Hagemoni Pelimpahan Kewenangan Pendidikan Menengah

Yudi JihwindriyoOleh :
Yudi Jihwindriyo
Badan Kepegawaian Daerah Prov Jawa Timur

Jika kita mengamati sejarah, sampai dengan saat ini Undang-undang Pemerintahan Daerah di Indonesia telah sepuluh kali berganti selera. Dari Desentralisasi Wet tahun 1903 sampai dengan UU 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Dari genre yang sangat dominan sentralisasi sampai dengan arah pencapaian efektivitas pemerintahan daerah. Selama masa itu pula, desain penyelenggaraan pemerintahan berubah-ubah, dari sentralisasi ke desentralisasi dan sebaliknya hingga pada UU 32 tahun 2014, pemerintah berupaya mencari keseimbangan pelaksanaan urusan pemerintahan.
Pendidikan menjadi salah satu urusan konkuren, yakni urusan pemerintahan yang dikelola bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota maupun Provinsi). Hal ini tercantum dalam UU 23 Tahun 2014 sebagaimana telah dirubah dengan UU Nomor 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-undang Pemerintahan Daerah.
Perubahan yang mendasar adalah jenjang pendidikan menengah (SMK dan SMA) menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi dalam pengelolaannya. Guna melaksanakan amanat UU tersebut, pelimpahan personil, pembiayaan, sarana prasarana dan dokumen (P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat, daerah Provinsi dan daerah Kabupaten/Kota dilakukan paling lama 2 tahun sejak UU ini diundangkan yakni pada tanggal 2 Oktober 2014 (pasal 404 UU 23/2014).
Sebagai langkah antisipasi pada proses anggaran, maka paling lambat 31 Maret 2016 harus sudah diselesaikan inventarisasi P3D. Serah terima harus sudah terlaksana paling lambat 2 Oktober 2016. (sesuai dengan Surat Edaran Mendagri no.120/253/SJ tanggal 16 Januari 2015). Selain itu, Hasil inventarisasi P3D tersebut menjadi dokumen dan dasar penyusunan RKPD, KUA/PPAS dan Raperda tentang APBD Provinsi/Kab/Kota tahun Anggaran 2017.
Jaminan Perbaikan Kualitas Pendidikan?
Saat ini, umumnya daerah Kabupaten/Kota memiliki kapasitas APBD yang terbatas dengan urusan pemerintahan yang sangat kompleks. Selain itu, jika kita bandingkan antara rasio ketersediaan tenaga guru pada sekolah yang berada di kota dan desa, distribusinya jauh dari kata proporsional. Guna mengatasi kesenjangan tersebut, pemerintah berupaya mendesain keseimbangan pembagian urusan pemerintahan dengan melimpahkan sebagian kewenangan pengelolaan pendidikan menengah ke Pemerintah Provinsi.
Per 1 Oktober 2016 akan ada 538.732 Guru Pendidikan Menengah yang akan menjadi tanggungjawab Badan Kepegawaian Daerah Provinsi se Indonesia dalam pengelolaan kepegawaian dan pola karir serta pengembangan kompetensinya. Logisnya, pelimpahan dilakukan untuk memenuhi jenis dan jumlah guru pegawai negeri sipil (PNS) sesuai dengan kebutuhan satuan pendidikan dengan cara penataan dan pemerataan guru antarsatuan pendidikan, antarjenis, dan antarjenjang pendidikan, antarkabupaten/kota, dan antarprovinsi serta pengangkatan guru baru. Namun parahnya, sejumlah 266.997 atau 49,6 % dari jumlah guru tersebut adalah Guru Non PNS yang berasal dari sekolah menengah negeri maupun swasta. Sedangkan Perka BKN Nomor 1 tahun 2016 hanya mengatur mekanisme pengalihan PNS Kabupaten/Kota yang menduduki Jabatan Fungsional Guru dan Tenaga Kependidikan menjadi PNS Daerah Provinsi. Lantas bagaimanakah pengelolaan Guru non PNS? Bukankah banyak dari sekolah favorit kita bahkan berasal dari sekolah swasta?
Belum lagi sebagian daerah menolak implementasi UU 23 tahun 2014 khususnya pelimpahan pengelolaan pendidikan menengah. Di Jawa Timur saja, Kota Surabaya mengambil langkah untuk melayangkan gugatan ke Mahkamah Konstitusi. Muncul kekhawatiran bahwa kualitas pendidikan yang selama ini telah dicapai dengan sangat baik, akan menurun jika pengelolaannya dilakukan oleh Provinsi. Ditambah lagi saat ini muncull kegelisahan para tenaga pendidik jika akhirnya harus dipindahkan tempat kerjanya lintas kabupaten/kota seluruh Jawa Timur. Sangat ironis, penataan guru lebih dominan dimaknai dengan distribusi, pindah sana dan pindah sini. Namun pada dasarnya yang paling esensi dari dilakukannya penataan guru adalah pendayagunaan tenaga pendidik agar optimal dalam memberikan layanan pendidikan.
Pendidikan Luar Biasa (PLB) yang pada UU sebelumnya sudah menjadi kewenangan provinsi, dalam prakteknya ada beberapa Kab/Kota yang belum menyerahkan ke Provinsi. Hal ini sudah menjadi tanggungjawab Aparatur Sipil Negara sebagai pelaksana Undang-undang dan pelaksana pelayanan publik. Pada akhirnya, pelaksanaan ketentuan dan amanat undang-undang menjadi domain utama dari ASN. Sehingga penyerahan kembali PLB menjadi mutlak harus dilakukan.
Desain pelimpahan P3D (Personil, Peralatan, Pembiayaan dan Dokumen) pada satuan pemerintahan pada dasarnya bukan hal baru yg dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah kita telah berpengalaman perihal hal ini. Sebagai contoh, pelimpahan P3D pernah dilakukan pemerintah saat diundangkannya Undang-undang 5 tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah. Sedangkan pada satuan pemerintahan yang lain yang bahkan lebih besar, juga pernah dilakukan pengalihan pegawai Indonesia pada saat Referendum di Timor-Timur tahun 1999.
Pada dasarnya P3D adalah langkah awal sampai ditetapkannya Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah. Sederhananya, pada akhirnya pendidikan menjadi urusan pusat yang dikelola oleh daerah. Tanggung jawab penyelenggaraan layanan dasar adalah Negara. Tentu presiden sebagai penanggung jawab penyelenggaraan urusan pemerintahan dalam negara.

                                                                                                ——————- *** ——————-

Tags: