Hari Kejuangan Santri

Foto Ilustrasi

Hari ini (22 Oktober) 73 tahun lalu, Rois Akbar (Ketua Besar) Syuriyah NU, hadratus-syeh Hasyim Asy’ary, mem-fatwa-kan resolusi jihad. Fatwa dinyatakan dalam majelis ulama NU se-Jawa dan Madura. Disampaikan pula tekad masyarakat menolak perlucutan senjata oleh tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda). Resolusi jihad juga disertai pekik perjuangan khas santri, dengan kalimat “Allahu Akbar, Merdeka atau Mati.”
Fatwa jihad di-sosialisasi-kan melalui pengajian di kampung-kampung. Bahwa perang melawan musuh bersenjata, merupakan jihad fardlu ‘ain (berdosa jika tidak turut perang jihad). Resolusi jihad, wajib untuk seluruh rakyat. Dewasa, anak-anak, dan perempuan, wajib berpartisipasi dalam perang. Masing-masing dengan peran berbeda. Pengajian telah digelar sejak pertama kali fatwa resolusi jihad dinyatakan oleh hadratus syeh kyai Hasyim Asy’ary.
Berdasar kitab (“Bujairimi Fathul Wahab,” jilid I halaman 251), fardu ‘ain perang kemerdekaan lebih tinggi dibanding shalat lima waktu. Artinya, jika harus dipilih: perang dulu atau shalat dulu? Jawabnya, harus perang dulu. Maka sejak 22 Oktober 1945 (sekarang diperingati sebagai Hari Santri Nasional), kumandang perang bela negara terus menggelora. Perang, tak terhindarkan di Surabaya. Juga karena gubernur Jawa Timur, RTM Soerjo, menolak menyerahkan senjata.
Dengan fatwa itu (dan pekik kumandang perang), ajakan jihad dilakukan. Kemerdekaan wajib dipertahankan, perjuangan harus dilanjutkan. Sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan UUD 1945 alenia kedua: “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.”
Sangat tidak mudah (saat itu) memilih jihad sebagai jalan hidup. Sebenarnya lebih “aman” memilih menyerah, lalu hidup normal dibawah kendali bangsa asing. Seperti selama 350 tahun sebelumnya. Begitu pula dukungan politik (pengakuan negara sahabat) belum memadai. Ternyata, rakyat memilih mempertahankan proklamasi kemerdekaan. Walau harus bertaruh nyawa, melawan tentara Sekutu, jagoan yang baru saja memenangkan perang dunia kedua.
NKRI (Negara Kesatuan Republik Indoneisa) wajib dipertahankan, walau dengan berkali-kali perang revolusi. Bung Karno berkali-kali menyatakan revolusi belum selesai. Artinya, seluruh rakyat masih mengemban wajib-nya perjuangan. Pernyataan Bung Karno itu pastilah menirukan hadits yang disabdakan Nabi Muhammad SAW. Bahwa setelah perang kecil (perang Badar yang dahsyat disebut kecil), harus dilanjut dengan perang besar. Yakni melawan hawa nafsu (keserakahan menumpuk kapita).
Perang 10 November 1945, sudah berlalu 73 tahun. Model perang revolusi (bersenjata untuk membunuh musuh) sudah tiada. Tetapi harus siap-siap dengan “perang” lain, dan dengan senjata yang lain pula. Semangat jihad (perang), coba dikobarkan melalui peringatan Hari Santri. Diantaranya melalui kegiatan doa bersama. Juga kirab napak-tilas resolusi jihad, berjalan kaki dari Jombang ke Surabaya. Mengenang jasa kepahlawanan ulama, dan santri.
Pemerintah telah menetapkan 22 Oktober sebagai peringatan Hari Santri, dengan momentum resolusi jihad. Santri, masih berkewajiban mewujudkan kukuhnya NKRI berdasar Pancasila. Penetapan Hari santri pertama kali dilakukan tahun (2015) lalu di masjid Istiqlal, Jakarta. Tahun (2018) ini, pembacaan satu milyar shalawat Nariyah menandai puncak hari Santri, setelah didahului apel akbar di Solo (Jawa Tengah).
Hari kejuangan santri, meng-inspirasi jalinan erat tiga pilar kebangsaan. Yakni, pemerintah (gubernur se-Jawa), dengan tentara rakyat (Laskar Hizbullah) serta ulama, dan santri. Saat ini, ketiganya mesti dijalin lebih erat untuk jihad melawan ketidak adilan, terutama ketimpangan ekonomi. Masih banyak pejabat (dan cendikiawan muslim) berlaku khilaf, melupakan amanat pembukaan UUD 1945.

——— 000 ———

Rate this article!
Hari Kejuangan Santri,5 / 5 ( 1votes )
Tags: