Guru SD Menjadi Doktor, Kenapa Tidak?

Oleh :
Dian Marta Wijayanti
Lulusan Terbaik PGSD Unnes 2013, Guru SDN Sampangan 1 Semarang. Sekarang sedang menyelesaikan pendidikannya di Program S2 PGSD Unnes 

Beberapa tahun lalu, Saya pernah berdebat di media sosial dengan dua dosen. Mereka, menganggap sepele seorang guru SD karena dalam penelitian hanya mentok pada Penelitian Tindakan Kelas (PTK). Sedangkan dosen, karena memiliki tugas Tri Darma Perguruan Tinggi, mulai dari pendidikan-pengajaran, penelitian dan pengabdian masyarakat, mereka bisa mengeksplore penelitian lebih tinggi dan bergengsi.
Di akhir debat, tidak ada titik temu. Mereka masih menganggap sepele guru dan menanggap guru masih seperti “mahasiswa” yang harus banyak belajar pada dosen. Bukan bermaksud menggugat, namun, sebenarnya guru dan dosen memiliki potensi sama untuk melakukan penelitian. Juga melanjutkan jenjang pendidikan lebih tinggi dan “setara” dengan dosen.
Hanya saja, dalam kacamata Undang-undang Guru dan Dosen (UUGD) tahun 2005, guru dan dosen memang profesi berbeda, namun substansinya bagi Saya sama. Dari dulu, Saya ingin mengajak guru untuk terus berkarya, menulis, meriset dan harus berprestasi. Sebab, meski tugas guru hanya di wilayah teknis, namun stigma guru sebagai “praktisi” lebih dominan dibandingkan guru sebagai “ilmuwan”.
Stigma ini membuat guru “citu nyali” dan membuat guru sedikit yang mau berkarya, meneliti, menulis dan mengembangkan ilmu pengetahuan. Ironisnya, banyak kaum guru melakukan kerja ilmiah hanya ketika pemenuhan Penilaian Angka Kredit (PAK) saja. Padahal, meneliti, melakukan kerja ilmiah seharusnya menjadi “candu” bagi guru.
Guru dan Dosen Tidak Sama!
Keluarga Saya adalah guru, mulai dari bapak, mertua, paman, tante, juga kakek dan juga keluarga lain. Saya pun terpaksa mengikuti keinginan orangtua kuliah di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) usai lulus SMA. Saat mahasiswa, sudah banyak penelitian dan lomba-lomba Saya ikuti. Hingga akhirnya, Saya pernah menjadi Mahasiswa Berprestasi dan terakhir menjadi Wisudawan Terbaik.
Setelah lulus, Saya pun kuliah S2 dan ingin menjadi dosen. Tetapi, karena baru berjalan satu semester diterima PNS formasi guru SD, Saya pun berhenti kuliah karena tugas dinas dan belum mendapatkan izin belajar. Sebagai guru muda, Saya awalnya “terpaksa” menjadi guru. Namun, lambat laun, Saya justru total seratus persen menjadi guru. Meski impian jadi dosen kandas di tengah jalan, akan tetapi, tak apalah! Guru dan dosen tetaplah pendidik dan memiliki posisi mulia jika dijalankan sepenuh hati.
Ketika sudah menjadi PNS, Saya pun “nekad” melanjutkan studi S2 sampai sekarang. Saya masih ingat dengan debat dengan dosen beberapa tahun lalu. Dari hasil merenung, Saya pun bertekad menjadi doktor dan ingin mengangkat derajat guru SD. Sebab, selama ini guru SD masih dipandang sebelah mata. Salah satunya dalam aspek penelitian dan juga jenjang pendidikan.
Tapi buktinya, sudah banyak guru SD yang bergelar magister bahkan juga ada yang doktor. Artinya, secara kapasitas intelektual, guru SD itu sama seperti dosen jika mampu menerapkan pola kerja ilmuwan dan membuang “mental praktisi”.
Menjadi guru SD itu pasti lebih sulit, berat dan sukar daripada mengajar mahasiswa. Jika tidak percaya, silakan dicoba! Banyak dosen PGSD maupun Pascasarjana, ketika mengajar anak-anak SD mereka “pusing tujuh keliling”. Boro-boro menyampaikan materi sampai tahap apersepsi, mengondisikan anak-anak untuk diam saja susah. Di sinilah harus dipahami dan diteliti, menjadi guru SD itu “sangat susah” karena memiliki tugas dua hal pokok. Menyemai karakter dan mentransfer ilmu. Ya, karakter dulu baru ilmu.
Dalam teknisnya, menyemai karakter, salah satunya adalah mengondisikan anak untuk “diam” dan bisa menerima guru sebelum materi pelajaran disampaikan. Di sini, yang menonjol lebih pada aspek kognitif (sikap), sementara penyampaian materi lebih pada afektif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan).
Di sini perlu ditegaskan, guru dan dosen secara profesi memang beda, juga dalam tugas sebagai ilmuwan juga berbeda. Kesamaan dosen dan guru adalah sama-sama mencerdaskan bangsa. Namun yang lebih berat, justru guru dari jenjang SD sampai SMA. Pasalnya, pola pendidikan SD-SMA adalah “pedagogi”, sementara mahasiswa adalah “andragogi”.
Jika pedagogi mengamanatkan perubahan bertitik pada kecerdasan emosional dan spiritual, sedangkan andragogi hanya bertitik pada intelektual. Jika guru mendidik harus bisa mengubah mental, karakter dan akhlak anak, maka dosen mengajar hanya menstranfer ilmu karena ia masuk ruang lingkup andragogi.
Maka wajar, banyak dosen berprinsip yang penting mengajar, bukan mengubah karakter. Paham ora paham, karepmu dewe! Kebanyakan dosen ketika mengajar menerapkan prinsip demikian.
Ilmuwan Praktisi
Jika sudah magister, dalam jagad akademik, guru memiliki tugas ganda, karena ia selain praktisi juga menjadi “ilmuwan”. Sebab, jika hanya S1, maka hal itu menjadi standar minimal sesuai UUGD.
Guru dalam UUGD dijelaskan sebagai pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, menengah dan atas. Tugas ini di perkuliahan S1 pasti sudah diajarkan lewat berbagai mata kuliah.
Akan tetapi jika sudah magister, maka guru harus menambah dan menebalkan “mental ilmuwan”, tepatnya “ilmuwan praktisi”. Pandai di teori juga praktik. Bukan praktik saja dan teori saja, melainkan lengkap. Jika lengkap, maka mereka bisa lebih “lihai” daripada dosen!
Hal itu harus dibuktikan dengan keikutsertaan dalam kegiatan akademik. Bisa penelitian, menulis di jurnal, buku, dan media massa, lomba karya tulis ilmiah, seminar nasional/internasional, lomba guru berprestasi, melakukan presentasi di forum ilmiah dan lainnya.
Saya berharap, guru yang lulusan S1, S2 maupun S3 harus bermental seperti dosen di bidang penelitian dan pengabdian masyarakat. Jangan sampai ada celetukan dari kaum akademisi “guru diajak mikir berat sitik susah” (guru diajak berpikir berat sedikit susah). Ini justru “membunuh karakter guru” sebagai ilmuwan.
Meski tugas utama adalah mendidik, namun, guru sebagai ilmuwan tidak boleh sekadar menguasai kompetensi pedagogi, kepribadian dan sosial dan menguasai 8 keterampilan mengajar saja. Guru juga tidak hanya dituntut bisa ngrancang (merancang) dan mulang (mengajar). Namun mereka juga harus “mendidik” dan menerapkan kerja ilmiah layaknya dosen.
Doktor Bukan Mimpi
Saya memprediksi, di tahun 2030 atau 2040 ke depan, akan banyak guru SD maupun SMP dan SMA bergelar doktor jika mental ilmuwan diterapkan. Sebab, saat ini sudah banyak Prodi S2 Pendidikan Dasar (Dikdas) Pascasarjana berdiri. Sementara untuk Prodi S3 Dikdas Pascasarjana masih sedikit. Setahu Saya, baru di UPI Bandung, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Negeri Yogyakarta. Namun ke depan, pasti banyak yang membuka S3 Dikdas.
Bagi guru, melanjutkan studi lanjut sesuai UUGD bukan kewajiban. Akan tetapi, semakin banyak guru menjadi magister dan doktor, tentu akan mendongkrak berkualitas pendidikan. Hal ini juga menjadi sinyal positif bagi kemajuan pendidikan dasar di negeri ini. Apalagi, pendidikan dasar menjadi fondasi pendidikan selanjutnya, baik di jenjang menengah, atas, dan pendidikan tinggi.
Saya pun berharap, pemerintah, Kemenristek Dikti, Kemendikbud, Kemenag dan Dinas Pendidikan di daerah-daerah memberi peluang S3 bagi guru. Sebab, selama ini beasiswa S3 hanya diperuntukkan dosen. Sedangkan beasiswa guru hanya mentok pada jenjang S2 saja.
Semoga prediksi Saya di atas menjadi kenyataan. Namun yang paling penting bukan gelarnya, melainkan pola pikirnya. Hakikat belajar bukan sekadar menghimpun ilmu sebanyaknya dan memburu gelar setingginya. Melainkan lebih utama menata cara berpikir dan mengubah perilaku.
———– *** ———–

 

Rate this article!
Tags: