Guru Inovatif Berbasis Literasi

Oleh :
Sri Hartono
Pustakawan Ahli Muda Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Jawa Timur

Inovasi menjadi sebuah kunci penting bagi guru dalam pengimplementasian konsep Merdeka Belajar. Guru dituntut untuk lebih fleksibel, tidak selalu berposisi di depan sebagai pusat dalam proses transfer ilmu.

Sesuai filosofi pendidikan yang diwariskan Ki Hajar Dewantara, guru bisa berada di mana saja dengan misi berbeda. Ada saatnya guru harus di depan untuk menjalankan peran sebagai pemberi contoh dan pengarah (ing ngarsa sung tuladha), di tengah-tengah siswa untuk membangun motivasi belajar secara mandiri dengan mendayagunaan secara optimal potensi otaknya (ing madya mangun karsa), dan terkadang perlu ada di belakang untuk mendorong para peserta didik berani tampil mengemukakan pemikiran dan skillnya (tut wuri handayani).

Dengan berlandaskan filosofi tersebut, pembelajaran akan berjalan sesuai esensinya yaitu membangun pemahaman siswa terhadap ilmu pengetahuan. Pembelajaran tidak lagi menitik beratkan pada hafalan yang berorientasi pada tercapainya nilai berupa angka.

Untuk bisa membangun pemahaman siswa, diperlukan inovasi guru untuk menghidupkan suasana pembelajaran dan menggerakkan siswa untuk berpartisipasi aktif. Dengan metode ini, siswa akan memiliki kemampuan untuk membuktikan secara ilmiah kebenaran sebuah formula atau teori. Tidak menutup kemungkinan siswa akan melahirkan teori baru yang bisa dipertanggung jawabkan secara ilmiah pula.

Tuntutan untuk menjadi pendidik yang inovatif dengan sendirinya akan memacu motivasi para guru untuk terus belajar. Aktivitas belajar bukan hanya menjadi kewajiban siswa. Sesuai makna pembelajaran sepanjang hayat, guru juga harus menjadi yang terdepan dalam belajar, baik untuk memperdalam penguasaan ilmu maupun menguasai berbagai varian teknik mengajar. Di sinilah pentingnya kerja sinergis antara guru dan pustakawan sekolah.

Sebagai bagian dari wahana belajar sepanjang hayat, perpustakaan sekolah adalah elemen penting dalam pelaksanaan konsep Merdeka Belajar. Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 mewajibkan perpustakaan sekolah untuk memiliki koleksi buku teks pelajaran yang ditetapkan sebagai buku teks wajib pada satuan pendidikan yang bersangkutan dalam jumlah yang mencukupi untuk melayani semua peserta didik dan pendidik. Selain itu, perpustakaan sekolah diharapkan mampu mengembangkan koleksi lain yang mendukung pelaksanaan kurikulum pendidikan Dari koleksi bahan pustaka itulah guru bisa menguatkan penguasaan ilmunya sekaligus mengasah daya inovasinya.

Persoalannya, seberapa siapkah perpustakaan sekolah mensupport kebutuhan para guru untuk berinovasi?

Secara kuantitas, data menunjukkan bahwa jumlah perpustakaan sekolah yang telah terakreditasi masih sangat jauh di bawah 50 persen dari total sekolah di Indonesia. Menurut data yang dirilis lembaga Statistik Indonesia, ada 394.708 unit sekolah tersebar di seluruh daerah. Sementara itu, data Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa jumlah perpustakaan sekolah yang telah terakreditasi hanya 8.662. Artinya, prosentase sekolah yang perpustakaannya belum terakreditasi ditambah dengan yang belum memiliki mencapai lebih dari 97 persen,

Secara umum, perpustakaan sekolah masih memiliki masalah-masalah mendasar, antara lain: terbatasnya buku-buku perpustakaan sekolah yang bermutu sebagai sumber belajar. sebagian pengelola perpustakaan kurang profesional dan kurang memahami arti penting perpustakaan sebagai wahana belajar yang efektif, serta implementasi pengelolaan perpustakaan terkesan apa adanya.

Agar bisa menjadi elemen pendukung Merdeka Belajar, perpustakaan sekolah membutuhkan lebih dari sekadar relokasi atau renovasi tetapi juga revitalisasi.. Tidak ada salahnya pengelola perpustakaan sekolah di Indonesia belajar dari negara yang pelajarnya jauh lebih kuat literasinya. Dari negara-negara itulah bisa diketahui bagaimana kontribusi perpustakaan sekolahnya terhadap pembangunan kecerdasan para pelajar.

China misalnya. Ternyata, di balik tingginya kualitas literasi pelajar China ada peran vital perpustakaan sekolah. Di negeri Tirai Bambu itu perpustakaan sekolah bukan bangunan pelengkap ala kadarnya.

Perpustakaan Beijing Jingshan School contohnya. Jejak digital menunjukkan bahwa perpustakaan ini letaknya ada di dalam bangunan utama sekolah, bukan di belakang dekat toilet. Desainnya pun diatur dengan mengedepankan prinsip kenyamanan untuk para siswa dan guru di sekolah tersebut. Fasilitas berupa koleksi buku dan lainnya terbilang lengkap. Maka tidak heran jika siswa dan guru menjadikan perpustakaan sebagai destinasi favorit saat tidak berada pada jam belajar di kelas.

Berdasarkan gambaran tersebut, bisa ditarik kesimpulan bahwa perpustakaan sekolah di China mempunyai peran sama vitalnya dengan ruang-ruang kelas. Guru dan pustakawan sekolah adalah dua pemeran utama dalam proses peningkatan kecerdasan siswanya.

Kesadaran akan pentingnya kerja kolaboratif inilah yang kemudian ditegaskan secara ekplisit oleh UNESCO dalam Manifesto Perpustakaan Sekolah. Manifesto tersebut menyebutkan bahwa jika pustakawan dan guru bekerja sama dengan baik, maka seluruh murid punya kemampuan literasi yang baik, sanggup memecahkan masalah, serta menguasai teknologi informasi dan komunikasi.

Dengan pola pikir sama seperti China, transformasi perpustakaan sekolah juga dilakukan di Kanada. Di negara yang literasi pelajarnya masuk daftar sepuluh terbaik dalam program PISA 2018 itu, perpustakaan sekolah jauh dari kesan sebagai gudang buku.

Seperti halnya di Beijing Jingshan School, salah satu perpustakaan sekolah di Kanada terletak di titik utama terjadinya mobilitas para siswa dan guru. Selain menawarkan kehangatan dari cahaya matahari yang memantul ke dalam perpustakaan melalui 3 jendela kaca besar, posisinya juga memberikan nuansa keindahan karena menghadap ke taman. Selain bagian dalam perpustakaan yang sangat nyaman, taman di depannya adalah tempat favorit para siswa saat menikmati buku bacaan.

Sebagai bentuk dukungan terhadap upaya merevitalisasi perpustakaan sekolah di Indonesia, Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (Dispersip) Jawa Timur secara kontinu menjalankan program LTPS (Layanan Terpusat Perpustakaan Sekolah). LTPS adalah suatu kegiatan yang berupaya memberikan bantuan layanan perpustakaan yang dilakukan secara terpusat bagi sekolah-sekolah yang berada dalam suatu area tertentu (area library services system). Bentuk kegiatannya adalah dengan memberi bantuan pinjaman buku dalam jumlah besar, dalam jangka waktu tertentu dan menerapkan sistem rotasi. Diharapkan, perpustakaan sekolah yang menjadi sasaran LTPS dapat mendayagunakan koleksi perpustakaan induk secara optimal, efektif dan efisien sebagai pusat sumber bahan pustaka penunjang kegiatan belajar mengajar.

Diharapkan program LTPS yang dijalankan di Jawa Timur itu bisa diikuti Dinas Perpustakaan di semua daerah untuk menunjang gerakan nasional revitalisasi perpustakaan sekolah. Dengan koleksi bahan pustaka dan fasilitas yang memadai, para guru akan mempunyai banyak referensi untuk melakukan inovasi pembelajaran dalam kerangka Merdeka Belajar.

———- *** ————

Rate this article!
Tags: