Aktivitas Gunung Raung Kembali Bergolak Hebat

Gunung Raung

Gunung Raung

Pemprov, Bhirawa
Aktivitas vulkanik Gunung Raung kembali meningkat dalam lima hari terakhir. Sebaran abu vulkanik dari letusan Gunung Raung makin tebal dan meluas.
Berdasarkan data PVMBG (Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi), tremor masih menerus dengan amplitudo 8-32 mm dominan 31 mm. Ini mengindikasikan suplai magma ke permukaan kawah masih berlangsung. Asap kelabu tebal dengan tekanan lemah, tinggi 1.000 meter ke Selatan-Tenggara.
“Letusan strobolian masih menerus. Dengan tipe magma yang encer dan miskin gas maka tidak akan ada letusan yang besar. Terlihat cahaya api dan suara gemuruh lemah-sedang. Status Siaga (level 3). Radius 3 km harus kosong dari aktivitas masyarakat,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana) Sutopo Purwo Nugroho, melalui siaran pers yang diterima Bhirawa, Kamis (6/8).
Menurut dia, berdasarkan citra Satelit Himawari pada 6-8-2015 pukul 08.00 Wib, sebaran abu meluas ke Selatan-Tenggara. Jarak terdekat debu vulkanik dari Bandara Ngurai Rai hanya sekitar 18 km. Kondisi demikian menyebabkan Bandara Ngurah Rai ditutup sementara pada pukul 11.00-17.00 Wib berdasarkan NOTAMN A1635/15.
Hujan abu vulkanik terjadi di Kec Songgon, Sempu, Singojuruh, Glenmore, Genteng, Pesanggrahan, dan Kalipuro Kabupaten Banyuwangi. BPBD Banyuwangi membagikan 4,250 masker kepada masyarakat. Bandara Blimbingsari di Banyuwangi juga masih ditutup.
“Kami juga menginformasikan ada gempa 5,3 SR dengan pusat gempa di dasar laut di 145 km tenggara Klungkung Bali pada kedalaman 10 km pada 6-8-2015 pukul 12.05 Wib hanya dirasakan lemah di Klungkung. Masyarakat tidak panik. Aktivitas masyarakat normal,” pungkasnya.
Sementara itu, akademisi Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya menyarankan kepada pemerintah maupun instansi terkait agar proses penanggulangan bencana jangan menunggu setelah ada peristiwa terjadi.
“Sudah menjadi kebiasaan bahwa penanganan bencana datang setelah peristiwa tejadi, padahal bencana tidak semua terjadi tiba-tiba, tapi terkadang rutin terjadi,” ujar Koordinator Pusat Studi Kebumian Bencana dan Perubahan Iklim (PSKBPI) ITS, Amien Widodo, di sela seminar hasil penelitian PSKBPI di Gedung Rektorat ITS Surabaya, kemarin.
Menurut dia, pemahaman terhadap bencana lebih banyak sebagai sesuatu kejadian yang tidak bisa diprediksi karena beberapa sebab, di antaranya menganggap bencana sebagai takdir dan musibah yang harus serta layak diterima masyarakat. “Pemahaman inilah yang menyebabkan Negara ini hanya mengenal penanganan bencana setelah terjadi, mirip konsep pemadam kebakaran, yang datang memadamkan setelah ada kebakaran,” katanya.
Ia menjelaskan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana akan merubah paradigma penanggulangan bencana dari responsif (terpusat pada tanggap darurat dan pemulihan) ke preventif (pengurangan risiko dan kesiapsiagaan).
“Tetapi dalam pelaksanaannya masih sedikit program-program pengurangan risiko bencana yang terencana dan terprogram. Yang harus diingat, risiko bencana dapat dikurangi melalui program pembangunan yang berprespektif pengurangan risiko serta pendataan ruang berdasarkan pemetaan dan pengkajian risiko bencana,” katanya. [iib]

Tags: