Hak Belajar dan Hak Sehat di Masa Pandemi

Oleh :
Nurul Yaqin Syam
Alumnus Institut Dirosat Islamiyah Al-Amien Prenduan Sumenep Madura

Di tengah penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) di wilayah Jawa-Bali, sepertinya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim tidak putus asa menggalakkan pembelajaran tatap muka (PTM). Hal ini tampak ketika Mas Nadiem mengikuti acara rapat virtual bersama Komisi X DPR pada Rabu 20 Januari kemarin yang menuturkan bahwa kemauan pemerintah daerah untuk membuka PTM masih rendah meski telah diberikan otoritas. Sebuah ungkapan nada kekecewaan tapi tak bersuara lantang.

Padahal, menyikapi PTM ini pro dan kontra berdenting keras di kalangan orang tua. Sebagian mereka setuju karena mengingat pembelajaran daring tidak semudah bersilat lidah. Nilai anak-anak menurun. Penggunaan gadget tidak terkontrol. Tidak fokus ketika pembelajaran. Dan anak-anak stres setelah hampir setahun hanya mendekam diri di dalam rumah. Akibatnya, pembelajaran daring berjalan tidak efektif.

Di sisi lain orang tua belum setuju karena angka kasus covid-19 terus menanjak naik. Belum mengalami penurunan yang signifikan. Isu covid-19 kembali naik daun menjelang pergantian tahun. Apalagi setelah booming yang namanya Rapid Test Antigen dan Vaksin Sinovac. Intinya, dari pro-kontra orang tua di atas ada hak anak yang mereka tuntut, yaitu “Hak Belajar” dan “Hak Sehat”.

Belajar Memang Penting

Ketika situasi normal, dalam jangka waktu yang panjang, pembelajaran di sekolah-sekolah selalu ramai. Metode dan model pembelajaran digalakkan agar anak bisa belajar efektif dan efisien. Bahkan, lembaga pendidikan berlomba-lomba mengadakan pelatihan dengan mendatangkan para ahli dan pakar.

Hingga suatu masa tak terduga tiba, covid-19 menyerbu tatanan kehidupan yang sebelumnya baik-baik saja. Dunia pendidikan tak terkecuali, terkena imbasnya. Apakah pendidikan terhenti? Tidak. Pendidikan terus melaju. Inovasi-inovasi baru tetap bergelora. Pelatihan-pelatihan bahkan semakin menyala. Meski dengan dunia yang tak lagi sama dengan sebelumnya. Pertanyaanya, untuk apa ini semua?. Tentu, agar warga negara memperoleh haknya dalam belajar. Hak belajar merupakan keniscayaan yang tak bisa dibantahkan.

Kita semua mafhum bahwa setiap warga negara memiliki hak untuk memperoleh pendidikan. Hal itu selaras dengan amanah UUD 1945 pasal 31 ayat 1 yang kerap kita dengar sejak bangku sekolah dasar. Mengapa? Karena pendidikan merupakan ladang paling tepat untuk menuai generasi-generasi hebat di masa depan. Pendidikan menjadi pucuk harapan di tengah ambruknya aspek-aspek lain yang diselimuti gejolak permasalahan.

PTM, Mendesakkah?

Ketika pemerinah menerbitkan kebijakan yang membolehkan PTM di situasi darurat. Dunia pendidikan terperanjat. Mengapa? bukankah kita semua berharap agar bisa masuk sekolah seperti sebelumnya dengan tatap muka?. Betul, tapi masalahnya angka jumlah kasus covid-19 masih melaju cepat. Kebijakan tanpa adanya perhitungan yang matang hanya akan melahirkan masalah yang lebih berat.

Dalam kondisi wabah seperti ini tak ada metode lain yang paling minim risiko kecuali pembelajaran daring. Hanya ini satu-satunya langkah paling efektif untuk meminimalisir interaksi antarmanusia dan kerumunan meski menyisakan riak-riak kegundahan. Guru, siswa, bahkan kita semua pun tidak mengharapkan pola pembelajaran seperti ini. Tapi, apa daya kondisi belum bersahabat dengan animo nurani kita.

Jika melirik ke alasan-alasan pemerintah yang membolehkan PTM seperti ancaman putus sekolah, tumbuh kembang anak, dan psikologis anak, itu sungguh merupakan tujuan yang sangat mulia. Tapi ini sangat riskan memunculkan problema-problema yang lebih serius dan nyata. Memaksakan pembelajaran tatap muka di tengah situasi darurat, seperti menguras genangan air di tengah guyuran hujan.

Pembelajaran tatap muka seolah digadang-gadang menjadi solusi permasalahan peserta didik. Masalahnya, bukankah dalam kondisi normal saja dunia pembelajaran kita masih menyisakan banyak puing-puing masalah yang harus diselesaikan?.

Ada masalah klasik yang masih tertatanam kokoh di dunia pendidikan kita. Yaitu pembelajaran satu arah dengan guru sebagai pembicara tunggal. Jika habitus demikian terus diejawantahkan dalam program PTM yang sudah direncanakan secara matang, apakah akan berjalan dengan efektif dan sesuai harapan? Atau jangan-jangan hanya memindahkan pembelajaran yang awalnya dari dunia maya ke dunia nyata.

Apalagi realisasi PTM di masa pandemi ini tentu berbeda dengan kondisi normal sebelumnya, yang bebas melakukan apa saja. Apabila PTM ini benar-benar terejawantahkan, maka ada banyak regulasi yang harus ditunaikan. Baik dari segi sarana dan prasarana maupun SDM.

Penyediaan alat kesehatan harus memadai. Siswa dan seluruh komponen sekolah harus benar-benar bisa menjaga jarak, tidak kerumunan, rajin mencuci tangan, tak ada kegiatan ekstrakurikuler, tak ada jajan di kantin, dan masker harus selalu terpasang. Semua peraturan menjadi serba sangat ketat. Bagaimana efeknya terhadap siswa? kita hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga semua aturan ini tidak menjadi beban tambahan bagi para siswa yang salah satu tujuan dari PTM ini adalah untuk mengatasi perkembangan dan psikologis peserta didik.

Sehat Itu Segalanya

Oleh karena itu, ketika pemerintah membolehkan PTM, lembaga pendidikan tidak boleh gegabah dan menelan mentah-mentah. Perlu disaring dan dimusyawarahkan secara matang. Jika PTM memang akan diterapkan, segala kesiapan harus benar-benar ditunaikan. Persiapan PTM harus benar-benar seratus persen. Tidak boleh 95 persen, apalagi hanya 75 persen. Karena ini menyangkut nyawa manusia yang tidak bisa ditawar.

Setiap lembaga pendidikan harus penuh kehati-hatian dalam mengambil kebijakan. Jika belum bisa merealisasikan PTM, jangan dipaksakan apalagi hanya karena ikut-ikutan. Toh, kita masih bisa melaksanakan pembelajaran melalui dunia maya. Jangan sampai ambisi kita yang terlalu besar untuk melaksanakan PTM dengan mengedepankan segepok alasan, ternyata menggadaikan kesehatan dan menimbulkan klaster-klaster baru dalam dunia pendidikan. Karena -meminjam fatwa Arthur Schopenhauer- yang terbesar dari kebodohan adalah mengorbankan kesehatan untuk jenis lain dari kebahagiaan.

——— *** ———

Rate this article!
Tags: