Halusinasi

Oleh :
Rofiatul Adawiyah

Malam itu, pikiranku melesat jauh lebih cepat dari detak detik jam dinding yang melekat di sudut kamarku. Aku pun melayang keluar dari pendirianku untuk menemukan sudut pandang masa depan yang lebih baik. Semula memang tampak gelap, sebab aku hanya membawa hati kecilku. Sementara, kedua mata ini memilih untuk beristirahat dari segala bentuk pergerakan yang dapat merugikan diri sendiri maupun orang lain. Namun, semakin lama terdiam, semakin jauh aku terlepas dari kesadaran yang sebenarnya hingga aku berhasil menemukan cahaya begitu terang di tengah-tengah manusia yang sedang menikmati pesanan beserta waktu luangnya.
Mereka merupakan sekumpulan manusia yang berhasil menunaikan keinginannya. Hal tersebut tampak jelas dari berbagai makanan dan minuman dengan aneka warna dan rasa yang mampu mereka pesan secara berlebihan. Meski tidak ada yang tahu tentang kesulitan atau kemudahan yang mereka tempuh dalam mewujudkannya. Barangkali pandangan tersebut juga terbilang berlebihan, tetapi aku meyakini bahwa mereka sedang memberikan penghargaan terhadap pencapaian dirinya. Dengan demikian, aku pun menuju perkumpulan itu untuk mengetahui sesuatu yang cukup berharga, yaitu sudut pandangnya.
“Permisi.. Bang.” ucapku.
“Namaku Joko. Bolehkah aku duduk di sini?” tanyaku sembari mendekati kursi kosong yang terletak di antara mereka.
“Iya, silakan duduk, Dik.” sahut seorang laki-laki berbadan gemuk memakai kaos lengan pendek berwarna hitam dengan tas selempang yang melekat di dadanya. Laki-laki tersebut begitu ramah dan tampak seperti orang yang memiliki kendali atas perkumpulan itu.
“Matur nuhun, Bang.” ucapku lagi.
“Kau nampak seperti bukan warga sini, Dik.” ucap seorang laki-laki yang memakai baju lengan panjang dengan sarung batik bergambar wayang.
“Betul, Bang.” sahutku sembari menempatkan diri pada kursi kosong tersebut.
“Aku …..” ucapku terhenti karena seketika seorang laki-laki berpenampilan rapi dengan sebuah buku dan bolpoin yang tampak seperti pelayan restauran datang meminta perhatianku.
“Permisi.. Ada yang bisa saya bantu?” tanya laki-laki yang bukan dari perkumpulan itu, yaitu seorang pelayan restauran.
“Tidak. Terima kasih, Bang.” sahutku kepadanya sehingga dia kembali meninggalkanku dengan perkumpulan itu. Sementara, aku kembali memusatkan perhatianku kepada seorang laki-laki yang memakai baju lengan panjang dengan sarung batik bergambar wayang. Sebab, dia-lah salah satu orang yang cukup ramah menyambut kehadiranku. Hal tersebut sangat tampak dari tindakannya memasukkan ponsel ke dalam saku agar bisa mendengar dan memahamiku lebih lanjut. Namun anehnya, ruangan dari restauran tersebut tampak terbuka begitu saja, tanpa atap dan dinding. Begitu pun, kepergian seorang pelayan yang datang menawarkan jasanya tersebut; secepat kilat tidak terlihat lagi di sekitar.
“Mengapa kau menolak tawaran itu? ucapnya.
“Apa kau tidak memiliki uang?” tanya seorang laki-laki yang lain dari perkumpulan itu sembari memainkan ponselnya.
“Tidak, Bang.” sahutku.
“Aku pun tidak ingin memesan apapun di sini.” sambungku. Sebab, aku sadar bahwa perjalanan ini berawal dari sebuah kondisi, yaitu rangsangan yang diperoleh dari mata dan pikiran sekaligus, tanpa melibatkan pergerakan secara fisik, tidak nyata.
“Lalu, mengapa kau datang kemari anak muda?” tanya laki-laki yang lainnya lagi.
“Aku melihat cahaya dari ruangan ini yang cukup memberiku harapan.” ucapku. Aku menyadari bahwa pentingnya keberadaan cahaya terhadap proses penglihatan, khususnya untuk melihat indahnya ciptaan Tuhan, mulai dari jalan yang harus ditempuh, keberadaan orang-orang terdekat, dan berbagai kesempatan yang ada di depan mata. Di samping itu, tidak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya aku selalu membutuhkan cahaya untuk kelangsungan hidupku di malam hari.
“Kalau begitu, mari ikut denganku.” ucapnya. Tanpa basa-basi, laki-laki yang memakai baju lengan panjang dengan sarung batik bergambar wayang pun berpamitan kepada yang lainnya. Dengan demikian, kami pun meninggalkan restauran tersebut menuju sebuah rumah, seperti gubuk yang tidak terpasang lampu satu pun sehingga tampak begitu gelap.
“Untuk apa kita kemari, Bang?” tanyaku penasaran.
“Aku bisa merasakan bahwa kau memiliki ketergantungan terhadap cahaya.” ucapnya.
“Betul, Bang.” sahutku.
“Aku tidak bisa berlama-lama di tempat yang gelap seperti ini. Sebab, aku memiliki riwayat asma.” sambungku tanpa berpikir panjang untuk memberitahukan kondisiku yang sebenarnya karena aku tidak ingin berlama-lama di gubuk tersebut; yang dapat menyumbat pernapasanku secara perlahan.
“Apakah kau merasa sesak berada di sini?” tanya laki-laki tersebut.
“Cobalah atur pernapasanmu.” sambungnya.
“Selama ini aku sudah mencobanya, tetapi aku tidak pernah berhasil, Bang.” Balasku.
“Kalau kau terbiasa dengan cahaya maka sebaiknya kau tidak pernah datang kemari, melainkan betul-betul mengistirahatkan tubuh beserta pikiranmu.” ucapnya.
“Kau tahu mengapa?” tanyanya.
“Tidak, Bang.” sahutku.
“Ada hal yang lebih penting dari cahaya yang kamu butuhkan di malam hari, yaitu mengendalikan perubahan emosimu. Sementara, kau tidak menyadari adanya perubahan emosi di malam hari yang cenderung meningkat. Sebab, hal yang seringkali terjadi, yaitu alih-alih mengistirahatkan tubuh dan pikiran, justru membawa pikiranmu menjelajahi semua peristiwa yang pernah maupun belum pernah terjadi. Oleh karena itu, ketika terjadi perubahan emosi tersebut, orang sepertimu akan merasa penyakitnya kambuh.” jelasnya.
“Tidak hanya itu!” tambahnya. Aku pun terdiam agar mendengar penjelasannya lebih lanjut.
“Jangan menyimpang dari sesuatu yang baik untukmu. Jangan menyimpang dari sesuatu yang nyata. Meski kau berpikir bahwa semua ini terasa menyenangkan dan tidak berdampak fatal, tetapi kau harus tetap berpikir secara realistis, yaitu situasi dan kondisi pada kenyataan selalu lebih baik dari setiap halusinasimu.” sambungnya.
“Kembali lah sebelum kau tersesat di sini!” serunya sembari meninggalkanku.

Tentang Penulis:
Rofiatul Adawiyah.
Seorang anak perempuan yang terlahir dari kecil di Situbondo, 18 Agustus 1998. Pemilik blog Jalanpikiran (@rrofiatul.blogspot.com/) ini bisa dihubungi di facebook: Rofiatul, Instagram: @rofiatul_18

——— *** ———-

Rate this article!
Halusinasi,5 / 5 ( 1votes )
Tags: