Hadapi (Pilpres) dengan Senyuman

Oleh :
Wahyu Kuncoro SN
Dosen di Prodi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Universitas Bhayangkara (Ubhara), Surabaya.
Ajang debat kelima bagi kedua pasangan calon presiden/wakil presden (capres/cawapres) Jokowi/Makruf Amin dan Prabowo/Sandiaga Uno, Sabtu (13/4) kemarin menjadi penutup rangkaian masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres). Ajang debat pamungkas tersebut bisa menjadi kesempatan ‘resmi’ terakhir bagi sebagian publik untuk menilai kedua pasangan sebelum akhirnya melakukan pencoblosan 17 April 2019 mendatang.
Penulis meyakini –dengan merujuk sejumlah hasil survei– bahwa perfoma kedua pasangan Capres/Cawapres dalam debat ikut mempengaruhi publik untuk menentukan pilihan. Walaupun di luar itu, banyak juga warga yang tidak terpengaruh lagi dengan apapun yang terjadi selama debat. Selalu akan ada yang memilih berdasar faktor seperti emosional, pertimbangan ideologis dan pertimbangan-pertimbangan lainnya.
Namun demikian, terlepas dari itu semua, debat kelima kemarin juga menandai semua hiruk pikuk pertarungan narasi dari masing – masing tim pemenangan ‘secara resmi’ berakhir. Walaupun secara resmi sudah berakhir, namun penulis meyakini kampanye dengan model dan media yang lain utamanya di dunia maya masih akan terjadi dan bahkan semakin massif dan keras pertarungan narasi kampanyenya.
Menikmati Masa Tenang
Sesuai tahapan Pemilu Presiden yang sudah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU), maka setelah masa kampanye berakhir adalah memasuki masa tenang. Masa tenang yang berlangsung selama 3 hari (14 – 16 April) ini, memberi kesempatan bagi warga negara pemilik suara untuk menginternalisasi semua narasi yang dikembangkan selama masa kampanye untuk selanjutnya secara bijaksana menentukan pilihan kepada siapa nasib bangsa ini akan dipercayakan.
Masa tenang ini juga dibutuhan untuk mengendapkan semua informasi yang secara massif beredar yang datang dari segala arah. Bukan hanya dari saluran-saluran media resmi yang sudah lazim mengabarkan soal kampanye tetapi juga datang dari komunitas-komunitas, grup-grup Whatsapp (WA), forum forum warung kopi dan sebagainya.
Di masa tenang inilah saatnya menimbang – nimbang kembali apakah pilihan yang mungkin sudah diputuskan ini benar – benar melandaskan pada informasi dan fakta yang benar ataukah jangan jangan hanya karena emosi, intimidisi atau mungkin provokasi yang jauh dari pikiran dan nalar yang merdeka. Percayalah memilih berdasarkan hati nurani akan lebih memberikan ketenangan batin walapun toh akhirnya pasangan calon yang dipilih tidak berhasil memenangkan kontestasi.
Persoalan menang atau kalah cukuplah dipahami sebagai hal yang biasa saja yang tidak perlu harus ditangisi. Toh, nasib kita juga tidak akan banyak ditentukan oleh siapa yang memimpin negeri ini tetapi lebih ditentukan dari apa yang akan kita lakukan dan kerjakan.
Makna masa tenang juga harus dipahami sebagai fase untuk menghadirkan ketenangan agar publik bisa lebih dewasa menerima hasil apapun dalam Pilpres mendatang. Dengan demikian, dalam masa tenang inilah narasi tentang perdamian tentang persaudaraan tentang kebersamaan harus lebih mendapatkan tempat. Para tokoh masyarakat dan tokoh agama yang sebelumnya ikut larut dalam hiruk pikuknya politik, saatnya kembali hadir sebagai figur dan sosok yang mengadirkan ketenangan. Pesan pesan yang disampaikan tentu harus membawa ke suasana yang damai.
Harapannya tentu saja, masyaraat juga akan tetap tenang tanpa gejolak dalam merespon apapun hasil Pilpres mendatang. Inilah sesungguhnya masa tenang yang diharapkan. Kalaupun toh kemudian, catatan sejarah lebih banyak menceritakan kalau masa tenang malah lebih banyak pelanggaran yang terjadi, tentu diharapkan itu tidak terjadi lagi. Kita semua harus punya kesadaran bahwa pasangan calon yang secara massif dan sistematis melakukan pelanggaran maka tidak pantas untuk memimpin negeri ini.
Kemerdekaan di Bilik Suara
Kedua pasangan capres/cawapres beserta para tim pemenangannya mungkin sudah bicara berbusa-busa dalam kampanye. Berbagai tawaran janji manis dan angin surga sudah disampaikan, namun demikian keputusan tertinggi tetaplah berada di tangan masing-masing warga negara. Inilah hak dasar kewarganegaraan yang harus dijunjung tinggi oleh siapa saja.
Pemberian suara adalah kemerdekaan hakiki setiap warga Negara yang sudah memiliki hak pilih. Hak ini harus benar-benar bisa dinikmati setiap warga Negara dalam Pilpres 17 April mendatang. Setiap warga negara tidak boleh lagi ada yang merasa terintimidasi ketika akan memberikan suaranya nanti. Persoalan kemerdekaan di bilik suara ini menjadi penting karena tidak bisa dipungkiri kalau selama kampanye kemarin banyak upaya-upaya politik yang bertujuan untuk memobiliasi massa agar datang ke kampanye. Upaya upaya tersebut acapkali bernada intimidasi dan teror yang membuat seseorang karena pertimbangan tertentu memilih hadir ke kampanye walaupun dengan terpaksa. Realitas ini tentu hal yang biasa terjadi dalam setiap penyelenggaran kampanye pemilu.
Upaya untuk tetap mengintimidasi massa saat mencoblos bisa jadi juga akan dilakukan dengan berbagai cara. Seruan untuk mengenakan baju berwarna putih bagi pendukung Capres/Cawapres tertentu adalah salah satu contohnya. Upaya itu sesungguhnya juga dimaksudkan untuk mengontrol publik dalam memberikan suaranya. Bagi penulis, upaya memberi simbol tertentu bagi para pemilih termasuk menyeragamkan warna baju saat datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS)
adalah bagian dari intimidasi politik. Biarkanlah orang yang datang ke TPS tidak lagi tersekat-sekat oleh simbol lagi. Biarkanlah datang sebagai warga negara yang tidak lagi dianggap beda hanya karena warna baju yang dikenakannya.
Hadapi dengan Senyuman
Masa kampanye Pilpres yang berlangsung lebih dari enam bulan ini harus diakui lebih banyak menghadirkan bayang bayang kengerian dan teror bagi publik. Dramatisasi dan simplifikasi isu dan wacana memang menjadi media yang paling mudah untuk membedakan satu pasangan calon dengan pasangan lainnya.
Dalam politik, memang membuat narasi-narasi yang memudahkan publik untuk mengidentifiaksi calon yang ada sangat diperlukan. Implikasinya, kedua tim pemenangan masing-masing calon berusaha mencari faktor pembeda untuk membantu publik dalam memahami pesan yang ingin disampaikan. Akibatnya, muncul narasi-narasi serampangan yang secara sengaja diciptakan untuk menggugah emosi publik dalam memberikan dukungan.
Simak saja narasi dan stigma yang berseliweran dengan menuduh pemimpin yang pro asing, pemimpin pendukung khilafah, pemimpin yang anti Islam dan seterusnya. Sentimen-sentimen budaya dan keagamaan yang selama ini ditabukan untuk disampaikan secara lancar mengalir di ruang-ruang publik. Realitas tersebut menunjukkan ada yang sengaja mengaduk aduk emosi public untuk mati-matian mendukung pasangan capres/cawapres.
Pemilihan presiden sungguh bukan sedang mempertaruhkan hidup atau mati. Sehingga juga bukan pada tempatnya kalau kemudian masyarakat juga dipaksa untuk hidup dan mati mengikuti ambisi politik para elitnya. Bagaimanapun, ketika Pilpres usai kita pun akan kembali menjalani hidup seperti biasanya dan harus tetap berjuang sendiri. Jangan pernah berpikir, para politisi yang selama masa kampanye begitu sangat peduli dengan kita, datang jauh jauh ke tempat kita untuk mendengar keluhan kita dan seolah akan memberikan jalan keluar, akan datang kembali saat kita menghadapi masalah. Kita sendirilah yang akan menghadapi beratnya hidup mendatang.
Lantaran itu, hadapi saja pemilu besok dengan biasa-biasa saja. Menang atau kalau pasangan yang kita pilih, bukanlah hal penting dan akan menentukan hidup kita berikutnya. Tetaplah hadapi semua dengan senyuman. Negeri ini akan tetap berjalan dengan siapa saja pemimpin yang terpilih.
Wallahualam Bhis-shawwab.

———— *** ————-

Rate this article!
Tags: