Hadapi Skenario Terburuk Pandemi Covid-19

Oleh :
Oryz Setiawan
Alumni Fakultas Kesehatan Masyarakat (Public Health) Unair Surabaya

Kebijakan PPKM Darurat yang diberlakukan 3 – 20 Juli 2021 merupakan upaya pertaruhan pemerintah untuk menurunkan tingkat penularan di kala lonjakan kasus yang terus meningkat secara signifikan dan eksponensial. Setidaknya akhir Juni hingga pertengahan Juli ini kasus positif Covid-19 terus mencetak rekor secara berturut-turut hingga mencapai lebih dari 40 ribuan kasus per hari. Kondisi ini memantik upaya yang bersifat extraordinary plus emergency atau diambang worst case scenario (scenario terburuk) untuk mengambil langkah-langkah untuk menurunkan kasus sesegera mungkin sekaligus menekan angka kematian yang kian terkerek. Saat ini angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia tertinggi di dunia mengalahkan India dan Brazil. Kondisi ini tentu berdampak buruk bagi Indonesia yang dianggap tidak mampu menangani pandemi yang juga berdampak sangat signifikan bagi perekonomian nasional. Di sisi lain penulis meyakini bahwa angka ini masih merupakan angka minimal mengingat tingkat testing dan tracing di Indonesia relatif jauh dan belum sesuai standar WHO. Karena angka positif merupakan resultan testing dan tracing yang dilakukan oleh tenaga kesehatan.

Di sisi lain, upaya akselerasi vaksin secara masif juga terus dilakukan secara paralel untuk mengejar target Presiden Jokowi satu juta orang tervaksinasi untuk Bulan Juli dan dua juta orang untuk Bulan Agustus per harinya. Situasi ini diperparah dengan kondisi tenaga kesehatan yang sangat kelelahan dan diantaranya harus terpapar virus corona bahkan harus meregang nyawa. Harus diakui, sistem kesehatan kita terutama di tingkan rujukan atau rumah sakit kini tengah kedodoran, padahal rumah sakit merupakan terminal akhir atau sisi hilir yang terus tertekan menerima pasien tak henti-hentinya. Pendek kata, rumah sakit diambang kolaps. Harus diakui, tantangan terberat adalah dari sisi hulu bagaiman upaya menyadarkan seluruh masyarakat tanpa kecuali untuk selalu dan konsisten memahami pencegahan bahaya virus asal wuhan tersebut dengan berbagai lini pendekatan sosial, keagamaan, psikologis, persuasif hingga langkah penindakan secara tegas, tanpa pandang bulu.

Tingkat kepatuhan masyarakat terhadap implementasi protokol kesehatan ketat di segala lini menjadi ukuran dan indikator sederhana untuk mencegah penularan yang lebih masif dan luas. Sifat virus yang tidak memandang tempat, waktu, orang dan media penularan sehingga sangat berpotensi menularkan kepada siapapun. Logika sederhana, bahwa bagi masyarakat yang telah menaati protokol yang ketat saja masih “kecolongan” terpapar Covid-19, dengan berbagai titik lengah seperti kumpul, makan bareng, olahraga keluarga atau teman yang tidak serumah, foto bersama tanpa masker, asisten rumah tangga pulang pergi, memanggil layanan jasa servis, tempat ibadah, belanja ke supermarket/pasar hingga anak bermain dengan teman-teman merupakan beberapa aktivitas yang terkadang luput dari perhatian namun celah potensi media penularan. Apalagi ada sebagian masyarakat yang masih abai dalam menerapkan protokol kesehatan atau bahkan masih ada yang tidak percaya bahaya Covid-19.

Gelombang Kematian

Saat ini angka kasus positif Covid-19 di Indonesia terus meroket menembus 2,5 juta jiwa, tingkat kesembuhan lebih dari 2 juta, sedangkan angka kematian mendekati 67 ribu jiwa. Dalam konteks kesehatan, satu orang meninggal ibarat karena menyangkut esensi kemanusiaan yang paling mendasar yakni nyawa manusia yang tidak ada kembali lagi. di Indonesia telah menembus Dalam konteks konfigurasi layanan kesehatan berjenjang, ketika pasien dirujuk di rumah sakit kini dihadapkan pada hasil akhir atau pilihan ekstrim, sembuh atau meninggal. Sederet problematikan layanan kesehatan darurat kian bermunculan kelangkaan tabung oksigen, obat, layanan rumah sakit yang sangat kewalahan hingga ancaman krisis tenaga kesehatan akibat ikut terpapar bahkan berguguran. Kesemuanya merupakan indikator bahwa layanan kesehatan berada dalam alarm kritis.

Sebagus apapun layanan kesehatan adalah sisi hilir, garda dan benteng terakhir dalam upaya penanganan Covid-19 pasti akan kedodoran, jika sisi hulu tidak tentu akan terjadi krisis kemanusiaan. Bahkan tak mungkin kejadian pasien yang tengah isolasi mandiri ditemukan meninggal adalah mereka yang seharusnya dirawat di rumah sakit. Padahal berdasarkan tingkatan sistem rujukan bahwa hanya pasien yang katagori Orang Tanpa Gejala (OTG) dan gejala ringan-lah yang harus isolasi mandiri (isoman) dengan pantauan tenaga kesehatan. Sangat mungkin karena ketiadaan layanan rumah sakit yang tengah overload dan sistem rujukan dalam mendeteksi tingkat keparahan dan kegawatdaruratan yang sudah tidak memungkinkan dijalankan. Ibarat saat ini pasien yang dilayani berdasarkan ukuran triage atau sedang dan berat.

Di sisi lain, yang terkadang terlewat adalah petugas pemulasaran dan penggali kubur terus berjibaku sedangkan mereka biasanya tidak termasuk dalam tenaga kesehatan yang notabene tidak menerima tunjangan atau insentif yang secara formal diberikan oleh pemerintah pusat yang dituangkan melalui Peraturan Kementerian Kesehatan. Oleh karena itu munculnya peristiwa mogok kerja, pungli dan langkanya tenaga pemulasaran dan penggali kubur akan menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah setidaknya untuk diberikan akses yang sama dalam rangka upaya tugas kemanusiaan secara professional dan secara riil turut berjibaku dalam penanganan Covid-19 secara paripurna.

Ancaman Varian Baru

Belum usai serbuan varian delta yang kian meluas dan 10 kali lebih mudah menular jika dibandingkan dengan varian Alpha (varian asal Inggris), baru-baru ini Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan varian lain dari SARS-CoV-2, yang diberi label “Lambda”. Varian ini muncul di tengah upaya global yang saat ini diarahkan untuk menangani varian delta. Varian Lambda digolongkan sebagai varian of interest (VoI). Badan Kesehatan Dunia, WHO melacak bahwa varian ini memang belum terbukti menimbulkan bahaya serius bagi kesehatan masyarakat, namun para ahli epidemiologi menerangkan bahwa tingkat virulensi mencapai 10 kali lipat dari varian delta sehingga dapat dibayangkan dahsyatnya daya tular virus Covid-19 varian lambda.

Selain itu, WHO menyebutkan, varian lambda awalnya terdeteksi di Peru pada Agustus 2020 dan sejak itu dilaporkan di 29 negara di seluruh dunia, sebagian besar di Amerika Latin, termasuk Argentina dan Cile. Terlebih WHO menyebutkan, varian lambda telah dipantau sebagai peringatan manusia bahwa gelombang pandemi belum sepenuhnya berakhir. Fokus dan konsentrasi pemerintah saat ini adalah mengerahkan segala daya upaya dan sumber daya yang tersedia. Tidak perlu lagi saling menyalahkan, paling penting saat ini ialah bersama-sama menanggulangi wabah virus korona yang tidak kelihatan, tapi bisa mencabut nyawa. Perlu ada kolaborasi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan seluruh lapisan masyarakat tanpa kecuai dalam menanggulangi lonjakan pandemi covid-19 pasca mudik lebaran. Selain meneruskan dan meningkatkan tracing, testing, dan treatment, pemerintah mesti memastikan tingkat ketersediaan tempat tidur isolasi rumah sakit rujukan covid-19. Tak salah bila momentum inilah yang harus diambil untuk melawan serangan virus mematikan, ibarat jaman berjuangan, semangat 45 harus digelorakan melawan “penjajah” yakni virus Covid-19. Merdeka atau Mati!

——- *** ——–

Tags: