Hardiknas “Kelelap” PSBB

Suasana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) meniadakan peringatan Hardiknas (Hari Pendidikan Nasional). Padahal seyogianya peringatan Hardiknas dijadikan momentum untuk me-reorientasi pola pendidikan nasional. Sudah banyak sekolah didirikan, dan memberi ijazah (sertifikat) ber-label trampil sampai ahli. Tetapi terasa tidak memberi manfaat. Kini disadari pendidikan perlu memperkuat paradigma “merdeka belajar” sebagai peta jalan peningkatan daya saing sumber daya manusia.
Tidak ada talk-show di televisi, dan tiada spanduk terpasang memperingati Hardiknas (Hari pendidikan nasional). Juga tidak ada hymne pendidikan dinyanyikan di sekolah-sekolah. Peringatan Hardiknas bagai kelelap PSBB, karena seluruh jenjang pendidikan telah diliburkan. Berkait bencana nasional wabah pandemi CoViD-19, pemerintah telah meng-kampanye-kan physical distancing secara kukuh. Pembatasan jarak antar-orang di-laksana-kan secara sistemik, terstruktur, dan masif.
Sektor pendidikan menjadi pelaksana utama dan pertama. Sekolah, mulai PAUD hingga Perguruan Tinggi telah diliburkan sejak awal bulan Maret. Libur sekolah terpanjang sepanjang sejarah kependidikan. Bisa jadi peliburan berlangsung hingga menjelang awal tahun ajaran baru (Juli 2020). Bahkan Unas (Ujian Nasional) terakhir untuk jenjang SMP (dan sederajat) serta SLTA, juga ditiadakan. Peniadaan Unas meringankan beban Kementerian Pendidikan, dan Dinas Pendidikan di daerah.
Satuan pendidikan (sekolah) memiliki kewenangan meluluskan peserta didik kelas IX, dan kelas XII. Lebih sesuai dengan amanat UU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003. Pada pasal 58 ayat (1) dinyatakan, “Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan.” Maka Unas sebagai model evaluasi belajar menjadi domain (hak) guru sekolah, bukan domain pemerintah.
Libur panjang kependidikan mengantisipasi pewabahan virus corona, sekaligus bisa menjadi perenungan konsep kependidikan pada era digital millennial. Jargon “merdeka belajar” dapat menjadi pintu masuk ke-terkungkung-an sekolah secara konvensional. Ditambah muatan kurikulum ber-pola banyak mata pelajaran. Hanya berisi penghafalan, dan ujian. Sekolah sering dikritisi sebagai learning for test. Belajar menghafal sekadar memperoleh hasil ujian.
Maka perlu melihat kembali falsafah pemikiran “bapak pendidikan nasional,” Raden Mas Suwardi Suryaningrat. Tokoh dari kalangan keraton ini, lebih dikenal dengan panggilan Ki Hajar Dewantara. Namanya, itu menunjukkan status (dan pemikirannya) sebagai guru sepanjang hayat. Konsep “ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani,” yang ditulisnya, bukan sekadar jargon ke-guru-an. Melainkan menjadi sikap keseharian.
Konsep ke-guru-an Ki Hajar Dewantara, di-adopsi dari guru mengaji di kampung Kalasan, Prambanan, Yogya. Ketokohan kyai Sulaiman Zainudin, meng-ilhami salahsatu santrinya (RM Suwardi Suryaningrat), tentang konsep pengajaran rakyat. Bahwa pendidikan bukan sekadar transformasi (menyebarkan) ilmu dan pengetahuan. Melainkan memberi teladan moralitas, ing ngarsa sung tulada. Pendidikan, juga harus menjangkau segenap masyarakat, tanpa diskriminasi (strata ekonomi, sosial dan politik).
Harapan Ki Hajar Dewantara, telah dikukuhkan dalam konstitusi. UUD pasal 31 ayat (2), menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.” Pendidikan dasar yang dimaksud (berdasar UU Sisdiknas tahun 2003), adalah program wajib belajar selama 9 tahun, sekolah tingkat SD dan SLTP. Namun amanat konstitusi masih terkendala problem perekonomian (pemerintah dan rakyat).
Kendala kependidikan juga berupa ke-bebal-an pemerintah dalam menyimpangi UUD pasal 31 ayat (4). Bahwa anggaran pendidikan wajib dialokasikan sebesar 20% dari APBN, dan APBD (propinsi serta kabupaten dan kota). Pada era PPDB berbasis zonasi, anggaran pendidikan sebesar 20% digunakan membangun ruang kelas baru menambah daya tampung murid.
——— 000 ———

Rate this article!
Tags: