Hardiknas, Sekolah Berlanjut

Peta jalan (road-map) kependidikan, masih harus menengok ke belakang, melihat kembali gagasan asli pendidikan Indonesia. Konsep ke-guru-an yang digagas Ki Hajar Dewantara, diringkas dalam satu baris jargon “tut wuri handayani.” Jargon kependidikan, memberi pesan utama me-mudah-kan setiap orang untuk sekolah. Namun masih lebih dari 2 juta anak dan remaja tidak dapat melanjutkan sekolah. Putus sekolah disebabkan anak-anak wajib menyokong perekonomian keluarga.
Peringatan Hardiknas (Hari pendidikan nasional) 2018, berlalu hambar, nyaris tanpa advokasi. Boleh jadi, disebabkan bertepatan waktu dengan periode “prihatin” sekolah. Siswa SMP dan Madrasah Tsanawiyah, serta siswa SMU, Madrasah Aliyah dan SMK, telah melaksanakan ujian nasional. Sedangkan murid SD mempersiapkan USBN (ujian sekolah berstandar nasional), mulai 3 Mei, berdekatan dengan Hardiknas.
Akhir semester genap (bulan Mei) masih selalu menjadi periode “prihatin.” Akan sangat terasa pada murid kelas akhir sekolah, yakni siswa kelas VI, IX, dan XII. Harus mengucapkan selamat berpisah kepada teman sekelas, juga kepada guru. Bertangisan melepas kebersamaan. Guru melepas muridnya dengan iringan doa dan pengharapan, seluruh siswa lebih berhati-hati saat meneruskan jenjang pendidikan lebih tinggi. Biasanya, pendidikan lebih tinggi, jaraknya lebih jauh dari rumah.
Jenjang pendidikan SMP dan Madrasah Tsanawiyah, hingga kini rata-rata hanya dua sekolah negeri dalam satu kecamatan. Sedangkan sekolah negeri tingkat SMU, Madrasah Aliyah dan SMK negeri, semakin langka. Di pulau Jawa, rata-rata setiap kabupaten memiliki 4 SMU (dan Madrasah Aliyah), serta tiga SMK Negeri. Pada masa kini pemerintah menambah lebih banyak SMK, termasuk SMK “mini” bekerjasama ddengan pesantren.
Sekolah yang lebih jauh dari rumah, niscaya membutuhkan biaya lebih besar. Setidaknya dibutuhkan sarana transportasi. Selain itu, biaya pendidikan juga semakin besar. Beberapa Pemkab (pemerintah kabupaten) belum memiliki anggaran pendidikan yang cukup memadai. Bahkan masih banyak Pemkab dan Pemkot memberi pagu anggaran pendidikan kurang dari 10% APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah).
Masih banyak Pemerintah Daerah yang “bebal,” tidak mem-pagu anggaran pendidikan 20% dari APBD. Lebih lagi setelah alih-kelola SMTA menjadi urusan pemerintah propinsi, Pemkab dan Pemkot “bebal” semakin buka tangan lebih lebar-lebar. Tidak bersedia mengurus pendidikan SMU, Madrasah Aliyah dan SMK. Berdasar audit kelayakan konstruksi sekolah, sebanyak 60% gedung SMA, dan SMK Negeri, dalam keadaan rusak.
Begitu pula kepedulian Pemkab dan Pemkot terhadap pendidikan masih tergolong buruk. Antaralain, gedung SMP Negeri dan ratusan gedung SD Negeri, juga mengalami kendala infratsruktur. Sekolah kebanjiran pada musim sudah menjadi kelaziman. Lebih ironis, masih banyak pula gedung sekolah Negeri yang berdiri di atas tanah milik masyarakat (bukan milik pemerintah). Sering terjadi penutupan gerbang sekolah oleh pemilik lahan yang menagih janji, sebagai penjaga sekolah berstatus pegawai negeri. Namun tidak terealisasi.
Permasalahan utama kependidikan, wajib belajar (wajar) sembilan tahun belum tereselesaikan. Masih banyak tragedi putus sekolah, walau pemerintah telah menggelontor program BSM (Bantuan Siswa Miskin). Kendala utama, BSM terlambat disosialisasikan. Seharusnya BSM telah dilaksanakan pada awal semester genap (bulan Januari). Selain itu, tragedi putus sekolah bukan hanya disebabkan ketidak mampuan menanggung beban pendidikan. Melainkan ke-parah-an tingkat kemiskinan orangtua murid.
Maka yang diperlukan oleh siswa gakin, bukan hanya BSM. Melainkan juga bantuan modal kerja yang dapat dikelola oleh siswa gakin setelah pulang sekolah. Misalnya, beternak sapi atau budidaya ikan. Pada masa liburan, kerja ternak hasil subsidi pemerintah dapat ditularkan kepada rekan sekelas sebagai pengalaman sangat menghibur.

——— 000 ———

Rate this article!
Tags: