Harapan Agraria di Era Kabinet Kerja

M. Amir HTOleh
M. Amir HT
Peneliti Kabijakan Publik Balitbang Provinsi Jatim

Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 tahun 1960 dianggap oleh sejumlah pengamat sebagai suatu produk hukum yang paling populis (lebih bernuansa pro kepada rakyat kecil atau petani) di bandingkan dengan produk-produk hukum lainnya yang dibuat di masa Orde Lama, Orde Baru maupun sampai sekarang ini. Di dalam perkembangannya, UUPA dianggap sebagai undang-undang payung (umbrella act) dari peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai agraria dan pertanahan.
Lahirnya undang-undang baru yang berkaitan dengan agraria dan pertanahan diharapkan dapat meneruskan semangat UUPA yang lebih populis. Akan tetapi dalam kenyataannya telah terjadi ketidaksinkronan antara UUPA dengan undang-undang sektoral yang berkaitan pula dengan agraria dan pertanahan. Munculnya Undang-Undang sektoral tersebut, lebih menitikberatkan pada arah kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat kecil, namun  hanya berpihak pada para pemilik modal saja (baik investor asing maupun domestik). Misalnya lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing, yang sudah dikembangkan dengan berbagai rujukan kebijakan lain, dengan adanya UU ini, maka terlihat jelas adanya suatu pergerseran pola orientasi pembangunan menuju ke arah industrialisasi.
Kemudian muncul Undang-Undang No. 5 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Kehutanan sebagaimana telah diperbaharui dengan Undang-Undang No. 41 tahun 1999 dan Undang-Undang No. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan dengan berbagai rujukan kebijaksanaannya. Dalam peraturan tersebut, pengelolaan hutan dan eksploitasi pertambangan, banyak yang bertentangan dengan kebijakan hak atas tanah sebagaimana yang telah diatur di dalam UUPA.
Ketentuan dalam Undang-Undang kehutanan tersebut, masih memunculkan suatu sifat kepemilikan hutan negara yang mirip dengan Domein Verklaring pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Tekad kekuasaan Orde Baru yang mempanglimakan ekonomi, kebijakan pertanahan lebih diarahkan untuk mendukung kebijakan makro ekonomi. Kebijakan pertanahan lebih merupakan bagian dari pembangunan.
Kebijakan pertanahan lebih ditujukan untuk memfasilitasi kebutuhan pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam didalamnya. Maka dimasa kekuasaan Orde Baru telah terjadi suatu pergolakan orientasi terhadap pembangunan. Yang tadinya bersumber pada sektor pertanian maka orientasinya kemudian menjadi industrialisasi dengan menekankan kebutuhan ekonomi berbasis pada investasi asing dan juga eksploitasi SDA (sektor ekstraktif).
Layanan Sertifikasi Tanah
Era reformasi agraria merujuk pada distribusi ulang lahan pertanian atas prakarsa atau dukungan pemerintah. Atau reformasi agraria tersebut merujuk pada peralihan sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering dikatakan reformasi pertanahan. Karena reformasi agraria mencakup kebijakan dalam penyatuan tanah, dan lain sebagainya.  Maka BPN tentunya tidak mungkin menutup diri, bahwa pelayanan maupun proses sertifikasi tanah masih banyak kekurangan di sana-sini, namun upaya-upaya BPN mengarah ke lebih baik. BPN mencanangkan Reformasi Birokrasi dan berupaya melaksanakan Peraturan BPN No. 1 tahun 2010 tentang Standarisasi Operasional Presedur Pelayanan Sertifikat Tanah, menyangkut persyaratan, waktu dan biaya yang sudah ditentukan.
Dengan demikian BPN perlu dukungan semua pihak (baik institusi maupun masyarakat). Karena masyarakat dalam pengurusan sertifikat tidak ada yang langsung ke BPN, tetapi masyarakat ke pemerintahan terkecil, melalui aparat desa/kelurahan, dan kecamatan. Maka BPN memerlukan dukungan semua pihak. (termasuk pelaksanaan prona dan larasita).
Permasalahan mendasar
Permasalahan muncul dalam pengurusan sertifikat tanah di tingkat desa. Sebagian besar masyarakat belum memiliki akte. Karenanya, perangkat desa harus bekerja keras untuk menyediakan dokumen-dokumen administratif yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk mengurus surat tanah ke Kantor Kecamatan. Adanya warga yang masih salah paham mengenai ketentuan administratif. Mereka menganggap kelengkapan-kelengkapan administratif itu justru mempersulit warga dalam membuat serifikat tanah. Pandangan negatif masyarakat pada lamanya dan tingginya biaya pengurusan sertifikat tanah. Tidak ada pemberitahuan dari masyarakat kepada perangkat desa apabila terdapat balik nama sertifikat tanah. Masyarakat langsung mengurusnya ke notaris. Ini menimbulkan permasalahan, terutama terkait pajak.
Permasalahan pajak ini banyak ditemui jika berurusan dengan pengembang perumahan. Meski pada sertifikat tanah masih tertulis nama pengembang sebagai pemilik, namun mereka tidak bersedia membayar pajak. Tidak ada sosialisasi mengenai aturan-aturan BPN, baik peraturan-peraturan baru, seperti pendaftaran tanah secara sporadik, maupun yang lama tetapi masih sering menimbulkan pertanyaan, di antaranya biaya pengurusan sertifikat tanah.
Setidaknya ada dua jalan keluar yang bisa diambil untuk mengatasi permasalahan tersebut. Pertama,  Perlunya membangun komunikasi, lewat koordinasi yang inten antara pihak-pihak berkompoten dalam pelayanan sertifikat tanah, karena secara kelembagaan kantor pertanahan kabupaten/kota bersifat vertikal, sehingga dalam level koordinasi lemah di daerah, maka dibentuknya kementerian agraria dan tara ruang, memungkinkan adanya kewenangan yang diotonomikan dengan membentuk dinas agraria dan tata ruang. (ini pernah ada di era orde baru). Kedua, kewenangan Bupati/Walikota terhadap ijin lokasi, banyak menimbulkan persoalan masuk ranah hukum, karena harus meminta rekomendasi teknis dari BPN, sehingga mudah memunculkan persoalan-persoalan kebijakan dan administrasi kegunaannya, termasuk lahan terlantar, maka perlu regulasi,  kebijakan terobosan yang selaras dengan era reformasi, karena obyeknya ada di daerah. perlu para Camat (PPAT), Kades dan aparat kompeten dibekali ilmu hukum agraria semacam bintek. Sehingga  di era kabinet kerja Jokowi-Jk di perlukan tenaga agraria yang mumpuni dan handal di bidang pertanahan.

                                                                       ————————– *** ————————–

Rate this article!
Tags: