Harapan pada Suramadu

Foto Ilustrasi

Lalulintas di punggung jembatan Suramadu, akan semakin ramai setelah digratiskan sejak Minggu sore. Bertepatan dengan hari Sumpah Pemuda ke-90, jembatan laut selat Madura itu menjadi non-tol. Biaya operasional sebesar Rp 120 milyar per-tahun, akan ditanggung APBN. Diharapkan, arus distribusi semakin ramai, perekonomian Madura akan meningkat. Namun masih dibutuhkan kelembagaan Suramadu yang kuat, bagai me-menej BUMN (Badan Usaha Milik Negara).
Setelah digratiskan, BPWS (Badan Pengembangan Wilayah Suramadu) memerlukan peta jalan memakmurkan Madura. BPWS pertama kali dibentuk berdasar Perpres Nomor 27 tahun 2008, mengiringi awal bentangan Suramadu di selat Madura. Sampai tahun 2016, Perpres sudah direvisi empat kali. Visi utamanya, masyarakat Madura dapat mengejar ketertinggalan. Terutama sektor perekonomian (dan investasi) dan pendidikan yang terbelakang.
Disadari benar, tak mudah melaksanakan visi pengembangan Suramadu. Digagas sejak era dekade 1980-an, melibatkan konglomerat nomor satu di Indonesia. Menyadari ketertinggalan Madura, saat itu didirikan Perguruan Tinggi, sebagai persiapan sumberdaya manusia. Termasuk bantuan pada beberapa pesantren untuk mendirikan perguruan tinggi. Namun baru pada tahun 2017, baru bisa direalisasi PTN (Perguruan Tinggi Negeri) program studi poli teknik.
Walau harus diakui, tak mudah mengembangkan kawasan Suramadu, yang aman dan nyaman untuk investasi. Tak terkecuali persiapan pemahaman sosial agar bisa menerima investasi pada sektor industri. Misalnya, tentang pekerja perempuan bukan bujangan (telah menikah). Serta penyediaan tenaga terampil, dan tenaga ahli madya (setara Diploma 3 tahun) lebih banyak, warga Madura asli.
Begitu pula rencana investasi (industrialisasi) di Madura, harus dapat menyesuaikan diri dengan sosial budaya masyarakat Madura yang agamis. Madura, selama ini dikenal sebagai pulau sejuta kyai. Tokoh agama memiliki posisi sosial yang dimuliakan, dianggap sebagai pemimpin sosial. Ulama lebih dianut dibanding pejabat publik maupun birokrat. Sebenarnya seluruh masyarakat Madura telah terbiasa bekerja di berbagai sektor, termasuk industri.
Suramadu gratis, akan menjadi “peta jalan” kemakmuran melalui berbagai sektor usaha. Maka seyogianya kelembagaan BPWS juga diisi seluruh Kepala Pemerintahan daerah (Bupati, dan pimpinan DPRD) se-Madura. Karena jembatan Suramadu, bukan hanya untuk masyarakat Bangkalan, dan Surabaya (terdekat jembatan). Melainkan untuk seluruh masyarakat Madura, termasuk warga Madura di daratan (Pasuruan hingga Banyuwangi).
“Mimpi” awal pembangunan Suramadu, bukan sekadar menjadikan sebagai jembatan terpanjang di Indonesia. Juga bukan sekadar membangun kembaran jembatan Manhattan di Amerika Serikat (AS). Setidaknya hal itu tercermin dari perubahan Perpres. Hanya dalam waktu setahun telah diterbitkan dua Perpres. Terakhir dengan Perpres Nomor 23 tahun 2009 sebagai perubahan atas Perpres terdahulu.
Berdasar Perpres, BPWS memiliki otoritas dan beban kerja sangat besar. Diantaranya, meliputi pembebasan areal puluhan ribu hektar dengan biaya puluhan trilyun rupiah. Termasuk di dalamnya, melaksanakan pengusahaan jembatan tol Suramadu dan jalan tol Lingkar Timur (Simpang Juanda – Tanjung Perak). Selain itu juga melaksanakan pengusahaan pelabuhan petikemas di Pulau Madura.
Konsep awalnya, di sekitar jembatan (di “kaki” Bangkalan) dikelilingi oleh perindustrian, pergudangan, serta apartemen dan rumah susun. Sedangkan di “kaki” Surabaya, akan dipenuhi perkantoran dan ke-pariwisata-an. “Mimpi” Suramadu relevan menjadi road-map pembangunan Madura. Karena itu dibutuhkan badan otorita untuk merealisasi.
Sebagai proyek mercusuar nasional, Suramadu memerlukan kinerja besar dan profesional. Juga memerlukan partisipasi luas masyarakat Madura. Jika sekadar bentangan jembatan, fungsinya tak lebih dari 18 kapal feri yang selama ini telah “menjembatani” Surabaya-Madura. Manakala “mimpi” hanya diisi orasi dan perdebatan, maka Suramadu akan menjadi barang rongsokan.

——— 000 ———

Rate this article!
Harapan pada Suramadu,5 / 5 ( 1votes )
Tags: