Guru Pembelajar Idola Anak-Anak

Oleh:
Slamet Yuliono
Guru SMP Negeri 1 Turen Kabupaten Malang

GURU ‘out of date’ lebih banyak menjadikan anak-anak sebagai sarana uji coba kegagalan cita-citanya dibandingkan membantu anak-anak menggapai dunia dan impiannya. Terbukti hingga ‘era millenia’ masih ditemui anak-anak yang gagal ‘move on’, stres, frustrasi bahkan ada yang berusaha bunuh diri karena dunianya terbajak oleh impian guru.

Mengantisipasi sekaligus mengurangi dampak buruk tersebut terus berlangsung, sudah saatnya guru perlu belajar banyak dalam menyelami dunia anak-anak. Distingsi antara dunia orang dewasa dan dunia anak-anak perlu dipertegas dimulai dari lingkungan keluarga, pendidikan formal, dan masyarakat, agar tidak terlahir lagi anak ‘instan’. Masa anak menuju kedewasaan dirinya harus dijalani dengan pemaksaan kehendak untuk mengikuti kemauan guru yang disetujui orang tua.

Mereka lupa bahwa perkembangan psikologi anak yang mencakup aspek kognitif, motorik, emosi, spritual, kemampuan bahasa perlu dikawal dan diarahkan degan benar agar berjalan seiring perkembangan fisik secara gradual simultan.

Kenyataannya banyak guru telanjur memuja perkembangan di aspek kognitif saja. Mereka lebih menginginkan anak binaanya harus pintar membaca, menulis, dan berhitung dibanding membiasakan diri dengan budaya mengantri, meletakkan sampah pada tempatnya, dan menghormati guru dan sesama teman.

Yang terjadi saat ini, dunia pendidikan kita perlu ditinjau ulang, jam pelajaran sekolah terus ditambah, anak-anak diikutsertakan dalam dunia iklan dan digenjot ikut les tambahan demi ambisi. Tanpa berpikir apa bakat dan kesukaan yang dimiliki anak didiknya. Guru tidak mau tahu posisi anak, yang penting terpenuhi syahwat egonya.

Belajarlah dari perjalanan belajarnya Thomas A Edison (1847-1931), manusia jenius yang diusir dari sekolah. Gegara ambisiusnya seorang guru bernama Mr Crewford yang teropsesi bahwa baca tulis menjadi ‘dewa’ keberhasilan proses mendewasakan siswa. Beliau dengan ceroboh terlanjur memberi ‘label’ kepada Thomas bukan anak yang ‘pintar’, dan di puncak kekesalnya terpaksa mengembalikan dia dari sekolah ke orang tua. Alasan Mr. Crewford si kecil Thomas saat mengikuti pembelajaran yang diberikan tidak fokus dan lebih tertarik menggambar sesuai imajinasinya yang luas. Sering mengabaikan tugas yang diperintahkan guru itulah yang menjadi sumber alasan atas kekurangpekaan siswa.

Berdasar kisah yang dipaparkan oleh David M Atkinson, Thomas kecil pulang dari sekolah dengan membawa lipatan kertas dari gurunya bertuliskan, “Keep this boy at home. He is too stupid to learn”. Itulah vonis guru yang tak pernah belajar menjadi anak-anak. Guru yang lebih menonjolkan ego dan mengabaikan simpati.

Melihat permasalahan dihadapi Thomas A. Edison yang lebih tertarik mengikuti alur imajinasinya dibandingkan mengikuti instruksi guru untuk membaca dan menulis, tepat apa yang Rousseau dalam Neil Postman: ‘… katakan bahwa membaca adalah sebuah hukuman bagi masa kanak-kanak’.

Karena buku-buku mengajarkan kita untuk mengatakan hal-hal yang sama sekali tidak tahu. Bagi Neil Postman, membaca akan menjadi hukuman bagi anak-anak karena dalam tataran tertentu, membaca menciptakan masa dewasa. Membaca memungkinkan seseorang memasuki sebuah dunia pengetahuan yang nonpengamatan dan abstrak, sementara anak-anak butuh pengalaman dan pengamatan konkret.

Beruntung Thomas mempunyai Ibu Nancy Edison, sosok orang tua yang mampu memahami keunikannya dengan tetap mendukung imajinasi Thomas sekaligus juga dengan sabar mengajari membaca dan menulis. Nancy Edison mampu memahami keunikan Thomas dan merekayasa lingkungannya untuk proses tumbuh kembang Thomas. Nancy Edison mampu memahami dunia Thomas dengan baik. Itulah yang sangat berpengaruh dalam kesuksesan Thomas.

Saatnya Instropeksi Diri

Kisah nyata di atas bila dikaitkan dengan home learning gegara covid-19 memberi pelajaran berharga tidak hanya kepada guru saja. Orang tua seharusnya mulai menyadari pentingnya komunikasi dengan anaknya dalam membaca pikiran dan masa depan mereka. Jauhkan anak sebagai kuda tunggangan dan ambisi. Bimbing mereka sesuai dengan dunianya lalu arahkan dia agar tidak kelimpungan pada masa dewasanya.

Demikian pula untuk guru, sudah saatnya mereka mau belajar untuk memahai jiwa anak-anak, bukan memaksa anak-anak memasuki kehidupannya. Menjadi anak-anak berarti memahami dunia anak dan masuk dalam ‘kebengalan’ dan keunikannya. Ketika setiap anak mempunyai keunikan tersendiri, maka sejuta rumus untuk mengembangkan anak-anak hanya menjadi gambaran, bukan panduan baku. Mendekati dunia anak sebanyak keunikan anak yang lahir ke bumi.

Harus disadari oleh guru dan orang tua, bahwa masa anak-anak itu hanya sekali terjadi dalam kehidupan dan perlu diketahui masa anak-anak itu ditemukan bukan diciptakan. Sehingga dalam konteks yang lebih luas anak ‘maaf’ yang paling bengal saat masa anak-anak pasti akan ber’metamorfosis’. Berubah sesuai dengan eranya bersama diri, bimbingan/arahan dari orang tua, guru, dan lingkungan sekitar.

Pesan untuk sejawat guru sebagai sosok pembelajar. Tanamkan simpati, kembangkan ‘attitude’ yang benar, bangun relasi dan interaksi santun antara anak-anak dan lingkungan sekitar sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Tidak memaksakan kehendaknya bahwa kalau ingin sukses ikuti petunjuk guru meskipun salah.

————- *** —————

Rate this article!
Tags: