Harapan Profesionalisme Polri

Sutrisno MPdOleh:
Sutrisno, MPd
Guru SMPN 1 Wonogiri

Hari-hari ini menghangat lagi perdebatan tentang perlunya kepolisian direformasi (kembali). Hal ini terkait dengan dengan adanya beberapa kasus tindakan tidak profesional dalam melaksanakan penindakan terorisme.
Saat kasus penetapan Novel Baswedan penyelidik KPK sebagai tersangka oleh Polisi, publik tak percaya bahwa langkah itu adalah langkah hukum, yang perlu segera dilakukan menjelang kedaluwarsanya laporan polisi yang dibuat masyarakat tentang kasus itu. Sebaliknya, kuat persepsi bahwa itu adalah langkah Polri untuk, lagi-lagi, menyerang Komisi Pemberantasan Korupsi melalui proses hukum yang secara populer disebut dengan “kriminalisasi.”
Menarik bahwa masyarakat seperti mengabaikan begitu banyak permasalahan yang dihadapi kepolisian, plus berbagai kesalahan kepolisian saat bertugas, dan “memilih” kasus Novel guna dijadikan pengungkit bagi perlunya reformasi. Menurut penulis, itu membuktikan masih kuatnya persepsi bahwa KPK adalah lembaga superbody yang tak bisa salah dan tak bisa disentuh hukum sekalipun.
Terlepas dari proporsional atau tidaknya tuntutan itu, penulis menganggap selalu bermanfaat untuk sesekali mengangkat isu reformasi dalam kepolisian. Ini seiring anggapan penulis bahwa kepolisian mulai terbiasa dalam iramanya sendiri, business as usual. Hampir tidak ada lagi personel kepolisian yang kini masih bicara reformasi, sebagaimana menjadi substansi gerakan Reformasi 18 tahun lalu.
Tiga cara
Terdapat tiga cara pandang melihat reformasi dalam suatu organisasi seperti kepolisian. Pertama, dengan pendekatan kontinum atau sekuensial. Perubahan dalam organisasi dibagi tahap demi tahap dan dilihat dari waktu ke waktu. Ada kemungkinan terjadi perubahan ke arah yang lebih baik, ada kemungkinan pula sebaliknya.
Kedua, pendekatan komprehensif. Walau hanya melihat dalam kurun waktu singkat (biasa disebut moment opname), namun obyek dikaji secara menyeluruh. Berbagai tugas pokok dan fungsi dipertimbangkan, demikian pula asupan sumber daya berikut berbagai variabel yang sering kali menjadi pengganggu eksternal kepolisian. Melalui metode ini, konklusi yang dicapai kiranya lebih adil dan berimbang.
Ketiga, pendekatan snapshot. Seperti halnya dunia fotografi, maka sebagian kecil dari suatu obyek besar diabadikan dan dihadirkan seolah-olah obyek yang utuh. Dengan metode zoom (di mana sosok obyek seolah dibesarkan) dan metode cropping (di mana bagian tak penting menyangkut obyek dapat dipotong), maka terjadi suatu penonjolan yang tak proporsional dari suatu hal. Hal ini pada waktu bersamaan menenggelamkan berbagai hal di seputar obyek itu.
Kiranya, yang terjadi di seputar tuntutan reformasi kepolisian hari-hari ini pada dasarnya berangkat dari pendekatan snapshot ini. Sebaliknya, jika dipergunakan pendekatan kontinum atau pendekatan komprehensif, situasi kepolisian dewasa ini tidaklah sejelek yang dibayangkan. Banyak hal sebenarnya sudah berubah menyangkut pelayanan kepolisian, jauh lebih baik dibandingkan waktu yang lalu.
Reformasi pada dasarnya adalah konsep pergerakan, yang dalam konteks Indonesia, berangkat dari apa yang dicetuskan Amien Rais saat terjadi gerakan massa yang menggulingkan pemerintahan Soeharto tahun 1998. Pelepasan Polri dari ABRI adalah salah satu tuntutan yang digulirkan massa ketika itu melalui Lima Tuntutan Reformasi.
Begitu Polri berhasil keluar dari ABRI, berdasarkan TAP MPR Nomor 6 dan 7 Tahun 2000, Polri pula yang kemudian menjadi lembaga negara pertama yang menangkap isu reformasi guna melakukan perubahan dalam dirinya. Ada tiga hal yang kemudian menjadi agenda reformasi kepolisian, yakni perubahan menyangkut aspek struktural, aspek kultural, dan aspek instrumental.
Menarik jika mengamati kecepatan Polri mengklaim bahwa perubahan terkait aspek struktural dan instrumental sudah selesai tahun 2002-an. Aspek struktural, konon ditandai dengan keluarnya Polri dari ABRI dan ditempatkannya Polri di bawah Presiden. Polri tampaknya amat gembira dengan situasi itu dan melihatnya sebagai struktur yang sudah final. Sementara, menyangkut aspek instrumental, juga dengan cepat dicapai melalui penghapusan hal-hal yang berbau militer dari berbagai peraturan, petunjuk teknis bahkan juga dari buku pelajaran para calon polisi. Bisa dikatakan, perubahan pada dua aspek itulah yang banyak menyumbang perbaikan Polri jika reformasi dilihat secara kontinum ataupun secara komprehensif.
Adapun aspek kultural, hingga kini tak satu orang pun di lingkungan Polri mengakui aspek ini sudah berhasil diubah. Dengan kata lain, kultur Polri masih begitu-begitu saja: feodal dan patrimonial. Ketidakberhasilan mengubah kultur ini sebenarnya bisa dimengerti sebagai berikut: Reformasi di Polri praktis dijalankan oleh orang dalam. Maka, cukup wajar apabila orang dalam itu hanya mereformasi hal-hal yang tak menyenangkan bagi dirinya (dalam hal ini banyak mencakup aspek struktural dan instrumental). Sementara hal yang menyenangkan (sebagaimana terdapat dalam aspek kultural), dibiarkan saja. Itulah kelemahan pola self driven-reform atau reformasi yang digerakkan sendiri.
Reformasi Teknokratis
Pada 2005, setelah kepolisian mengeluarkan dokumen yang dikenal luas dengan nama Grand Strategy Polri 2005-2025, maka praktis reformasi kepolisian sebagai sebuah gerakan berhenti. Selanjutnya digantikan dengan suatu pola baru, yang oleh penulis disebut reformasi teknokratis. Grand Strategy dimulai dari tahapan trust building, disusul tahapan kedua partnership building, dan diakhiri dengan tahap akhir strive for excellence. Sebagai reformasi teknokratis, Grand Strategy sepenuhnya mengandalkan pendekatan khas negara, yakni berubah, namun dalam koridor tata laksana kelembagaan, tata aturan dan kewenangan, SDM dan anggaran.
Sebagai turunan dari Grand Strategy, terdapat rencana strategis lima tahunan dan dirinci lagi menjadi kegiatan tahunan yang, sekali lagi, sepenuhnya mengikuti pola perencanaan, pola penganggaran dan pembiayaan negara. Sebagai reformasi teknokratis, perubahan bukan lagi sesuatu yang berangkat dari passion atau getaran hati dari orang-orang yang menginginkan terjadinya suatu situasi yang lebih baik. Melainkan, berangkat dari telah digunakannya sejumlah dana negara dan harus tercapainya kinerja sebagaimana direncanakan.
Sesuai julukannya, yakni Reformasi Birokrasi Polisi (RBP), yang terjadi pada era ini adalah reformasi di tubuh birokrasi, yang berjalan seiring dengan kebijakan pemerintah. Apabila ada yang menyimpang, maka sebagaimana telah dialami beberapa petinggi Polri, label sebagai koruptor akan mereka sandang. Jadi, amat salah jika dikatakan kepolisian tidak mereformasi diri. Yang berbeda adalah, pasca 2005, reformasi lebih banyak berlangsung internal dan tidak banyak hura-hura. Namun, reformasi teknokratis ini bukannya tanpa kelemahan. Seperti halnya birokrasi pada umumnya yang sering kali mengidap penyakit “seolah-olah bekerja”, itu pula yang terjadi di kepolisian. Indikasi “ada yang berubah, padahal tidak”, gampang ditemui di beberapa satuan kerja. Apalagi setelah kegiatan terkait RBP diberikan struktur tersendiri, dengan pengendali berpangkat brigjen pula, maka passion reformasi sebagaimana terlihat 17 tahun lalu tak terlihat lagi. Reformasi kini mirip kegiatan catat-mencatat rutin dan mungkin bisa dipoles sana-sini.
Banyak sekali gaya bekerja di lingkungan Polri yang tak berubah walau ilmu manajemen modern telah bisa membantu. Banyak pula cara bekerja yang seharusnya sudah kian mudah terkait keberadaan teknologi informasi, namun tetap dibuat sulit karena satu dan lain hal. Apakah untuk mengubah itu semua tak terdapat item program berikut sejumlah kegiatan yang didukung anggaran? Tentu saja ada. Namun, pada akhir tahun anggaran, tetap saja tak ada yang berubah. Kalaupun ada, itu lebih karena faktor pemimpin yang memiliki visi. Saat pemimpin berganti, situasi berubah kembali.
Salah satu yang disinyalir tak berubah adalah kegiatan penyidikan. Pola kerja yang terlalu personal alias yang menempatkan penyidik sebagai dewa di mata tersangka, tak kunjung berubah. Padahal, sudah banyak diakui, situasi itulah yang menimbulkan mulai dari korupsi hingga kekerasan. Cara bekerja yang masih manual di kalangan penyidik, juga menjadikan banyak hal bisa kedodoran. Ini misalnya terlihat saat penyidik menangani kasus Novel. Jika kasus yang memperoleh perhatian seperti ini saja penyidiknya kedodoran, bisa dibayangkan apa yang terjadi pada 20.000-an kasus lainnya yang ditangani Polri per tahunnya.
Menyadari itu, maka menyuarakan kritik masyarakat kepada Polri agar berubah, tentu saja tetap perlu dan baik adanya. Reformasi pada dasarnya soal kemauan diri sendiri untuk berubah ke arah yang lebih baik. Misalnya, kemauan untuk tak berlindung di balik formalisme hukum dan mengabaikan keadilan substansial. Atau, kemauan memaksimalkan dampak dari program-program pembelian barang dan peralatan yang mahal.

                                                                                                            ——– *** ——–

Rate this article!
Tags: