Harga Pangan Naik, Petani Belum Diuntungkan

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasi

Surabaya, Bhirawa
Naiknya harga sejumlah komoditas pangan sepanjang Januari hingga Pebruari, ternyata belum serta-merta membuat petani untung. Ironinya, petani harus terbebani dengan naiknya Nilai Tukar Petani (NTP) pangan yang naik tipis pada Januari 2016.
Ketua Badan Pelaksana Wilayah (BPW) Serikat Petani Indonesia (SPI) Jatim, Nurhadi Zaini, Selasa (9/2) mengatakan, di pasaran harga beras medium sudah menyentuh Rp 8.900 – Rp 9.500/kg. Kenaikan harga beras yang terjadi ini tidak dirasakan langsung oleh petani.
Harga Gabah Kering Panen (GKP) di Jatim hanya dihargai Rp 3.400/kg – Rp 3.500/kg. Harga tersebut bahkan di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) untuk GKG dalam Instruksi Presiden nomor 5 tahun 2015 sebesar Rp. 3.700/kg.
Menanggapi hal ini, Ketua Umum SPI Henry Saragih menegaskan, artinya tingkat keuntungan hanya dinikmati oleh para mafia pangan yang bisa mempermainkan harga di pasar. “Petani produsen pangan, yang kebanyakan adalah petani gurem, menderita harga yang asimetris–artinya kenaikan harga eceran konsumen tidak berarti kenaikan harga pembelian petani.
Petani gurem adalah juga konsumen pangan. Kenaikan harga pangan justru mempengaruhi kesejahteraan mereka. Nilai penjualan hasil pertanian (pendapatan) tidak sebanding dengan pemenuhan kebutuhan keluarga (pengeluaran). “Pada akhirnya petani pangan masuk ke golongan yang mendapatkan beras sejahtera,” katanya, Selasa (9/2).
Sementara itu, kenaikan harga yang sama terjadi pada jagung. Disinyalir akibat pasokan langka, harga jagung di dalam negeri saat ini mencapai Rp. 6.000/kg – Rp. 7.000/kg. Di Jatim, harga jagung sudah merangkak naik dari Rp. 6.400/kg – Rp. 6.600/kg,” tutur Nurhadi.
Kenaikan jagung berimbas pada harga pakan ternak yang menyebabkan harga daging ayam negeri ikut terkerek naik hampir Rp.10.000,-/kg di akhir Januari 2016. Kenaikan harga pakan mempengaruhi NTP peternak yang turun menjadi 107,31 pada bulan lalu.
Namun pemerintah malah mengambil kebijakan impor jagung oleh Bulog. Ini berarti pemerintah selama setahun tidak bisa mengendalikan rantai pasok, mengelola buffer stock, serta mengendalikan harga,” tegas Henry. [kmf]

Tags: