Hanya 15 Persen Pemilih Terpengaruh Money Politic

Tim PUSAD UM Surabaya bersama sejumlah pengamat politik membedah hasil riset tentang tipologi pemilih dan potensi konflik di Jatim dalam Pemilu 2019, Kamis (24/1).

Surabaya, Bhirawa
Praktik money politic, masih menjadi isu sentral dalam proses demokrasi di Indonesia. Tak terkecuali dalam konstelasi menjelang Pemilu 2019, baik pemilihan presiden maupun legislatif. Kendati mayoritas masyarakat tidak menolak menerima uang dari kandidat pemilu. Namun, hanya sebagian kecil yang mau menetapkan pilihannya karena money politic.
Hal itu dibuktikan tim riset Pusat Studi Anti-Korupsi dan Demokrasi (PUSAD) Universitas Muhammadiyah (UM) Surabaya. Dalam riset yang dilakukan PUSAD, tercatat 66,50% masyarakat Jatim tetap menerima uang dari money politics yang diberikan calon. Tetapi, mereka tetap memilih berdasarkan hati. Sedangkan 15% menerima uang tersebut sekaligus memilih calon yang memberikan uang. Selain itu, terdapat juga masyarakat yang mau menerima uang tetapi tidak memilih yang memberi uang dengan persentase 16,67%.
“Hanya 1,87% masyarakt di Jatim yang menolak menerima uang dengan alasan yang beragam,” tutur Direktur PUSAD UM Surabaya Satria Unggul, Kamis (24/1).
Satria menjelaskan, alasan pemilih yang tidak mau menerima ‘sedekah’ politik paling tinggi adalah alasan idealisme agama. Selebihnya, ada juga yang karena takut melanggar hukum.
Riset yang dilakukan di 38 kabupaten/kota pada periode November – Desember 2018 tersebut juga melihat potensi konflik yang mungkin terjadi di Jatim selama momentum politik ini berlangsung. Potensi konflik tersebut khususnya atas dasar agama.
Satria menuturkan, tipologi potensi konflik yang didorong oleh seruan atas nama agama sebanyak 40,5 persen. Selain itu, potensi konflik juga terjadi atas dasar penyalahgunaan perizinan dalam Pemilu sebanyak 24,5 persen, informasi hoax dan black campaign sebanyak 13,2 persen, isu SARA 11,8 persen, serta netralitas ASN dan penyalahgunaan APBN/APBD sebanyak 10 persen.
Gambaran tersebut, menjadi tantangan tersendiri bagi dinamika politik dan demokrasi di Jatim. Terlebih Jatim merupakan provinsi dengan Daftar Pemilih Tetap (DPT) tertinggi kedua setelah Jawa Barat. “Kami menggunakan metode multistage random sampling sekaligus memadukannya dengan metode penelitian kualitatif. Dari hasil riset ini, setidaknya dapat menjadi perhatian bersama, baik pemerintah, penyelenggara pemilu, aparat maupun masyarakat untuk saling bekerjasama,” tutur Satria.
Pada kesempatan yang sama, pakar politik Universitas Airlangga Aribowo menuturkan, ada kecenderungan naik dalam praktik money politic. Tetapi, dalam pengertian money politic sejatinya adalah pemilih mendapatkan uang dan memilih karena dorongan uang tersebut. “Kita sepakati persepsi tentang money politic itu dulu. Karena yang paling besar ternyata, pemilih mau menerima uang tapi tidak tetap memilih sesuai kehendaknya,” tutur Aribowo.
Dengan persentase 15 persen pemilih yang terpengaruh pilihannya dengan uang, itu sudah cukup tinggi. Sebab, Aribowo pada pemilu 2004 sampai 2019 ini cukup signifikan. “Dulu, di Surabaya saya pernah menghitung money politic berpengaruh sekitar 6-7 persen, kemudian naik menjadi 10 persen dan dalam penelitian ini mencapai 15 persen,” kata dia.
Tetapi jika dilihat secara proporsional, money politic sesungguhnya tidak terlalu menentukan. “Kecenderungan menerima uang dalam proses pemilihan itu biasa. Bahkan di Eropa juga berlaku praktik yang sama. Jangan dikira kalau di Eropa dikasih uang, tidak diterima, tetap diterima,” tutur dia. Aribowo menegaskan, faktor utama dalam mempengaruhi pemilih adalah program dan performa calon. Jika program-program itu tersosialisasi dengan baik akan memberi pengaruh baik. [tam]

Tags: