Haram Membakar Hutan

Pencegahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kambuhan perlu menggunakan “pedang sosial.” Yakni, dengan melibatkan tokoh masyarakat, guru-guru agama. Sesungguhnya, agama telah melarang (keras) pengrusakan lingkungan. Dampaknya bisa memusnahkan sumber pangan hewani maupun nabati (tumbuh-tumbuhan). Juga mampatnya sumber mata air. Berujung pada bencana alam dengan korban jiwa, serta kemiskinan masyarakat.
Selama 4 tahun tragedi karhutla bagai pasang-surut, selaras dengan upaya pencegahan yang tidak konsisten. Pengalaman kebakaran hutan tahun 2015, telah menyebabkan musnahnya 2,6 juta hektar. Kerugian tak ter-perikan mencapai lebih dari Rp 200 trilyun. Serta 50 juta jiwa warga pulau Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, terpapar dampak kabut asap. Masyarakat di beberapa daerah yang terdampak langsung 500 ribu jiwa. Ini (darurat kabut asap) terbesar di dunia.
Selama tiga tahun terakhir, sesungguhnya upaya pemerintah menanggulangi karhutla, telah cukup berhasil. Termasuk pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG) di tujuh propinsi rawan karhutla. Pada tahun 2015, secara nasional (di 11 propinsi) karhutla meliputi areal seluas 2,61 juta hektar. Pada tahun 2016 menurun tajam (83%) menjadi 438.360 hektar. Pada tahun 2017 diharapkan telah zero hot-spot. Namun sampai tahun 2018, karhutla masih terjadi, walau areal terbakar makin menyempit.
Tidak mudah mencegah karhutla, karena berkait upah kerja cukup besar. Rata-rata mencapai Rp 3 juta per-hari tiap kelompok (10 orang), dengan kapasitas 450 meter-kubik per-hari. Maka pemerintah perlu meningkatkan kesejahteraan, men-dekatkan akses pendidikan, dan kesehatan masyarakat desa terdekat hutan. Serta meng-gencarkan advokasi masyarakat melalui guru-guru agama. Termasuk men-sosialisasi fatwa agama larangan (haram berdasar syariat) menebang tanaman hutan.
Tak kurang terdapat 6 dalil nas (dalam Al-Quran), serta belasan sabda Nabi SAW, berisi larangan merusak alam. Karena sesungguhnya kebakaran bukan disebabkan terik matahari yang memicu api di hutan. Melainkan dilakukan sindikat pembalakan liar. Biasanya, pohon di hutan telah ditebang pada musim hujan. Batang pohon besar telah diangkut melalui sungai yang meluap di pedalaman hutan. Sedangkan sisa-sisa yang berupa kayu cabang, ranting, dan daun, dibakar pada musim kemarau.
Sindikat penebangan pohon (illegal loging, pembalakan liar) memperoleh keuntungan berganda-ganda. Konon, harga “lahan bersih” bekas hutan, saat ini senilai Rp 100 juta per-hektar. Masih ditambah hasil sampingan berupa kayu endemik yang tak kalah mahalnya. Antara lain jenis bengkirai, kruwing, dan kayu kapur. Harganya (jenis bengkirai) bisa mencapai Rp 7 juta per-meterkubik, dalam bentuk gelondongan.
Presiden (dan jajaran Kabinet) mesti waspada terhadap laporan “APS” (Asal Presiden Senang). Karena titik panas selalu dilaporkan mengalami pengurangan setiap tahun. Validitas data titik panas, akan menentukan ke-seksama-an upaya pemadaman dan pencegahan meluasnya areal terbakar. Validitas data kebakaran hutan dapat melibatkan BMKG (Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika). Melalui pencitraan satelit yang dimiliki BMKG, jumlah titik panas bisa dihitung secara mudah.
Karhutla, merupakan bencana dampak sindikat pembalakan liar. Sehingga patut di-mitigasi oleh BMKG. Seluruh instansi (Kehutanan, BUMN Perhutani, Kepolisian, dan TNI) serta Basarnas, dapat memanfaatkan data riil yang terekam satelit. Sehingga setiap titik api dapat dipadamkan lebih dini. Serta terutama penegakan hukum terhadap korporasi (dan rantai sindikat pembalakan liar).
Realitanya, karhutla sering kambuh. Pada tahun (2019) ini, luas areal terbakar sudah mencapai 328 ribu hektar lebih. Hampir tiga kali dibanding karhutla tahun 2017. Pelibatan guru-guru agama diharapkan bisa me-motivasi masyarakat sekitar hutan bersikap melindungi hutan. Masyarakat bisa menjadi petugas paling handal melindungi hutan.
——— 000 ———

Rate this article!
Haram Membakar Hutan,5 / 5 ( 1votes )
Tags: