Gus Dur dalam Kacamata Sastrawan Binhad Nurrohmat

Sastrawan Binhad Nurrohmat menunjukkan buku tentang KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). [arif yulianto]

Menggagas Pribumisasi Islam hingga Mengkritik Birokratisasi Kebudayaan
Kab Jombang, Bhirawa
KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur dikenal sebagai Bapak Bangsa. Presiden ke-4 Republik Indonesia yang wafat pada 30 Desember 2009 itu merupakan salah satu tokoh besar yang dimiliki Indonesia. Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang lengkap, mulai dari seorang intelektual, aktivis, ulama, budayawan, politikus, hingga pengamat bola.
Meski telah berpulang 11 tahun silam, ketokohan dan kiprah Gus Dur masih diingat banyak orang hingga saat ini. Apalagi, pada Desember yang dikenal sebagai ‘Bulan Gus Dur’.
Menurut Santrawan Binhad Nurrohmat, hal-hal penting menurutnya tentang kiprah Gus Dur semasa hidup, yakni, dalam konteks agama dalam perspektif kebudayaan, Gus Dur menggagas tentang sebuah ‘term’ yang disebut sebagai ‘Pribumisasi Islam’.
“Bagaimana Islam itu dihadirkan dan diterima oleh sebuah masyarakat sesuai dengan corak dan kultural masyarakat tersebut,” ucap Binhad Nurrohmat saat ditemui di kediamannya di Kompleks Pesantren Darul Ulum, Rejoso, Peterongan, Jombang, pekan lalu.
Sebagai pengetahuan dan wawasan, kata dia, Gus Dur lah yang pertama kali melakukan dan menciptakan ‘term’ tentang ‘Pribumisasi Islam’ di masa modern.
Selain itu dalam konteks kebudayaan sambung Binhad Nurrohmat, Gus Dur juga pernah menelurkan pemikiran-pemikiran yang penting dalam konteks kepentingan kebudayaan nasional dengan mengkritik ‘Birokratisasi Kebudayaan’ yang terjadi pada masa Orde Baru.
“Gus Dur ingin bahwa kebudayaan berkembang lebih bebas tanpa terkooptasi oleh kebijakan atau birokrasi pemerintahan,” tutur Binhad Nurrohmat.
Dikatakannya, pada masa Orde Baru, kesenian harus mendapatkan legitimasi dari ‘kekuasaan’ melalui lembaga-lembaga seperti dewan kesenian maupun taman budaya. Sehingga, kesenian ataukah pertunjukan seolah-seolah harus mendapatkan ‘label’ dari lembaga-lembaga tersebut.
Dan kritik Gus Dur tentang ‘Birokratisasi Kebudayaan’ ini lanjut dia, kemudian terbukti pada masa akhir Orde baru dengan munculnya komunitas-komunitas yang dikelola secara swadaya oleh seniman sendiri.
“Saya kira ini wujud dari kritiknya Gus Dur. Sampai hari ini, sekarang kesenian muncul di luar zona-zona birokrasi. Kritik Gus Dur itu kemudian diamini oleh masyarakat kesenian di Indonesia,” tandas Binhad Nurrohmat.
Selain itu menurutnya yang signifikan tentang Gus Dur yakni, sebagai bagian dari warga Nahdlatul Ulama (NU), Gus Dur membawa dan memperkenalkan ide-ide modernitas di kalangan Nahdliyin. Hal ini kata dia, tidak seperti peran-peran pemuka NU sebelumnya yang kecenderungannya adalah ‘Islam Oriented’.
“Lebih tepatnya saya kira, Gus Dur mencoba tampil sebagai pemimpin NU yang kultural yang bisa diterima secara nasional,” ujarnya lagi.
Sehingga menurut pria yang juga seorang penulis ini, yang disuarakan oleh Gus Dur, tidak hanya kepentingan organisasinya, namun juga menyerukan kepentingan masyarakat Indonesia secara kolektif.
Gus Dur sebagai pemuka NU menurut Binhad Nurrohmat juga dikenal banyak menjalin lintas pergaulan seperti bergaul di wilayah kebudayaan, wilayah politik, wilayah pengembangan kemasyarakatan, memasuki wilayah kesenian, dan sebagainya.
“Nah peran-peran itu sebelumnya, saya kira tidak pernah diambil oleh para pemuka NU. Saya kira karakter seperti inilah yang membuat Gus Dur tampak menonjol sekali sebagai pemimpin di NU,” ungkap Binhad Nurrohmat. [arif yulianto]

Tags: