Guru Tidak Tetap Diusulkan Peroleh Tunjangan Profesi

Foto: ilustrasi

PGRI Tak Ingin Kenaikan Pangkat Otomatis Diundangkan
Surabaya, Bhirawa
Sejumlah perubahan signifikan tertuang dalam Rancangan Undang Undang (RUU) perubahan UU Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005. Salah satunya yang cukup menggembirakan ialah terkait hak memperoleh tunjangan profesi bagi Guru Tidak Tetap (GTT).
Usulan tersebut masuk dalam RUU perubahan pasal 16 ayat 1 yang berbunyi pemerintah memberikan tunjangan profesi kepada guru yang telah memiliki sertifikat pendidik, meliputi guru tetap dan GTT. Dalam perubahan tersebut juga dijelaskan tentang pembayaran tunjangan profesi yang melekat pada gaji untuk guru PNS. Sementara untuk guru non PNS tunjangan profesi dibayarkan pada awal bulan pekan pertama.
Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jatim Ichwan Sumadi menuturkan, perubahan UU semangatnya adalah untuk meningkatkan semangat guru dan meningkatkan kesejahteraan. “Jadi ada keseimbangan antara hak dan kewajiban,” tutur Ichwan, Selasa (10/7).
Saat ini, hampir di semua daerah mengalami kekurangan guru yang selanjutnya diisi dengan GTT. Sayangnya, nasib mereka tidak diperhatikan. Sementara kemampuan daerah memberikan gaji berbeda-beda. “Kalau di Surabaya mungkin baik. Gaji GTT masih Rp 3 juta lebih. Tapi di daerah itu ka nada yang Rp 200 ribu – Rp 300 ribu. Ini kan tidak layak, mereka juga memenuhi kualifikasi S1,” tutur Ichwan.
Dengan adanya tunjangan profesi, Ichwan berharap gaji yang kecil tersebut dapat tertutupi dengan tunjangan profesi yang diterima. Permasalahannya, selama ini GTT tidak bisa mengikuti sertifikasi. Karena itu, usulan GTT untuk diikutkan dalam sertifikasi sudah sangat tepat dan bagus. “Padahal dalam UU yang ada juga sudah dijelaskan, bahwa guru berhak mendapat penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum,” tandasnya.
Terkait sertifikasi ini, usulan perubahan juga dicantumkan untuk guru dalam jabatan yang belum tersertifikasi. Pada pasa 11 ayat 3a disebutkan, guru dalam jabatan yang belum tersertifikasi dalam jabatan secara otomatis tersertifikasi menurut UU. Hal tersebut diakui Ichwan cukup beralasan. Sebab, pada UU guru dan dosen tahun 2005 pasal 82 dijelaskan, kualifikasi dan sertifikasi pendidik wajib dipenuhi paling lama 10 tahun sejak UU tersebut.
“Kalau sejak 20015, seharusnya 2015 semua guru sudah tersertifikasi. Sementara saat ini, sertifikasi sulit. Untuk lulus sertifikasi nilainya harus 8,0 minimal,” tandasnya.
Selain sertifikasi, usulan yang masuk dalam RUU juga terkait kenaikan pangkat otomatis (KPO). Hal itu diusulkan dalam pasal 14 A yang berisi tentang KPO bagi guru yang masa kerjanya 4 tahunsejak pangkat terakhir otomatis naik satu tingkat.
Terkait hal ini, Ichwan tak sepaham. Sebab, dengan adanya KPO tidak ada upaya guru untuk mengurus kenaikan pangkat. Namun, tidak dipungkiri juga dengan sistem kenaikan pangkat yang terbuka seperti saat ini, ada banyak guru yang memiliki pangkat hingga setingkat menteri, yaitu golongan IVE. “KPO ini dulu pernah diterapkan sebelum tahun 90’an. Waktu itu kenaikan pangkatnya tidak terbuka seperti saat ini,” tutur dia.
Ichwan mengakui, dengan adanya KPO guru memang tidak direpotkan lagi dengan proses pengurusan pangkat. Khususnya pembuatan Karya Tulis Ilmiah (KTI) yang kerap dicurangi. Sementara dengan adanya kenaikan pangkat terbuka, guru yang rajin mengurus pangkat akan memiliki pangkat tinggi. Meski belum tentu guru dengan pangkat tinggi tersebut memiliki kompetensi yang bagus. “Jadi memang ada plus dan minus pada masing-masing sistem yang ada,” tutur dia.
Sementara itu, tim ahli RUU perubahan UU Guru dan Dosen Prof Abdul Ghani mengungkapkan, dengan adanya sertifikasi bagi GTT dan sertifikasi otomatis bagi guru dalam jabatan konsekuensinya adalah pemerintah harus mengalokasikan anggaran lebih besar. Khususnya untuk memberikan tunjangan profesi guru. “Konsekuensi itu tidak masalah. Pemerintah kita uangnya banyak,” tuturnya. [tam]

Tags: