Hak “Kartu Nikah”

Foto Ilustrasi

“Musim” menikah dengan pencatatan resmi di Kantor Urusan Agama (KUA) akan dimulai akhir pekan ini. Bulan Maulud kalender Hijriyah, menjadi periode yang paling banyak (kedua) dipilih oleh keluarga di Indonesia untuk melaksanakan hajat pernikahan. Penghulu (Kepala KUA) di semua kecamatan menuai panen besar. Bisa menikah sampai tujuh kali. Bertepatan dengan “musim” nikah, Kementerian Agama mulai meluncurkan kartu nikah, sebagai pelengkapan Buku Nikah.
Dalam bulan Maulud bertepatan dengan musim hujan, sekaligus jelang akhir tahun Masehi, saatnya KUA panen pernikahan. Masa panen besar KUA itu telah berlangsung puluhan tahun, terutama sejak diberlakukannya UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Bahkan pada masa “panen” menikah, terutama pada bulan Dzulhijjah (pada budaya Jawa disebut bulan Besar), KUA bisa kehabisan Buku Nikah. Rata-rata nasional pernikahan (selama 3 tahun terakhir) sebanyak 2,2 juta pasangan.
Seperti terjadi pada bulan November tahun 2013, KUA di seluruh Indonesia kehabisan stok Buku Nikah. Terutama di Jawa Barat, Banten, dan Jawa Timur. Padahal konon disediakan berlebih. Misalnya untuk propinsi Jawa Timur disediakan sekitar 500 ribu Buku Nikah, dengan kebutuhan rata-rata 370 ribu-an bendel. Begitu pula Jawa Barat cukup dengan 450 ribu-an Buku Nikah.
Buku Nikah, sejak satu dekade terakhir menjadi dokumen kependudukan strategis. Buku nikah akan digunakan sebagai salahsatu syarat utama untuk mengurus akte kelahiran. Sedangkan akte kelahiran telah menjadi persyaratan yang wajib dipenuhi untuk mendaftar sekolah (SD). Selain itu, buku nikah (yang berwarna hijau maupun cokelat) juga digunakan sebagai bukti hak keperdataan dalam hukum waris.
Namun Buku Nikah ukurannya cukup besar (dengan 9 halaman termasuk cover tebal), tidak masuk dalam dompet. Maka kini diterbitkan Kartu Nikah (sebagai pelengkap) yang praktis dibawa, masuk dompet. Seukuran mirip KTP elektronik. Berbentuk persegi panjang, berwarna dasar hijau dengan campuran kuning. Bagian atas kartu bertuliskan kop Kementerian Agama.
Di bawah kop Kementerian Agama, terdapat dua kotak untuk foto pasangan yang dinyatakan telah sah menikah berdasarkan buku nikah. Di bawah dua kotak akan dipasang barcode. Bila dipindai, barcode akan menunjukan data wajah, nama, dan tanggal menikah pasangan di layar mesin pemindai. Ditargetkan satu juta Kartu Nikah bisa disebarkan untuk pengantin baru, yang melangsungkan pernikahan pada tahun 2018.
Untuk “pengantin lama,” suplai kartu nikah dilakukan bertahap. Peluncuran Kartu Nikah ditandai dengan berlakunya Aplikasi Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) berbasis web dan kartu nikah. Simkah berbasis web merupakan pusat data pernikahan yang terintegrasi dengan Aplikasi Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Kartu Nikah, juga terintegrasi dengan Sistem Informasi penerimaan negara (PNBP) online (SIMPONI) Kementerian Keuangan.
Sebenarnya tidak sulit menerbitkan Kartu Nikah. Karena setiap pasangan suami istri, niscaya terdaftar dalam satu Kartu Keluarga (KK). Dalam setiap KK terdapat nomor berdasar kode tempat tinggal (kelurahan, kecamatan, serta kabupaten dan kota), dalam 16 digit angka. Begitu pula setiap e-KTP (setiap orang) memiliki nomor induk kependudukan (NIK). Enam digit pertama NIK (di e-KTP) selalu sama dengan 6 digit nomor KK.
Sehingga setiap pasangan suami istri selalu memiliki nomor e-KTP ber-urutan pada empat digit angka terakhir. Sedangkan enam digit di tengah, merupakan angka kode tanggal, bulan dan tahun kelahiran. Maka Kartu Nikah, sejatinya bentuk lain identitas kependudukan. Berdasar UU Nomor 23 tahun 2006 tentang Kependudukan, seluruh identitas kependudukan, merupakan hak. Pemerintah wajib menerbitkan, dan mendistribusikan secara gratis!

——— 000 ———

Rate this article!
Hak “Kartu Nikah”,5 / 5 ( 1votes )
Tags: