Hak Angket Menkumham Tak Relevan Lagi

Ray Rangkuti

Ray Rangkuti

Jakarta, Bhirawa
Direktur Lingkar Madani untuk Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti mengatakan pengajuan Hak Angket beberapa anggota DPR untuk Menkumham Yasonna Y Laoly yang mengesahkan kepengurusan Partai Golkar hasil Munas Ancol sebaiknya dicabut.
“Sudah tidak relevan lagi,” kata Ray Rangkuti kepada pers di Jakarta, Minggu, menanggapi pengajuan Hak Angket untuk Menkumham Yasonna.
Menurut dia, secara substansi pengajuan hak itu bermasalah dan menjadi polemik soal apa ada dampak luas terhadap kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara, dan apakah keputusan Menkumham bertentangan dengan peraturan perundang-undangan atau tidak. Selain itu, kasus yang mau diangket juga sudah dan sedang diproses di ranah hukum.
“Artinya, tidak mungkin satu masalah diselidiki dua kali. Karena muara dari hak angket adalah pengadilan juga,” kata Ray Rangkuti.
Lebih lanjut Ray Rangkuti mengatakan, hak angket itu digunakan untuk menyelidiki kebijakan penting dan strategis eksekutif yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, tetapi dinilai bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Sementara terkait rencana pengajuan hak angket oleh Komisi III DPR untuk Menkumham, Ray Rangkuti menilai sekadar sebagai alat penekan, namun tidak mempan.
DPR sebenarnya sadar bahwa substansi dan momentum hak angket untuk Menkumham sudah tidak tepat, karena itu mereka ingin membatalkannya.
“Tetapi, mengumumkan pembatalan atau pencabutan hak angket kan malu juga. Karena itu, diciptakan situasi atau jalan yang berkelok-kelok, sehingga akhirnya orang lupa akan hak angket,” katanya.
Ray Rangkuti mengatakan, sejumlah partai politik juga tidak mendukung pengajuan Hak Angket untuk Menkumham itu, hanya PKS sendiri yang bertahan.
Sementara itu, peneliti senior Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengatakan, wacana pengajuan hak angket untuk Menkumham tidak relevan atau mubazir setelah Rapat Panitia Kerja Pilkada Komisi II DPR memutuskan bahwa putusan pengadilan terakhir sebelum pendaftaran calon menjadi pegangan KPU dalam menentukan kepengurusan parpol yang bisa mengikuti Pilkada 2015.
“Dengan adanya keputusan politik tersebut dan ditambah putusan sela PTUN plus sudah dipanggilnya Menkumham oleh Komisi III DPR, maka wacana Hak Angket sudah tidak dibutuhkan. Momentum dan timing-nya sudah lewat,” katanya.
Lucius mengatakan, ada tiga poin utama kesepakatan Panitia Pilkada Komisi II DPR terkait parpol yang terlibat konflik agar bisa ikut pilkada serentak yang tahapannya dimulai Juli 2015.
Pertama, Komisi II DPR mendorong terjadinya rekonsiliasi pada parpol yang bermasalah, dalam hal ini Partai Golkar dan PPP. Kedua, apabila rekonsiliasi tak tercapai, putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang akan digunakan sebagai pedoman verifikasi. Ketiga, jika belum ada putusan berkekuatan hukum tetap sampai masa pendaftaran calon pilkada habis, maka putusan pengadilan yang terakhirlah yang menjadi pedoman untuk memverifikasi parpol.
“Proses hukum sudah jelas memberikan solusi penyelesaian konflik Partai Golkar dan PPP. Artinya proses politik terkait Hak Angket di DPR dengan sendirinya tidak relevan lagi,” katanya. [ant.ira]

Rate this article!
Tags: