Guru Ngaji dan Diniyah Terabaikan

Oleh :
Maswan
Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan UNISNU Jepara, Mahasiswa Manajemen Kependidikan (S3) Unnes Semarang.

Dalam Undang-Undang No. 2 tahun 1989 atau Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), kedudukan madrasah sama dengan sekolah, hanya ditambah berciri khas agama Islam. Lebih lanjut, dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU SISDIKNAS) atau UU No. 20 tahun 2003, sama sekali tidak membedakan antara madrasah dan sekolah. Dengan kata lain madrasah adalah sekolah tanpa ada embel-embel berciri khas agama Islam. Dalam undang-undang tersebut, secara khusus tidak menyebut pendidikan nonformal dalam bentuk Kelompok Belajar Mengaji (belajar al Qur’an) dan Madrasah Diniyah yang dilakukan oleh masyarakat.
Ini artinya, dalam kerangka sistem pendidikan nasional, pendidikan non-formal ikut bagian yang tidak terpisahkan. Sebutan ustadz, mudarris, mu’allim, murabbi dan mu’addib di Pondok Pesantren, Madrasah Diniyah dan Kelompok Belajar mengaji al Qur’an di masyarakat (kelompok ngaji- di Masjid, mushalla dan di rumah-rumah), juga ada orang yang mengajar (guru) yang ikut membangun karakter bangsa yang religius..
Kehadiran guru, apapun jenis gurunya, baik guru pendidikan formal (sekolah/madrasah) dan pendidikan non-formal (guru ngaji dan diniyah) dikiaskan seperti para pahlawan di medan untuk membasmi musuh. Guru sebagai pahlawan untuk membasmi kebodohan dan keterbelakangan, serta sebagai penyelamat bangsa untuk menata tata nilai budaya yang luhur. Lantas yang menjadi pertanyaan mendasar adalah apakah semua guru (termasuk guru madsasah diniyah dan guru mengaji) yang ada di negeri ini sudah mendapat pengakuan sebagai pahlawan yang patut dihargai?
Mengapa mereka harus dihargai? Karena hanya gurulah yang mempunyai peran strategis dan tugas mulia untuk mengangkat peradaban bangsa. Peran guru tersebut adalah; (1) menjadi pelita (rahmat) bagi alam semesta, (2) memberikan petunjuk ke jalan yang benar, (3) memberi peringatan kepada murid-murid dan masyarakat, (4) menjadi teladan yang baik, dan (5) sebagai pahlawan dan pewaris para Nabi.
Guru Ngaji dan Diniyah
Membahas konsep guru seperti diungkap di atas, pemerintah dalam hal ini Kementerian Kebudayaan dan Pendidikan, mulai awal kemerdekaan sampai saat ini belum menyentuh dan memberi apresiasi secara khusus terhadap peran ustadz (guru diniyah dan guru ngaji) di lembaga pendidikan nonformal yang ada di kelompok masyarakat.
Pengakuan hukum perundangan pendidikan, keberadaan guru madrasah diniyah dan guru ngaji masih dipandang sebelah mata, bahkan nyaris tidak pernah terlihat dan mendapat sentuhan dari pemerintah. Padahal ustadz-ustadz yang jumlahnya ribuan dan bahkan juataan di Indonesia, mempunyai kotribusi yang luar biasa terhadap pembentukan manusia yang beriman dan bertaqwa.
Rumusan tujuan pendidikan nasional yang berbunyi pembentukan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi yang beragama Islam, tidak sepenuhnya dibentuk oleh guru-guru formal di sekolah.
Justru ‘ustadz-ustadz kampung’ lah yang dengan sukarela dan ikhlas memberi fondasi nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan lewat pendidikan keagamaan. Kegiatan pembelajaran atau bentuk sorogan mengaji al-Qur’an, Ilmu Tauhid, Fiqih, Ta’lim Muta’alim dan sejenisnya yang dilakukan pada malam hari di masjid, mushalla, langgar atau di rumah-rumah, yang mendidik kejujuran dan karekter keagamaan anak yang kental.
Dan anak yang didik dengan nilai agama kuat tersebut kelak di kemudian hari, tidak menjadi pemalsu barang-barang yang diharamkan, apalagi sampai memalsukan ijazah. Karena karakter anak terbentuk sejak dini.
Guru Tanpa SK
Eksistensi guru Madrasah Diniyah dan Guru Ngaji belum pernah mendapat pengakuan dan penobatan dari tokoh-tokoh masyarakat apalagi pemerintah. Tidak pernah mendapat SK pengangkatan guru. Mereka tampil atas inisiatifnya sendiri. Para jebolan pesantren yang sudah pulang kampung atau lulusan madrasah, awal mula mengajari anak-anaknya sendiri dan anak-anak tetangga sekitar. Promosi belajar mengaji ini adalah lewat anak-anak, dengan cara mengajak temannya.
Dan yang menarik, justru anak-anak yang mengaji itu terkadang tidak didaftarkan oleh orang tuanya ke ustaznya. Mereka masuk dan keluar tidak pernah tercatat dalam bentuk administrasi pendidikan, tidak ada uang pendaftaran dan juga tidak ada uang SPP. Guru tidak dibayar.
Kelompok belajar agama seperti ini ada di Indonesia terutama di daerah pedesaan, awalnya diprakarsai oleh para wali (walisongo), kemudian diwariskan dari generasi ke generasi yang berjalan sebelum merdeka, masa kemerdekaan dan sampai hari ini pun masih ada kelompok belajar mengaji seperti itu.
Perlu Apresiasi
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), dan secara husus Dirjen GTK (Guru dan Tenaga Kependidikan) selain memberi harapan kesejahteraan kepada guru (pendidikan formal) di sekolah/madrasah, seharusnya juga memberi apresiasi kepada guru-guru non-formal seperti guru ngaji dan guru-guru madrasah diniyah dan guru ngaji.
Prof. Muhadjir, selaku Menteri Kebudayaan dan Pendidikan yang konon sangat memperhatikan peran guru di Indonesia, tidak ada salahnya kalau guru pendidikan nonformal juga ikut disentuh. Karena bagaimanapun, mereka juga ikut andil dalam mendidik anak bangsa ini, terutama dalam bidang spiritual keagamaan (keimanan dan ketaqwaan).
Dalam kerangka berpikir sistem, untuk membangun watak dan nilai-nilai keagamaan tidak mungkin terwujud hanya dilakukan di dalam pendidikan formal. Pendidikan keluarga (informal) dan pendidikan masyarakat (non-formal), harus juga mendapat sentuhan yang lebih serius. Revolusi mental yang digagas oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi), akan dapat terwujud kalau sistem pendidikan nasional juga ikut direvolusi sistem pengelolaannya, memberdayakan semua guru, termasuk di dalamnya adalah guru-guru madrasah diniyah dan guru ngaji.

                                                                                                        ———— *** ————-

Rate this article!
Tags: