Hardiknas; Jangan (lagi) Formalitas

Sugeng Eka AriadiOleh :
Eka Sugeng Ariadi
Mahasiswa Pascasarjana Unisma Malang

Siapakah Ki Hajar Dewantara? Anak dari Paku Alam IV lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 dengan nama kecil Raden Mas Soewardi Soeryaningrat.Soewardidewasa adalah seorangwartawan beberapa surat kabar. Tahun 1908, aktif di organisasi Boedi Oetomo hingga mendirikan Indische Partij (partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia)bersama Douwes Dekker (Dr. Danudirdja Setyabudhi) dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Karirnya sebagai seorang aktivis pendidikan dan kemerdekaan serta kritis terhadap pemerintahan Belanda menjadikannya dibuang ke Pulau Bangkalalu dipindah ke negeri Belanda oleh Gubernur Jendral Idenburg. Sekembalinya dari Belanda pada 3 Juli 1922, Soewardi mendirikan sebuah perguruan bercorak nasional yaitu Nationaal Onderwijs Instituut Taman Siswa atau Perguruan Nasional Taman Siswa, yang kemudian menjadi cikal bakal lahirnya konsep pendidikan nasional hingga Indonesia merdeka.
Sebagai seorang aktifis dan tokoh pendidikan yang dekat dengan Presiden Soekarno, Soewardi kemudian diangkat menjadi Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan Pengajaran Indonesia dalam  kabinet pertama Republik Indonesia. Di saat usianya genap 40 tahun, beliau kemudian berganti nama menjadi Ki Hajar Dewantara. Atas jasanya dalam merintis pendidikan umum di Indonesia, Ki Hajar Dewantara dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia.
Mengenal Ajaran Filosofisnya
Ajaran filosofis yang hinggadetik ini menjadi dasar pendidikan kita adalah Ing Ngarsa Sung Tulada, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani. Secara etimologi artinya bahwadi depan seorang pendidik/guruitu harus memberi teladan atau contoh tindakan yang baik, di tengah atau di antara murid pendidik/guru itu harus menciptakan prakarsa dan ide, dari belakang seorang pendidik/guruharus itu memberikan dorongan dan arahan.Ironisnya meski sudah setengah abad diperingati, seperti kata Mendikbud, Anies Baswedan, justru negara Finlandia yang sukses mempraktikkan filosofi ini untuk mereformasi pendidikannya 20 tahun silam. Maka tak heran jika kualitas pendidikan di Finlandia termasuk yang terbaik di dunia, dan kompetisi masuk perguruan tinggi keguruan(sekolah untuk menjadi pendidik/guru) jauh lebih sulit dibandingkan dengan masuk jurusan kedokteran.
Ajaran filosofis ini tentunya dipersembahkan bagi para pendidik/guru. ‘Tangan’ dingin, otak cerdas dan hati mulia merekasangat diharapkan demi perbaikan nasib pendidikan dan peningkatan index kualitas anak-anak bangsa dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sejatinya, bukan hanya ‘dipundak’ guru beban berat ini dipikulkan, akan tetapi seluruh civitas akademik dan stake holder pendidikan di negeri ini wajib diingatkan makna filosofisnya bukan sekedar makna kalimatnya. Supaya Hardiknas tahun ini dan seterusnya bukan sekedar rutinitas upacara bendera/seremonial/formalitas dan lomba-lomba semata, tetapi benar-benar membawa ruh kebangkitan dunia pendidikan.
Mari kita ambil nilai filosofis semboyan yang pertama, (ing ngarsa sung tulada)di depan guru harus dapat memberikan teladan.Maknanya dihadapan pandangan mata peserta didik, guru adalah segalanya; penampilan fisiknya, ucapannya, dan perilakunya menjadi contoh, ‘menu’ sehari-hari peserta didik. Tiada lagi figur/model yang akan dicontoh, dikagumi, diteladani saat peserta didik di sekolah selain gurunya sendiri (disamping orang tuanya). Di sisi lain, gurupun memiliki otonomi sangat besar untuk transfer ilmu sekaliguskarakterdirinya. Bila yang ditransfer itu senantiasa kebaikan maka peserta didik pastilah mendapat kebaikan, berlaku sebaliknya. Yang patut diingat, bahwa pandangan mata siswa bukan hanya ketika guru berdiri dihadapan peserta didik saat mengajar, tapi dimanapun, kapanpun guru bergerak/beraktifitas, di mata siswa mereka tetaplah contoh/teladan.Ada seorang guru ‘rajin’ merokok, maka jangan salahkan peserta didiknya juga demikian. Guru sering ‘aktif’ terlambat masuk kelas/sekolah, tentu jangan pernah menyalahkan peserta didik yang tidak disiplin di sekolah. Ingat pepatah “guru kencing berdiri murid kencing berlari.”
Kedua, (ing madya mangun karsa),maknanya di tengah, guru harus menciptakan prakarsa/ide. Maknanya guru sangat perlu berada ditengah-tengah peserta didiknya, bercengkerama, berdiskusi, bergaul seolah mereka adalah benar-benar gambaran orang tua dan anak kandungnya. Peserta didik pun dengan leluasa bisa bertanya, berargumen, menyampaikan ide, berkeluh kesah, tentang apa saja terkait proses belajar-pembelajaranyang baik dan benar. Dengan interaksi yang demikian, maka mutlak bagi guru menjadi sosok yang penyayang, penyabar dan pemberi motivasi/inspirasi bukan guru yang ‘ringan tangan’ (mudah memukul, menjewer, dll), pemarah, pengumpat, pem-bully dan menumpahkan semua kegagalan proses pembelajaran pada peserta didikan sich. Guru juga dituntut kaya ide, inovatif, kreatif, dan berkemauan kuat menciptakan kondisi belajar yang menyenangkan sekaligus menantang. Guru yang ‘miskin’ ide-ide kreatif, tak mampu lagi berinovasi dalam pembelajaran, dan enggan untuk belajar demi meningkatkan kualitas kompetensinya, tentu jangan pula mengkambing hitamkan peserta didik yang tak jua berprestasi.
Ketiga, (tut wuri handayani),di belakang seorang guru harus memberikan dorongan dan arahan. Inilah semboyan yang melekat erat (selamanya) untuk pendidikan Indonesia karena telah menjadi bagian dari logo resmi Kementerian Pendidikan Nasional. Kenapa bukan yang pertama atau yang kedua atau ketiga-tiganya digunakan? Yang pertama dan kedua penting, yang terakhir ini juga penting. Kiranya yang ketiga ini menjadi muara dan kesimpulan akhir dari yang sebelumnya. Setelah guru sudah mampu menjadi teladan yang baik, bisa menjadi motivator/kreator/inovator yang selalu dinanti, maka pada tahap berikutnya guru adalah sang penyebar semangat, pemberi pedoman, petunjuk arah terbaik kemana peserta didiknya hendak melangkah untuk masa depannya.Labilnya pemikiran dan perilaku peserta didik, kadang taat-patuh kadang berontak dan bertindak sesuka hati, janganlah selalu dipahami sebagai kenakalan dan pelanggaran. Justru pada kondisi seperti ini peran guru sangat dibutuhkan untuk membimbing peserta didik menemukan jati diri terbaiknya.
Alhasil, inilah pesan filosofis yang bisa penulis sampaikan secara singkat,sebagaimana nama Hajar Dewantara yang bermakna guru adalah seseorang yang mengajarkankeimanan, keluhuran, keutamaan, dan kebaikan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Selamat Hardiknas,semoga peringatan tahun ini tak sekedar formalitas seperti tahun-tahun sebelumnya.

                                                                                                      ———————– *** ———————–

Rate this article!
Tags: