Hanya dari Kulit Siwalan Jadilah Tiga Karya Andalan

Siswa peserta ekstra kurikuler SMKN 1 Tuban memamerkan karya mereka di stand Dindik Jatim pada Jatim fair 2017 mulai kemarin.

Kiprah Ekstrakurikuler KIR SMKN 1 Tuban
Surabaya, Bhirawa
Ada banyak potensi ekonomis tersembunyi di balik sampah yang seakan tak berguna. Kulit dari buah siwalan misalnya. Inovasi mengubahnya menjadi rentetan karya terpuji yang bisa jadi andalan. Baik dalam mengerek prestasi maupun diproduksi untuk dipasarkan.
Adalah siswa dari kelompok ekstrakurikuler Karya Ilmiah Remaja (KIR) SMKN 1 Tuban yang berhasil merekayasa limbah organik itu menjadi bahan bakar modern ramah lingkungan yaitu briket. Selain itu, sabut dan batok siwalan itu juga bisa dimanfaatkan sebagai adsorben yang lebih murah dan efektif menyerap emisi gas buang kendaraan bermotor. Ketiga, kulit buah yang mudah ditemukan di Tuban ini juga dapat digunakan sebagai bagan campuran untuk produksi batako. Kemarin (5/10), karya-karya tersebut menjadi salah satu ikon Dinas Pendidikan (Dindik) Jatim dalam pameran Jatim Fair 2017.
“Briket dengan menggunakan kulit siwalan ini memiliki 5.600 kalori per gramnya. Jauh lebih tinggi dari batu bara yang hanya 3000-4000 kalori per gramnya,” tutur Yusril Danang Mahendra.
Siswa kelas XII jurusan kimia industri itu menjelaskan, membuat briket dimulai dari proses pembakaran pirolisis. Yaitu pembakaran tanpa ada oksigen yang masuk. Caranya sederhana, menggunakan tong bekas cat tembok yang ditutup rapat. Untuk 10 kilogram sabut siwalan, proses pembakaran atau pemanggangan itu berlangsung selama satu hari. “Dari 10 Kg akan menjadi arang 1Kg atau 10 persen dari berat awal,” kata Yusril.
Arang seberat 10 Kg itu selanjutnya dihaluskan dan dipadatkan kembali menjadi briket. Dari 1 Kg arang, briket yang bisa dihasilkan sebanyak 100 potong atau sekitar delapan kemasan siap jual. “Satu kemasan isinya 12 potong atau 120 gram. Tiap potongnya bisa bertahan untuk pembakaran selama kurang lebih 1 jam,” tandasnya. Jika dijual, briket karya timnya itu bisa dibandrol Rp25 ribu. Namun, lanjut Yusril, briket tersebut tujuan utamanya tidak untuk dijual melainkan hanya untuk penelitian.
Proses pembuatan briket, lanjut Yusril nyaris sama dengan adsorben. Hanya saja terdapat perlakuan berbeda untuk membuka pori-pori arang untuk menyerap CO (Karbon Monoksida). Untuk membuka pori-pori tersebut arang yang telah dihaluskan tersebut direndam menggunakan senyawa ZN CO². Setelah proses perendaman, arang halur kembali dipadatkan.
“Karena sifatnya arang yang mudah terbakar, maka adsorben ini kita masukkan dalam pipa besi yang tertutup dengan diberi lubang kecil di tengahnya,” tutur Yusril. Dengan adsorben berbahan siwalan tersebut emisi gas dapat dikurangi hingga 80 persen. Alat ini jauh lebih efektif dari katalisator mobil yang biasa dijual Rp10 juta dan fungsinya hanya sebatas mengubah CO menjadi CO², bukan mengurangi. “Kalau adsorben kita ini hanya dibuat dengan harga Rp5 ribu tanpa keuntungan,” kata dia.
Karya ini, lanjut dia, tahun lalu berhasil merebut juara I lomba kIR Astra Internasional di Jakarta. Sayang, sama seperti halnya briket adsorben ini belum bisa benar-benar menguntungkan secara ekonomis. Banyak hal yang membatasi karyanya baik tenaga produksi, waktu, maupun alat produksi. “Termasuk alat uji yang menggunakan gas analyzer itu kita masih pinjam milik Auto 2000 Tuban,” tandasnya.
Berbagaik arya tersebut, dijelaskan pengurus KIR SMKN 1 Tuban Krisal Fauzi Rahmad lantaran di daerahnya sangat mudah ditemukan limbah siwalan. Mulai dari akar hingga daun siwalan, lanjut dia, semua sudah dapat difungsikan untuk berbagai bahan kebutuhan. Namun, tinggal sabut siwalan yang sampai kini belum ada yang memanfaatkan untuk apa.

Berharap Karya Siswa Bisa Punya Hak Paten
Ekstrakurikuler KIR di SMKN 1 Tuban cukup menjadi andalan di sana. Beragam inovasi lahir dari observasi masalah di lapangan sehingga muncul solusinya.
Favia Anggraeni menuturkan, untuk satu karya inovasi umumnya diproses selama kurang lebih enam bulan. Satu bulan untuk perencanaan, observasi dan mencari refrensi. Lima bulan berikutnya, proses dikembangkang dengan menentukan produk sekaligus ujicoba untuk produksi.
Retno Indraswari pembina KIR SMKN 1 Tuban mengungkapkan, ekstrakurikuler ini merupakan kegiatan non kegiatan belajar mengajar. Mereka yang tergabung berdasarkan minat dan bakatnya masing-masing. “Jadi kita hanya memfasilitasi, tidak merekrut siswa. Hanya mereka yang punya minat dan bakat,” kata guru guru mapel kimia analisa ini.
Menurut Retno, inovasi-inovasi itu telah banyak dilahirkan dari siswa binaannya. Namun, sampai kini kendala yang dihadapi tetap sama. Hilirisasi karya menjadi produk yang bermanfaat untuk masyarakat.
“Kita sedang berusaha mendapatkan patennya. Tapi sampai sekarang belum berhasil. Mudah-mudahan ada yang mau memfasilitasi usaha kami,” kata dia.
Retno mengakui, hak paten adalah salah satu usaha paling mungkin dilakukan saat ini. Sebab, untuk produksi sekolah tentu kewalahan. Sebab, produksi pasti membutuhkan alat produksi yang memadahi, tenaga kerja dan tempat produksi. “Tidak mungkin kan kita meminta siswa untuk memproduksinya,” ungkap Retno. [tam]

Tags: