Guru Bahasa Daerah Dituntut Kreatif

wpid-img-20130301-wa0005Surabaya, Bhirawa
Pemprov Jatim telah menetapkan mata pelajaran (mapel) bahasa daerah sebagai muatan lokal wajib di semua sekolah/madrasah mulai dari tingkat SD hingga SMA. Hal itu telah diatur dalam Pergub Nomor 19 Tahun 2014 tentang mapel bahasa daerah sebagai muatan lokal wajib.
Kebijakan ini mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya adalah Ketua Jurusan (Kajur) Pendidikan Bahasa Daerah Universitas Negeri Surabaya (Unesa) Sukarman. Menurut dia, melalui muatan lokal kedaerahan siswa dapat belajar mengenai kebahasaan dan budaya lokal tempat tinggal. Dengan demiian anak akan dididik menjadi pribadi ramah terhadap kearifan lokal.
“Kebijakan ini sangat positif dan bisa mendekatkan anak dengan nilai-nilai kedaerahan. Bahasa daerah itu penuh dengan karakter, budi pekerti, unggah-ungguh dan lain sebagainya. Kalau mereka mengerti dan menerapkannya akan jadi pribadi yang baik,” kata Sukarman, Senin (14/7).
Dampak baik saja tidak cukup, menurutnya, dalam penerapan bahasa daerah harus ada upaya tenaga pengajar agar siswa senang saat mempelajari. Dia mengakui, guru bahasa daerah saat ini minim inovasi dan kreativitas, sehingga siswa-siswi kurang tertarik mempelajarinya.
“Rata-rata cara mengajar mereka asal mengajar saja, tidak ada upaya agar anak-anak suka. Padahal jika ada inovasi akan membuat anak-anak tertarik dan merasa senang,” ungkapnya.
Secara kualitas pada dasarnya para pengajar mapel bahasa daerah sesungguhnya sudah bagus. Karena sebelum menjadi sarjana mereka sudah diwajibkan paham betul tentang kebahasaan, kesastraan dan kebudayaan daerah. Hanya saja dalam perkembangannya mereka tidak mau belajar lagi, sehingga terkesan kaku, ketinggalan dan membosankan saat mengajar.
Terkait tenaga pengajar, Sukarman mengaku Jatim memang kekurangan guru bahasa daerah. Namun, untuk bakal calon guru bahasa daerah lulusan S1, saat ini ada tren peningkatan.
“Minat jadi guru bahasa daerah di Unesa meningkat. tahun 2014 ini saja yang mendaftar untuk jalur undangan lebih dari 1.000 peserta padahal yang diterima hanya 24 orang,” jelas dia.
Selain itu, harus ada kebijakan lain yang dipikirkan. Apalagi, jumlah sekolah yang ada di Jatim dari SD sampai SMA sangat banyak. Sementara guru yang sudah S1 dan bersertifikasi jumlahnya tidak mencukupi. Di Jatim saja, Prodi Bahasa Daerah hanya ada di Unesa. Menurut dia, untuk memenuhi tenaga pengajar bahasa daerah bisa mengambil dari provinsi lain seperti dari Jawa Tengah maupun Yogyakarta asal Program Studi (Prodi) yang mengeluarkan sarjana Strata-1 bahasa daerah sudah terakreditasi.
Terpisah, Sekretaris Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim Sucipto menjelaskan, berdasarkan Pergub Nomor 14 Tahun 2014 tersebut, ada dua bahasa yang akan diajarkan di sekolah/madrasah Jatim, yakni Bahasa Madura untuk wilayah Bangkalan, Sumenep, Pamekasan dan Sampang. Serta Bahasa Jawa untuk 34 kabupaten/kota lainnya.
“Kami tidak memakai bahasa Osing karena bukan termasuk bahasa daerah, tetapi hanya logat karena tidak memiliki struktur yang baku,” terangnya.
Bahasa daerah ini akan diberikan selama dua jam per minggu, baik tingkat SD, SMP dan SMA. Bagi SD dan SMP hal itu tidak akan bermasalah karena di kurikulum lama sudah diterapkan, meski kurang optimal. Sementara bagi SMA, ini adalah kebijakan baru yang belum pernah ada di kurikulum sebelumnya. [tam]

Rate this article!
Tags: