Haedar Nashir: Islam Berkembang di Indonesia dengan Cara Ramah dan Damai

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir saat berkunjung di Lamongan.(Alimun Hakim/Bhirawa).

(Paparkan Soal Radikalisme)
Lamongan, Bhirawa 
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir menegaskan, Islam masuk dan berkembang di Indonesia tidak dengan kekerasan dan teror. Tetapi dengan cara yang ramah dan damai. 
Ketegasan itu disampaikan dalam Tabligh Akbar peringatan Milad 107 Muhammadiyah di Alun-alun Lamongan, Minggu (15/12) pagi.
Guru besar sosiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta tersebut menjelaskan proses masuknya Islam melalui proses yang panjang, berawal dari aliran kepercayaan, animisme dinamisme hingga ke agama hindu budha.
“Dengan santun Islam perlahan di terima masyarakat Indonesia yang beragam dan menjadi agama mayoritas yang menggantikan agama hindu bunda yang sudah lama mendarah daging sebelumnya, di era kerajaan,” ujarnya 
Haedar mengungkapkan, Islam di Indonesia saat ini mempunyai misi untuk mengekspore semangat rahmatan lil alamin di dunia internasional, agar ajaran Islam yang ramah dan damai bisa diterima masyarakat dunia.”Sebelum di ekspor terlebih kita harus berkaca pada diri sendiri dan Islam di Indonesia secara luas. Sebelum di ekspor sudah seharusnya kita memperbaiki dari dalam dulu,” tegas pria dengan puluhan karya buku ini.
Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah tersebut juga menyatakan jika di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, dan daerah lain punya lebih banyak potensi kebaikan.”Lamongan ini potensi kebaikannya kan lebih besar daripada hal-hal yang sifatnya buruk (radikalisme), juga di daerah lain,” ucap Haedar.
Ia meminta kepada media untuk membuka supaya dimensi pemahaman radikal ekstrim dan keras tersebut tidak diarahkan pada satu daerah atau satu kelompok tertentu. “Saya tidak akan masuk daerah per daerah, nanti malah memperkuat image, justru wartawan juga harus membuka agar pemahaman dimensi radikal ekstrim dan keras itu tidak diarahkan pada satu daerah, satu kelompok,” ujarnya. 
Lebih lanjut, Haedar juga memberikan pandangannya tentang apa yang disebut sebagai darurat radikalisme. “Saya yakin kita semuanya sepakat, jika yang dimaksud radikalisme itu paham yang ekstrim dan berpotensi serta menimbulkan kekerasan,” tuturnya. 
Namun, Ia meminta, konsep radikalisme perlu ditinjau ulang atau direfleksikan tentang konsep radikalisme dan penerapannya. “Itu agar tidak diarahkan kepada radikalisme agama,” kata Haedar. 
Sebab, Ia melihat potensi radikal itu ada juga yang non agama. Haedar menilai, kejadian-kejadian, di mana ada penyerangan, ada teror yang menimbulkan korban jiwa, dan pandangan-pandangan yang ingin membangkitkan lagi ideologi-ideologi yang tidak sejalan dengan Pancasila, juga termasuk radikal.
“Itu juga perlu menjadi perhatian,” ujar Haedar. 
Dijelaskanya lebih jauh, ancaman konflik, ancaman primordialisme ancaman kedaerahan, yang menimbulkan kekerasan itu juga bentuk dari radikalisme yang ekstrim.
“Karena konsep awal radikal, menurut James Fox   asli kata radikal itu perubahan radikal yang bersifat liberal. Jadi kalau tanpa definisi yang komprehensif, maka lama kelamaan kita akan ribut soal-soal apa sih yang disebut radikalis,” ucap Haedar.
Lantas bagaimana kalau tudingan radikal selalu diarahkan pada Islam? Haedar menegaskan, umat Islam perlu muhasabah, agar perbuatan  sekelompok kecil umat Islam yang mengatasnamakan Islam tapi berbuat kekerasan, anti terhadap negara yang pancasila, dan juga membenarkan perilaku-perilaku teror, bukan sesuatu yang benar. 
“Itu tidak benar, tapi ingat negara pun harus melihat ada bentuk-bentuk kegiatan kekerasan dan teror serupa di daerah,” katanya. Ia juga menambahkan, sering dilontarkan BUMN, masjid kampus, bahkan PAUD yang terancam radikalisme, atau terpapar radikalisme Islam. “Jika  itu, maka perlu diklarifikasi,” Pungkasnya. [aha]

Tags: