Happy-ending Polisi vs KPK

Yunus-SupantoOleh :
Yunus Supanto
Wartawan senior, penggiat dakwah sosial politik.

Dibawahkan oleh Taufiequrahman Ruki, KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) berupaya realistis. Tidak ingin ber-lama-lama berpolemik upaya kasasi terhadap kekalahan PTUN pada kasus ke-tersangka-an calon Kapolri. Ketua (Plt) KPK memilih menyerahkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung. Lalu, Kejaksaan Agung menyerahkan kasus ke-tersangka-an calon Kapolri kepada Kepolisian. Klop, dari polisi kembali pada polisi.
Penyerahan kasus kepada Kejaksaan Agung di-iringi demo penolakan oleh  seluruh pegawai KPK (penyidik, penuntut dan staf administrasi). Ironisnya, bentangan spanduk penolakan terhadap keputusan pimpinan KPK, itu juga direspons positif oleh Ketua KPK. Taufiequrahman Ruki, turut membubuhkan tandatangan-nya bersama tandatangan karyawan. Sehingga kelanjutan status  ke-tersangka-an calon Kapolri, menjadi kewenangan polisi. Akankah di-hentikan?
Andai Kepolisian meng-hentikan kasus calon Kapolri, maka polisi juga (seharusnya) bisa menghentikan kasus ke-tersangka-an terhadap Ketua KPK non-aktif (Abraham Samad) dan Wakil Ketua KPK non-aktif (Bambang Widjojanto). Lebih lagi, rasa keadilan yang dipahami masyarakat lebih condong pembebasan kedua komisioner KPK. Polisi seyogianya se-pemahaman dengan masyarakat, sebagai wujud pelaksanaan UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara  RI. Terutama pasal 18 ayat (1) dan ayat (2).
Perseteruan antara Polisi dengan KPK, tidak bisa tidak, mencemaskan masyarakat. Banyak desakan rakyat (kepada presiden) untuk menghentikan kriminalisasi terhadap KPK. Ini penguatan moral secara sukarela, bukan dimobilisasi seperti lazimnya dukungan politik praktis. Bahkan jika presiden abai terhadap kriminalisasi KPK, maka rakyat akan menganggap presiden tidak memegang kekuasaan pemerintahan.
Kriminalisasi telah menjadi komoditas politik “high-class,” mengarah pada pergulatan antar-elit. Bahkan berpotensi menjadi degradasi legitimasi politik presiden Jokowi. Padahal sejak awal, Presiden Jokowi sudah wanti-wanti, tidak boleh ada kriminalisasi. Tidak boleh terjadi sangkaan tindak kriminal hasil rekayasa, atau dicari-cari. Semua (tuduhan dan ke-tersangka-an) harus berdasar alat bukti yang kuat, urgen, dan tidak menabrak kepatutan. Serta tidak menciderai asas keadilan.
Hak Mandatory Presiden
Presiden, memang boleh (dan wajib) mengendalikan kinerja Kepolisian dan Kejaksaan. Dengan hak mandatory presiden memiliki kewenangan “campur tangan” pada proses hukum, yakni sebelum dan sesudah Pengadilan. Hal itu merupakan konsekuensi kedudukan presiden sebagai Kepala Negara. Karena itu UUD pasal 14 ayat (1) dan ayat (2) memberi hak “campur tangan” sesudah Pengadilan.
Hak “campur tangan” terhadap Kepolisian dan Kejaksaan diatur dalam UU (undang-undang) tentang Kejaksaan dan Kepolisian. Dalam UU Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, pasal 8 ayat (1) dinyatakan secara tekstual, “Kepolisian Negara Republik Indonesia berada di bawah Presiden.” Pada ayat (2) semakin dipertegas, bahwa Kapolri (sebagai pimpinan tertinggi Polisi RI) bertanggungjawab kepada Presiden.
Maka dalam perspektif ketatanegaraan, pola hubungan presiden dengan Kapolri dan seluruh personel kepolisian adalah hubungan antara atasan dengan bawahan. Mestilah dibedakan, antara kekuasaan kehakiman (Pengadilan) dengan pelaksana proses hukum sebelum dan sesudah pengadilan. Ranah Pengadilan, diamanatkan UUD pasal 24 ayat (1), yakni “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”
Pada sisi lain, presiden juga memiliki “hak yudikatif” yang melekat. Pelaksanaannya dilakukan sesudah proses pengadilan (kekuasaan Kehakiman). Yakni berdasarkan UUD pasal 14 ayat (1) dan ayat (2). Dinyatakan dalam konstitusi, bahwa presiden berhak memberi grasi dan rehabilitasi, serta berhak memberi amnesti dan abolisi.
Sedangkan Kepolisian dan kejaksaan, nyata-nyata bukan bagian dari institusi Kehakiman (Pengadilan). Pada bagan trias politika (eksekutif, legislatif dan yudikatif), Kepolisian dan Kejaksaan terliput dalam kelompok eksekutif. Sebagai bagian dari pelaksana pemerintahan. Sehingga “campur tangan” presiden terhadap kinerja Kepolisian dan Kejaksaan, dijamin dalam UUD pasal 4 ayat (1). Dinyatakan, bahwa “Presiden memegang kekuasaan pemerintahan…”
Penghentian kriminalisasi terhadap KPK dan pendukungnya, ditegaskan presiden ketika berkunjung ke Ponorogo Jawa Timur (Kamis, 5 Maret 2015). Perintah presiden ini wajib dipatuhi. Perintah penghentian kriminalisasi merupakan respons presiden terhadap desakan masyarakat. Jika tidak merespons suara rakyat, presiden akan kehilangan popularitas yang dibangun keras selama ini.
Pembentukan KPK merupakan amanat rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XI tahun 1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Lalu, lebih dikuatkan dengan Tap MPR Nomor VI tahun 2001. Di dalamnya berisi amanat memberhentikan atau pengunduran diri pejabat tinggi yang disangka tidak bersih.
Bersih dan Mandiri
Dua Ketetapan MPR berujung pada penerbitan UU Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Tetapi pemberantasan korupsi di Indonesia masih dinilai rendah, karena lembaga superbody beberapa kali coba di-kriminalisasi. Ironisnya, kriminalisasi dilakukan oleh sesama lembaga penegak hukum. Benarkah (pesimisme) bahwa penegak hukum tidak bisa dipercaya? Padahal lembaga inilah yang menjadi sumber daya manusia dalam rekrutmen komisioner KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi).
Inilah konsekuensi negara hukum. Sebagaimana diamanatkan UUD pada pasal 27 ayat (1) bahwa, “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”  Tiada yang steril konsekuensi hukum. Seluruh pihak diperlakukan setara dihadapan hukum, equal before the law. Termasuk komisioner KPK tidak luput dari tanggungjawab hukum. Jika bersih dan profesional, tidak perlu khawatir di-kriminalisasi.
Sebenarnya masih banyak penegak hukum yang bersih dan profesional, serta  tidak pernah “menjual” pasal. Banyak penegak hukum yang tetap “kurus” dan tidak punya “rekening gendut.” Namun penegak hukum yang bersih saja, tidak cukup untuk memimpin KPK. Masih dibutuhkan syarat lain yang lebih urgen, yakni “mandiri” dari berbagai kepentingan (politik dan agenda kelompok). Penegak hukum yang bersih dan mandiri, pasti akan terhindar dari upaya percobaan kriminalisasi.
Selama ini KPK juga tak sepi dari tuduhan tidak mandiri, atau tudingan melaksanakan agenda kelompok tertentu. Seperti penegak hukum lainnya, termasuk hakim konstitusi (pada Mahkamah Konstitusi) pernah terbukti tidak mandiri. Gejala tidak mandiri, bisa dimulai dari rasa “tebang pilih” dalam penentuan status tersangka. Walau KPK sebenarnya memiliki prosedur gelar perkara, penyidikan dan penyelidikan. Boleh jadi, karena mem-bludaknya kasus, sehingga KPK mesti memilih.
Niscaya, dibutuhkan personel komisioner yang bersih dan mandiri, dimulai dari sistem rekrutmen. Memang bukan hal mudah, tetapi tidak sulit. Sehingga rekrutmen komisioner KPK bukan melalui pendaftaran, melainkan sistem undang-pilih. Diundang untuk dipilih. Prosesnya bisa melalui usulan presiden kepada DPR. Sederet tokoh masyarakat yang dedikatif, (termasuk penegak hukum senior) bisa diusulkan menjadi komisioner atau penasihat KPK.
KPK memang harus dihindarkan dari kepentingan politik dan agenda kelompok. Hal itu mengingat tuduhan (ke-tersangka-an) sebagai koruptor akan berdampak psikologis sangat pedih terhadap keluarga. Lebih nista dibanding penjahat lainnya. Maka dibutuhkan komisioner yang berwenang bagai superbody, dengan tetap “men-dingin-kan” suasana kebatinan kelompok masyarakat.

                                                                                                                  ———- *** ———–

Rate this article!
Tags: