gunung Penanggungan.
Sejak jaman Mpu Sendok (pendiri kerajaan Jenggala) hingga Majapahit akhir diakui sebagai tempat paling suci menurut agama Hindu.
Riset yang dilakukan Universitas Surabaya (Ubaya), Gunung Penanggungan itu merupakan kawasan spiritual sejak zaman Mataram hingga Majapahit, sehingga situs yang tersimpan pada satu gunung inti, empat gunung sekunder, dan empat bukit penyangga di kawasan itu berasal dari enam abad, karena angka yang tercatat di sana menyebutkan sejak abad ke-10 (899 Saka atau 977 Masehi) hingga abad ke-16.

Tags: