Guru, Cinta dan Perjuangan

Cinta Sang GuruResensi buku :
Judul    : Cinta Sang Guru
Editor    : A. Mintara Sufiyanta, SJ
Penerbit   : Kanisius
Cetak    : I, 2014
Tebal    : 352 Halaman
Peresensi  : Abdullah Hanif
Direktur Duta Institute Jogja
Education is an act of love, and thus of an act courage (Paulo Freire)

Putus asa dan menangis. Itulah yang dirasakan seorang guru tatkala mengajar di kelas. Bagaimana tidak, guru sama sekali tidak dihargai eksistensinya. Kelas riuh dan gaduh. Bahkan salah seorang siswa berani melawan guru dan berbuat sesuka hati. Fenomena tragis tersebut hampir dirasakan seluruh guru tatkala mengajar di kelas tersebut.
Rasa cinta terhadap siswa mendorong sang guru mendekati anak tersebut. Rupanya, ia hanya seorang anak yang kurang perhatian dan kasih sayang dari orangtua. Ia memang tergolong anak beruntung lantaran lahir dalam keluarga berada. Sayangnya, kesibukan orangtuanya membuatnya hidup sebatang kara. Ia menjadi liar dan ‘nakal’.
Pendekatan cinta yang dilakukan oleh sang guru berbuah manis. Siswa tersebut mengeluarkan segala keluh kesahnya. Hingga akhirnya ia menangis dan memeluk erat sang guru. Ia benar-benar merindukan belaian dan kasih sayang orangtua. Sejak saat itu, ia berubah menjadi yang sopan dan hormat kepada para guru.
Kisah ini merupakan salah satu dari 40 kisah dalam buku Cinta Sang Guru. Buku ini adalah bungai rampai kisah-kisah guru dedikatif dan inspiratif. Bukan hanya mengajar, lebih dari itu, guru hadir dengan segenap jiwa untuk menemani siswa. Kisah-kisah dalam buku ini mampu menjungkirbalikkan perasaan pembaca. Kadang kita dibuat tersenyum, tertawa hingga meneteskan air mata.
Guru merupakan sosok pencetak peradaban. Di balik peranannya yang vital, tugas guru itu tidak sebatas mengajar tetapi juga mendidik. Dengan mendidik, guru akan memastikan anak didiknya siap untuk menghadapi perubahan yang terjadi. Karena itu, bila dibandingkan dengan mengajar, mendidik jauh lebih sulit. Nah, disinilah tugas hakiki seorang guru.
Konsekuensinya jelas, guru dituntut mampu menjadi contoh bagi siswa dan juga memahami karakter masing-masing siswa. Tujuannya, agar siswa dapat hidup lebih terarah, bermanfaat dan berakhlak mulia tentunya.
Untuk itu, Paulo Freire,  di atas, menyebut pendidikan adalah seni mencintai. Karena hanya lewat cinta pendidikan mampu sampai ke dalam relung-relung hati siswa. Cinta menjadi oase keabadian antara guru dan siswa. Cinta dari guru dapat mengantarkan anak didiknya menuju gerbang kemerdekaan jiwa dan memasuki dunia ilmu pengetahuan yang tidak berbatas. Cinta jugalah yang membuat guru menjadi inspirator dan mediator dalam mengembangkan kepribadian, moralitas dan kapasitas intelektual anak didik.
Doa Guru
Dalam kisah berjudul Mendengar dengan Hati diceritakan, Sr. Crescentiana sedih melihat keadaan siswa nakal, ugal-ugalan, dan tidak pernah mengerjakan PR. Ditambah lagi, siswa kerapkali melakukan sikap tercela seperti mengumpat dan berkata-kata kotor. Ia merasa sikap tersebut tidak sepantasnya dilakukan oleh orang yang terdidik.
Prihatin dengan kondisi tersebut, ia berdoa untuk keselamatan, kesuksesan, dan keberkahan anak didiknya setiap hari. Baginya, berdoa merupakan strategi untuk menjadikan siswa sebagai manusia seutuhnya. Mendoakan para siswa adalah bukti guru mencinta anak didik. Bukti yang tidak penting untuk diperlihatkan kepada siapa pun, kecuali Tuhan semata.
Hal ini terus dilakukan Sr. Crescentiana setiap hari. Guru SLB Dena-Upakara Wonosobo ini selalu meluangkan waktu untuk mendoakan siswanya. Mukjizat datang. Salah satu siswa paling nakal dan malas di sekolah justru kini menjadi siswa berprestasi. Bahkan mampu menjadi siswa paling membanggakan di sekolah. (hal. 15-24)
Kisah inspiratif lainnya diceritakan oleh Mansata Indah Dwi Utari. Ia adalah guru di SMP Islam Assalam Grobogan. Karena hampir semua siswanya dari kalangan ekonomi menengah ke bawah dan tidak menyadari arti pentingnya pendidikan, ia harus berjibaku melawan kondisi tersebut.
Puncaknya, ketika momen ujian nasional (UN) tiba. Ia harus memberikan les tambahan bagi siswanya. Nahasnya, para siswa dilarang orangtua mereka pergi ke sekolah di siang hari. Karena mereka harus menggembala kambing dan mengambil rumput. Ia terpaksa mengambil langkah taktis. Yakni mengerjakan les tambahan di hutan bersama siswa dan hewan gembala.
Hal tersebut dilakukan hampir sebulan penuh. Tatkala momen UN tiba, satu hal paling membanggakan ketika siswa berkomitmen tidak melakukan kecurangan. Ia lebih memilih tidak lulus daripada lulus melalui kecurangan.  Alhamdulillah, pengorbanan tidak sia-sia. Para siswa mampu lulus dengan nilai memuaskan. (hal. 195)
Buku setebal 352 halaman ini mengajak para pembaca menapaki etika dan estetika hidup sebagai guru melalui sebuah cerita perjalanan. Lewat lakon guru-guru inspiratif, pembaca diajarkan nilai-nilai pendidikan yang hakiki. Buku ini mengajarkan arti pendidikan tanpa bertele-tele. Ini sebuah cerita yang mengandung keprihatinan, keringat perjuangan, kesedihan maupun keletihan batin.
Di sisi lain, ada pula kebahagiaan batin, kepuasan hati, kegembiraan yang dirayakan bersama, serta harapan akan tumbuh dan berkembangnya tunas-tunas muda. Semua energi itu terpancar dari cinta tulus sang guru kepada siswanya.

                                                            —————————— *** ——————————–

 

Rate this article!
Tags: