Harga Kedelai Melejit

Foto: ilustrasi

Pengrajin tempe (dan tahu) masih berhasil “mengendalikan” pasokan, walau harga kedelai impor makin melambung. Realitanya, bahan utama menu “wajib” makanan rakyat, sangat bergantung (hampir 90%) pada impor. Terutama dari Amerika Serikat (AS). Nilai transaksi impor mencapai US$ 1 milyar! Ironisnya, berladang kedelai lokal belum menjadi program pemerintah. Begitu pula hasil panen kedelai juga tidak diminati pengrajin, karena tidak menguntungkan.

Harga kedelai impor (yang harus dibayar oleh pengrajin tempe dan tahu) saat ini telah mencapai Rp 10.100,- per-kilogram. Padahal tiga pekan sebelumnya masih sebesar Rp 9.700,-. Menyebabkan pengrajin tempe (dan tahu) harus pintar “bersiasat.” Tidak menaikkan harga, tetapi memperkecil ukuran (berat) kemasan jual. “Bersiasat,” agar tidak kehilangan pelanggan, sekaligus mempertahankan nafkah pada masa resesi global dampak pandemi.

Tempe, dan tahu bukan sekedar menu “wajib” makanan rakyat, melainkan tersaji pula di restoran hotel berbintang. Komoditas kedelai impor sangat menggiurkan. Kapasitas impor (rata-rata per-tahun) sampai sebanyak 2,6 juta ton, dengan nilai transaksi sebesar US 1 milyar lebih. Harus berebut pula. Pasokan kedelai impor dari Amerika Serikat (AS) sedang menyusut, karena diborong rakyat China. Pada awal tahun harga kedelai melambung sampai 30%. Semula sekitar Rp 7 ribuan, menjadi lebih Rp 9.200,- per-kilogram.

Memasuki bulan Mei 2021, naik lagi menjadi Rp 10.100,- per-kilogram. Sebanyak 5000 unit usaha mikro pengrajin tahu dan tempe di Jakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur, mulai kelabakan. Tetapi perburuan kedelai impor bukan hanya dilakukan pengrajin tempe, dan tahu. Kegunaan kedelai yang lebih besar (sekitar 4 juta ton per-tahun), dibutuhkan oleh kalangan inudtsri. Antara lain industri susu nabati, serta pabrik kecap, dan bumbu olahan. Beberapa jenis pangan kudapan (snack), juga berbahan utama kedelai.

Pada saat kedelai impor berharga mahal, menyebabkan ongkos produksi melambung. Seharusnya kedelai lokal berpeluang menambah omzet jual. Karena patokan harga kedelai lokal sebesar Rp 8.500,-, sesuai Permendag Nomor 7 tahun 2020. Tetapi harga patokan pemerintah tidak pernah terealisasi. Yang diterima petani selalu lebih rendah. Konon disebabkan mutu yang rendah.

Secara ke-ekonomi-an, kedelai impor juga memiliki keunggulan kuantitatif. Kalkulasinya, 1 Kg kedelai impor bisa menghasilkan tempe seberat 1,8 kg. Sedangkan kedelai lokal hanya menghasilkan 1,4 Kg. Sehingga pangsa pasar kedelai lokal bukan menyasar pengrajin tahu dan tempe, melainkan pengguna skala rumah tangga. Beberapa jenis pangan tradisional hanya cocok berbahan baku kedelai lokal. Karena rasa gurih yang lebih kuat, dan aroma yang khas.

Pangsa pasar yang sempit menyebabkan kebutuhan kedelai lokal kurang bergairah. Banyak petani mengalihkan jenis tanaman musim kemarau pada jenis palawija lain (jagung, kacang tanah, dan singkong). Maka ketergantungan terhadap kedelai impor menjadi keniscayaan. Bahkan cukup “di-manja-kan” sebagai komoditas yang tidak masuk dalam komoditas “larangan terbatas.” Kebebasan impor berpotensi semakin menggerus neraca perdagangan (terutama dengan AS).

Pangsa pasar yang sempit menyebabkan kebutuhan kedelai lokal kurang bergairah. Banyak petani mengalihkan jenis tanaman musim kemarau pada jenis palawija lain (jagung, kacang tanah, dan singkong). Maka ketergantungan terhadap kedelai impor menjadi keniscayaan. Bahkan cukup “di-manja-kan” karena tidak masuk dalam komoditas “larangan terbatas.” Kebebasan impor berpotensi semakin menggerus neraca perdagangan (terutama dengan AS).

Pemerintah perlu menjamin pasokan kedelai. Terutama melalui cara lebih sistemik, yakni perluasan areal tanaman kedelai,. Jika pola budidaya sampai pasca panen bisa diperbaiki, maka kedelai lokal bisa menjadi penyelamat devisa.

——— 000 ———

Rate this article!
Harga Kedelai Melejit,5 / 5 ( 1votes )
Tags: