Handuk

Oleh :
Jamaludin GmSas

Ada handuk yang dibiarkan menggantung
di jemuran. Tubuhnya tak pernah mengenal
muasal peluh walau hidupnya sering
telentang dan menatap berani ke matahari.

Sebuah handuk yang duduk termenung
sendiri menunggu awal dan akhir dari
sebuah perjuangan atau awal dan akhir
dari sebuah tidur yang panjang.

Handuk adalah jendela yang melihat
ke luar-dalam pada waktu yang bersamaan.
Ia pandai menyembunyikan wajah yang
tadinya lengang menjadi sedikit tenang.

Ada banyak tubuh kecut masuk ke dalam toilet
sambil meletakkan sebuah handuk di salah satu
pundaknya. Handuk tak pernah tahu, akan digunakan
untuk mengusap iler, peluh, atau aduh.

Di mata handuk yang nyalang dan terang,
sedikit pun tak pernah melihat sebuah
fenomena alam tentang asal mula
iler dan peluh yang jatuh di semesta tubuh.

Sebuah handuk hanya mengetahui toilet yang
gaduh, tubuh-tubuh berpeluh, iler-iler kering
yang sudah lama jatuh, dan kepala-kepala asu
yang dibentur-benturkan pada cermin waktu.

Al-Ikhsan, April 2020

Di Dalam Sebuah Buku

Pada halaman sampul sebuah buku,
tokoh-tokoh diberi nama dan peran,
kemudian mereka semua ditiup ke dalam
kepala dan keluar dari rahim sebuah angka.

Pada halaman awal sebuah buku,
tokoh-tokoh memeperkenalkan dirinya
pada dunia. Entah mau apa, mereka hanya
mengembara layaknya pejalan yang tak miliki istana.

Pada halaman tengah sebuah buku,
tokoh-tokoh saling enggan untuk menuliskan ceritanya,
kecuali mereka yang memang benar-benar berani
diabadikan pada sebuah jeda-jeda aksara.

Sebelum halaman akhir sebuah buku,
tokoh-tokoh pada hilang sebelum sempat menapaki
ingatan-ingatan: mengapa ia menganggukan kepala
saat dimasukan ke dalam sebuah nama.

“Di mana kalian akan tinggal setelah hilang
dari dunia buku?” tanya seorang pembaca.
“Tak usah kau cari kita, sudah tak ada lagi cerita–
hanya ada dongeng-dongeng yang pernah kaubaca.”

Satu per-satu tokoh di dalam buku hilang,
padahal ceritanya masih dituliskan hingga sekarang.
Segala tanda-tanda berkumpul di akhir halaman,
tapi hanya untuk menyusun tanda tanya yang sangat besar.

Al Ikhsan, Januari 2021

Mata Insomnia

Pagi mulai menggeliatkan badannya.
Ia memberesi segala tempat tidur yang
berantakan akibat atap kamar bocor, sedangkan
air hujan menyusup lewat sela-sela retakan.

Setelah itu, ia masuk ke kamar mandi untuk
menyuci muka, menyikat gigi, dan mengaca;
apakah ada kerak kegelisahan yang masih
nyantel di setiap mata yang insomnia?

(Kemiskinan berputar-putar lagi di kepala.)

Al Ikhsan, Maret 2021

Perut

Tuhan sudah mengurus
perut negara,
apakah masih Tuhan juga
yang memikirkan perut rakyatnya?

Al Ikhsan, Januari 2021

Membaca Kehidupan

Tak ada suara di malam hari
kecuali nada keheningan yang
sedang dinyanyikan oleh angin,
angan, dan lampu jalan.

Aku duduk bersama sepuntung
hidup yang terus dibiarkan menyala
: apakah ada ruang yang pas di dalam
sebuah puisi yang ditulis di atas kertas?

Lagi-lagi aku berdiri dan berjalan
lagi menyusuri jalanan malam
yang begitu sunyi. Tak ada yang pantas
untuk ditanyai kecuali diri sendiri

: dari mana kaki harus memulai?
Seekor waktu tak henti-hentinya
mengepakkan sayapnya di atas
punggung matahari dan rembulan.

Al Ikhsan, Januari 2021

Cublik

Sempat aku sampaikan bahwa
sebuah cublik yang mati
adalah dua kebinasaan
: api yang mengasing dan
riak minyak yang hening mengering.

Aku tak mengkritik api yang terlalu bergairah,
apalagi menitik minyak yang hanya sececah.
Semuanya kan sama-sama hilang, tanpa bayang.

Al-Ikhsan, Oktober 2018

Tentang Penulis :
Jamaludin GmSas- adalah nama pena dari Jamaludin. Lahir di Pemalang, 20 Juli 1997. Ia adalah santri di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji, Banyumas. Laki-laki pecinta kopi ini puisi-puisinya pernah disiarkan di laman: Koran Tempo, NusaBali, Pos Bali, Medan Pos, Tanjungpinang Pos, Fajar Makasar dan sebagainya.

Rate this article!
Handuk,5 / 5 ( 1votes )
Tags: