Gus Sholah: Darah Keberanian Mengalir di Tubuh Gus Dur

8-rif Pengasuh Ponpes Tebu Ireng, Jombang, KH Sholahudin Wahid (Gus Sholah) saat memberikan sambutan pada Haul ke-9 Gus Dur di Ponpes Tebu Ireng, Jombang, Minggu malam (16-12).jpg

(Haul Gus Dur) 

Kab.Jombang, Bhirawa
Salah satu yang menonjol pada diri almarhum KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah keberanian. Hal itu bukanlah suatu kebetulan. Dari tubuh Gus Dur memang mengalir darah keberanian yang diwarisi dari para leluhurnya.
Yakni dari sang kakek, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari dan sang ayah KH Wahid Hasyim. Saat era pendudukan Jepang, KH Hasyim Asy’ari (Mbah Hasyim) menolak menghormat kepada matahari seperti yang diperintahkan Nippon (Jepang). Karena pembangkangan itulah, Mbah Hasyim ditangkap Jepang. Mbah Hasyim dipukuli hingga tangannya terluka parah. Kakek Gus Dur ini kemudian dijebloskan dalam penjara.
“Jadi kalau Gus Dur menjadi sosok berani itu bukan kebetulan. Namun ada darah keberanian yang diwariskan leluhurnya,” kata pengasuh pesantren Tebuireng KH Salahuddin Wahid (Gus Sholah) ketika memberikan sambutan pada Haul ke-9 Gus Dur di Pondok Pesantren (Ponpes) Tebu Ireng, Jombang, Minggu malam (16/12).
Keberanian juga dimiliki oleh ayah Gus Dur, KH Wahid Hasyim. Gus Sholah pernah membaca tulisan KH Saifudin Zuhri yakni ketika KH Saifudin bersama KH Wahid Hasyim naik kereta api. Di kereta tersebut mereka mendapati perilaku perwira Jepang yang sombong. KH Wahid Hasyim berani menghadapi perwira Jepang tersebut.
Soal keberanian itu, Gus Sholah juga pernah mendapat cerita dari pamannya, KH Yusuf Hasyim (Pak Ud) saat Gubernur Belanda, Van Der Plas berkunjung ke Tebuireng, Jombang. Diam-diam, KH Wahid Hasyim memberikan secarik kertas berisi tulisan kepada sang adik, KH Yusuf Hasyim. Dalam tulisan itu ayah Gus Dur berpesan agar KH Yusuf Hasyim menembak Van de Plast ketika sedang berbincang dengan dirinya. Namun perintah tersebut tidak dijalankannya.
“Pak Ud kemudian ditegur oleh ayah saya. Alasannya Pak Ud tidak berani menembak karena takut mengenai sang kakak (KH Wahid Hasyim),” kata Gus Sholah menirukan cerita pamannya.
Keberanian itu pula yang diwarisi Gus Dur. Menurut Gus Sholah, pada zaman Orde Baru tidak banyak yang melontarkan kritik kepada Soeharto. Namun tidak demikian dengan Gus Dur, dia tetap berani mengkritik. Begitu juga ketika seorang wartawan bernama Arswendo Atmowiloto tulisannya dianggap menyinggung umat Islam. Tabloid Monitor tempat Arswendo bekerja dibredel. Sementara Arswendo dijebloskan ke penjara. Lagi-lagi Gus Dur dengan lantang membela Arswendo.
Bagi Gus Dur, kata Gus Sholah, keberanian itu bukan sebatas retorika. Bukan hanya dalam ucapan, bukan alam pikiran. Keberanian bagi Gus Dur adalah pengalaman, perasaan, dan tindakan.
“Itu yang bisa kita teladani dari Gus Dur. Kita semua tahu Gus Dur adalah orang yang berani. Bahkan terlalu berani,” pungkas Gus Sholah.
Selain Gus Sholah, sejumlah tokoh yang hadir seperti Kwik Kian Gie (Menko Ekuin era Gus Dur), Bondan Gunawan (Mensesneg era Gus Dur), Wahyu Muryadi (Kepala Protokol Istana era Gus Dur) juga memberikan testimoni tentang Gus Dur. Acara yang dibanjiri pengunjung itu juga dihadiri Gubernur Jatim terpilih Hj Khofifah Indar Parawansa. Dari keluarga Gus Dur, diwakili Zannuba Arifah Chafsah (Yenny Wahid). Hadir pula, Prof KH. Nasaruddin Umar, merupakan mantan wakil Menteri Agama pada era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Nasaruddin Umar kini menjadi Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta.
Sementara itu, Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid (Yenny Wahid) mengingatkan masyarakat tentang pentingnya toleransi. Karena dengan toleransi bisa menjadikan situasi adem dan guyub rukun di masyarakat.
“Toleransi inilah merupakan salah satu ajaran dari Gus Dur,” kata Yenny disambut aplaus hadirin.
Yenny diminta memberikan sambutan sebagai perwakilan keluarga. Putri kedua dari Gus Dur-Sinta Nuriyah ini juga mengingatkan agar para ulama, pemimpin dan para tokoh selalu menjaga kesehatan, sehingga tetap bisa membimbing masyarakat. Yenny cukup prihatin menjelang tahun politik. Karena berseliweran saling hujat antar-kelompok.
“Kalau para kiai saya tidak khawatir. Karena sudah pasti bisa menahan diri. Namun kadang santrinya atau masyarakatnya yang tidak bisa menahan diri,” ujar Yenny Wahid.(rif)

Tags: