Hardiknas, Mengembalikan Jatidiri Pendidikan

H. DarmadiOleh :
H.Darmadi
Praktisi Pendidikan, Pemerhati masalah Sosial, Budaya, dan Politik,
Tinggal di Lampung Tengah.

Setiap tanggal 2 Mei, bangsa Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional. Tanggal 2 Mei merupakan tanggal kelahiran tokoh pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantata. Melalui Kepres No 916 tertanggal 16 Desember 1959, tanggal 2 Mei ditetapkan  sebagai Hari Pendidikan Nasional. Saat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dijabat Mashuri SH, peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 1971 dijadikan momentum “menjebol” dinding pemisah sekolah dan masyarakat. Saat ini, di tahun 2015, ketika Hari Pendidikan Nasional kembali diperingati, masihkah dinding pemisah sekolah dan masyarakat itu? Saat ini, betapa pendidikan kita sudah tidak fungsional. Artinya pendidikan tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Di samping itu, ditilik dari kepentingan anak didik, pendidikan tidak mampu memfasilitasi anak didik kembali ke masyarakat. Lulusan sekolah pada semua jenis dan jenjang pada umumnya belum siap terjun ke masyarakat, sedang untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan berikutnya juga tidak cukup memadai.
Berbicara soal pendidikan, nampaknya semakin membingungkan dan tidak berarah, kenapa demikian? Pada kenyataannya pendidikan kita saat ini selalu mengalami perubahan-perubahan, indikasinya adalah kurikulum yang selalu bongkar pasang, penyelenggaraan Ujian Nasional yang selalu syarat dengan kecurangan-kecurangan, tenaga pendidik yang kurang professional dan masih banyaknya lulusan yang bertingkah laku amoral.
Sebenarnya Arah tujuan pendidikan kita sudah sangat jelas dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 yaitu, mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa tujuannya untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Lantas, kenapa begitu sulit tujuan yang mulia itu tercapai. Permasalahan terbesar negeri kita ini adalah proses pembelajaran yang cenderung diprioritaskan kepada keberhasilan pengetahuan atau kognitif saja, tanpa menyentuh kecerdasan psikomotorik dan afektif. Proses yang dikembangkan inilah menjadikan hasil pembelajaran kita tidak menjadi “makna” dan “nilai”. Walau sebenarnya tuntutan dari pendidikan kita adalah pencapaian ketiga ranah tersebut.
Kemudian pemerintah mencanangkan pendidikan karakter bangsa, dengan 18 nilai karakter bangsa didalamnya yang harus diinternalisasi ke dalam kurikulum pada tingkat satuan pendidikan, yaitu termuat dalam silabus dan RPP. Pendidikan karakter bangsa ini diharapkan mampu menjawab persoalan-persoalan yang terjadi pada diri peserta didik. Namun, kenyataannya bahwa pendidikan karakter belum maksimal disosialisasikan, dan kebanyakan hanya pada tataran teori saja belum kepada tataran aplikatif, Lihat saja kebanyakan para pendidik kita belum mengerti untuk apa dimasukkan nilai-nilai karakter bangsa ke dalam silabus dan RPP, dan bagaimana proses hasil pencapaiannya.
Banyak yang tidak memahami secara mendalam, asumsi penulis bahwa internasilasi nilai-nilai karakter bangsa pada proses pembelajaran, hanya sebatas peneraan di atas kertas saja atau sebagai pelengkap administrasi, sedangkan proses pembelajaran akan kembali seperti kebiasaan semula yaitu meningkatnya keberhasilan pada ranah kognitif. Semua nampaknya menjadi kabur, karena disebabkan tidak ada tindak lanjut dari program yang telah dirancang dan dicanangkan secara apik oleh penentu kebijakan tersebut. Semestinya program itu harus terus dijalankan secara berkesinambungan yang pada akhirnya dapat dievaluasi dan dijadikan acuan kedepan dalam penyelenggaraan proses pendidikan sehingga tidak terkesan menjadi “proyek” saja.
Belum tuntas ketidaktahuan guru-guru tentang pendidikan karakter, pemerintah kembali menggulirkan program pendidikan anti korupsi. Hal ini memunculkan paradigma yang bermacam-macam di kalangan masyarakat terutama para pendidik sebagai agen pembelajaran dan lebih jauh merambah kepada para lulusan yang kurang berkualitas. Tentunya, hal ini juga berpengaruh kepada pendidikan kita saat ini baik dikabupaten/kota, provinsi sampai kepada bangsa Indonesia. Sudah semestinya dan tidak bisa ditawar-tawar lagi, bahwa kita harus kembali fokus dalam mengelola pendidikan di negeri ini.
Secara sederhana, fokus pendidikan kita ada tiga yaitu: Pertama, membangun pengetahuan (kognitif), dimana melalui pendidikan di negeri ini mampu untuk menciptakan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan (sain dan teknologi) yang siap untuk bersaing dalam menghadapi era global. Negeri ini dalam membangun pengetahuan cukup berhasil, indikatornya anak didik kita memperolah juara olimpiade sain, matematika, lomba robot, dan mampu lulus ujian dengan nilai 10. Kedua, membangun keterampilan (skill), dimana melalui jalur pendidikan diharapkan mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki kemampuan yang handal di bidangnya. Untuk itu pemerintah kita menggalakkan peserta didik untuk masuk sekolah kejuruan (SMK) sehingga diharapkan lulusannya mampu berkembang dan bersaing di dunia kerja sesuai dengan keahliannya. Ketiga adalah membangun karakter, hal ini yang sampai hari ini masih menjadi PR kita bersama, yang sejatinya pendidikan karakter diharapkan mampu melahirkan lulusan-lulusan yang berilmu, kokoh secara idiologi dan juga mempunyai kesantunan.
Reformasi Pendidikan
Dari ketiga fokus pendidikan di atas, sudah seharusnya seluruh komponen bangsa, mulai dari orang tua, pendidik, pemerintah, dan masyarakat bersinergi satu dengan yang lainnya, tanpa melemparkan tanggungjawab satu sama lain. Dengan bersinerginya setiap komponen di atas, akan mudah manata kembali pendidikan yang telah lama carut marut ini. Nampaknya, ini harapan kita semua agar pendidikan di negeri ini benar-benar mampu dan konsisten dalam melahirkan generasi penerus bangsa yang bermartabat dan berakhlak mulia, tujuannya untuk meningkatkan kemakmuran bangsa.
Dalam perjalanan dibutuhkan sumber daya pendidikan yang berkualitas tinggi, Oleh karena itu perlu untuk mengadakan pembaharuan secara menyeluruh terhadap peranan  pendidikan. Tapi, sejauh ini usaha yang mengarah kesitu belum mencapai target yang diinginkan. Sebab dari belum seimbangnya pranan pendidikan Indonesia dalam proses pembangunan bangsa adalah  karena penentu kebijakan dalam hal ini pemerintah masih belum menyatu dalam mewujudkan peranan pendidikan yang dapat mendongkrak kemajuan pembangunan bangsa. Problem-problem pendidikan kita semakin kompleks dan semakin sarat dengan tantangan. Kebijakan dan program-program pemerintah untuk meningkatkan mutu pendidikan, nampak tidak memberi jawaban  solusi terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan yang berkembang.
Dibutuhka reformasi pendidikan untuk dapat membaharui semua sistem pendidikan dan peranannya terhadap pembangunan bangsa ini. Waktu yang diperlukan tidaklah singkat. Perlu pengorbanan dan kesediaan dari semua pihak yang terkait, seperti pemerintah, instasi pendidikan, kementerin pendidikan  dan pelaksana pendidikan. Reformasi pendidikan juga harus memberikan peluang bagi siapapun untuk mengembangkan langkah-langkah atau cara baru dalam meningkatkan kualitas pendidikan. Reformasi pendidikan pada dasarnya mempunyai tujuan agar pendidikan dapat berjalan lebih efektif dan efesian  untuk meme ncapai tujuan  pendidikan nasional Indonesia.

                                                                                             ————————– *** ————————-

Tags: