“Habis Gelap belum Terang”

Karikatur HUT KartiniSUDAH 110 tahun lebih, “curhat” Raden Ajeng Kartini kepada rekan Belanda-nya, Rosa Manuela Madri (istri Mr Abendanon) dipublikasikan. Ternyata Kartini, memiliki referensi luas dari berbagai buku yang dibacanya, maupun realita sosial. Surat-surat Kartini menjadi menarik, karena pemerintah kolonial Hindia Belanda sedang membuka keran demokrasi, melalui program politik etis. Banyak versi kumpulan surat Kartini diterbitkan sejak dekade 1920-an.
Dua perempuan dalam korespondensi itu, bukan sembarang personel. Yang satu (penerima surat), Rosa Manuela Madri, adalah istri Menteri Kebudayaan, Agama dan Kerajinan pemerintah kolonial Hindia Belanda, Mr. JH Abendanon. Sedang pengirimnya, RA Kartini, adalah istri Bupati Rembang, Kanjeng Raden Mas  Adipati Ario (KRMAA) Singgih Djojo Adhiningrat. Tak banyak korespondensi yang dicetak dalam berbagai versi, serta dicetak ulang beberapa kali.
Kartini, memiliki garis keturunan sebagai arek Suroboyo. Ayahnya, RM Sosroningrat, adalah keturunan Pangeran Dangirin, Bupati Surabaya abad ke-18. Dari Pangeran Dangirin, dapat ditelusuri trah keturunan kerajaan Majapahit. Juga tersambung dengan Sultan Hamengkubuwono ke-6. Sedangkan dari garis keturunan ibu, Kartini merupakan “santri-wati.” Ia adalah cucu dari mbah kyai Haji Madirono,  seorang guru agama, ulama kesohor di Telukawur, Jepara.
Dengan garis keturunan mbah kyai Madirono, Kartini mewarisi intelektualitas memadai. Minat bacanya sangat tinggi, termasuk beberapa karya sastra bermutu. Misalnya karya van Eeden, serta roman anti-perang karangan Berta Von Suttner, berjudul “Die Waffen Nieder” (Letakkan Senjata). Ia juga membaca “Max Havelaar” karya Multatuli (alias Douwes Dekker).
Max Havelaar (lengkapnya berjudul “Max Havelaar of de koffij-veilingen der Nederlandsche Handel-Maatschappij” (dalam bahasa Indonesia berarti: Max Havelaar, pada Lelang Kopi Perusahaan Dagang Belanda). Itu semacam novel, yang diakui sebagai bagian dari karya sastra dunia. Di salahsatu bagiannya memuat drama percintaan tentang “Saijah dan Adinda.” Bagian ini juga sangat populer, sehingga sering kali dikutip dan menjadi topik untuk dipentaskan di panggung.
Max Havelaar, merupakan potret situasi sosial yang buruk akibat kolonialisme. Namun boleh jadi, karena penulisnya berkebangsaan Belanda, maka boleh dicetak (pertama kali tahun 1860 di Belgia). Sasterawan besar sekelas HB Jassin, juga menterjemahkan Max Havelaar ke bahasa Indonesia. Setelah dicetak tahun 1972, buku tersebut sudah cetak ulang pada tahun 1973. Juga di-adaptasi untuk layar lebar (film), namun tidak boleh beredar sampai tahun 1987.
Nampaknya, roman Max Havelarr, meng-inspirasi RA Kartini. Terutama pada bagian “Saijah dan Adinda,” yang terasa menguras air mata. Karena itu dalam surat yang dibukukan, Kartini banyak menulis situasi sosial, budaya, agama, sampai korupsi. Persis seperti diungkap dalam roman Douwwes Dekker. Yakni, cerita sistem cultuur stelsel (tanam paksa), yang digagas oleh Gubernur Jenderal Graaf Johannes van den Bosch.
Tanam paksa (mulai tahun 1830), mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor. Khususnya kopi, tebu dan nila (tarum). Hasil tanaman ini dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditentukan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah, tanpa upah.
Pada praktiknya terjadi penyimpangan, dan berbagai korupsi. Sebab, seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor. Wilayah yang digunakan untuk praktik cultuurstelstel tetap dikenakan pajak. Sedangkan buruh tani yang tidak memiliki lahan, wajib bekerja selama setahun penuh. Tanam paksa, menimbulkan pemberontakan.
Kelebihan Kartini, ia berani memapar kesengsaraan kaumnya (perempuan) kepada pejabat pemerintah kolonial yang sangat tertutup. Kini, masih diharapkan “Kartini lain” untuk mencegah perempuan di-eksploitas dengan dalih emansipasi!

                                                                                                                       ———   000   ———

Rate this article!
Tags: