Hak Ulayat di Batam

Pemerintah wajib menjamin pelaksanaan hak ulayat (adat daerah) sesuai amanat konstitusi, sebagai jalan mewujudkan kesejahteraan. Tak terkecuali masyarakat pulau Rempang, propinsi Kepulauan Riau, wajib dimakmurkan melalui proyek strategis nasional. Relokasi warga seyogianya dilaksanakan setelah melalui musyawarah intensif, sehingga timbul “ke-suka rela-an” masyarakat. Sebaliknya, cara kekerasan (penggusuran) bisa memicu isu tragedi pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Bentrok di Jembatan IV, Barelang, Kepulauan Riau, terjadi antara tim aparat gabungan (TNI dan Polri) dihadang masyarakat. Aparat keamanan menggunakan water cannon, sedangkan masyarakat menghujani aparat dengan lemparan batu. Beberapa anggota masyarakat ditahan di Polres Barelang. Bentrok terjadi karena Badan Pengusahaan (BP) Batam, akan menggunakan kawasan untuk Proyek Strategis Nasional (PSN). Namun masyarakat menolak relokasi tempat tinggal.

Kepemilikan lahan yang akan menjadi kawasan PSN masih dalam polemik dua perusahaan. Sedangkan hak ulayat masyarakat adat masih berada di tengah sengketa. Namun warga yang (konon) telah tinggal sejak sebelum Indonesia Merdeka, akan digusur dalam pelaksanaan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco-City. Kawasan pembangunan PSN akan meliputi 7.572 hektar (45,89% total luas pulau Rempang). Diharapkan bisa menarik investasi besar (sampai US$ 11,5 milyar).

Warga yang menempati pulau Rempang, pulau Galang dan pulau Galang Baru, harus direlokasi ke lahan yang sudah disiapkan. Tetapi warga dari 16 kampung Melayu di (sekitar 7 – 10 ribu jiwa) di Rempang belum menyepakati relokasi. Terjadi bentrok saat BP Batam akan menancapkan patok proyek. Sebanyak 43 warga ditangkap. Namun penangkapan memicu protes luas dari berbagai ormas (termasuk NU, dan Muhammadiyah). Presiden meng-instruksikan aparat di Batam, memperbaiki komunikasi dengan tokoh-tokoh masyarakat.

Namun konon, selalu terdapat kendala untuk memakmurkan pulau Batam (yang berhadapan dengan Singapura). Seolah tak ingin meliohat Batam menjadi makmur, dan pusat investasi. Termasuk isu hak ulayat atas kawasan. Ironisnya, data Kementerian menunjukkan adanya dobel perizinan yang diberikan oleh Kementerian Lingkungan hidup dan Kehutanan (KLHK). Dua badan usaha swasta, sama-sama memiliki izin. berupa Hak Guna Usaha (HGU), yang diberikan tahun 2001, dan tahun 2004.

Dianggap terlantar, menyusul pada tahun 2004, hak atas tanah diterbitkan lagi, diberikan kepada orang lain untuk ditempati. Dua hak atas tanah, diberikan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Jadi sebenarnya, bukan penggusuran, melainkan pengosongan lahan oleh BP Batam. Namun menurut Komnas HAM, rakyat pulau Rempang, memiliki hak ulayat. Karena telah menempati Kawasan secara turun temurun sejak sebelum Kemerdekaan RI (17 Agustus 1945).

Pernyataan (hak ulayat) Komnas HAM, patut diuji. Ditimbang dengan UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Tidak asal gusur. Pada pasal 2 ayat (3), dinyatakan, “Wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari Negara … digunakan untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat, dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka berdaulat, adil dan makmur.”

Nyata-nyata terdapat frasa kata “kebahagiaan, kesejahteraan.” Wajib dipenuhi oleh penyelenggara pemerintahan di daerah. Termasuk BP Batam. UU Agraria juga mengakui hak ulayat. Pada pasal 3, dinyatakan “… pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada, ….”

UU Agraria tahun 1960, yang berhulu pada UUD 1945 pasal 33 ayat (3) patut ditegakkan. Kendala provokasi (pemerintah dan masyarakat) harus segera dijembatani. Termasuk mengikis provokasi intelijen luar negeri pada kawasan terluar Indonesia.

——— 000 ———

Rate this article!
Hak Ulayat di Batam,5 / 5 ( 1votes )
Tags: