Hari Pertama Sekolah Secara Daring di Kota Probolinggo

Siswa kelas satu SMPN 3 Kota Probolinggo saat masuk secara tatap muka dalam pembekalan hari pertama masuk sekolah. [wiwit agus pribadi]

Siswa Inklusi Sulit Belajar, Orang Tua Banyak yang Tak Punya Smartphone
Probolinggo, Bhirawa
Juli adalah bulan sibuk bagi orang tua. Sebab di bulan ini, merupakan awal masuk sekolah. Namun pada tahun ajaran baru kali ini berbeda dengan sebelum-sebelumnya. Jika tahun-tahun lalu orang tua sibuk mengantarkan anaknya berangkat sekolah, kali ini sibuk mendampingi putra putrinya mengikuti sekolah secara daring. Kebiasaan baru ini menyisakan sedikit masalah. Seperti yang terjadi di Kota Probolinggo.
Karena memasuki ajaran baru yang berbeda ini, Wali Kota Probolinggo Hadi Zainal Abidin memberikan perhatian lebih. Didampingi Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Moch Maskur, Wali Kota Hadi melakukan pemantauan kepada sejumlah lembaga pendidikan yang menggelar kegiatan pembekalan siswa baru. Dalam pantauannya, ditemukan beberapa permasalahan yang terjadi saat kegiatan belajar dilakukan secara daring.
“Ada beberapa kendala yang ditemukan. Seperti orang tua tidak memiliki ponsel android untuk melakukan pembelajaran secara daring. Begitu juga bagi anak-anak kelas 1 SD yang belum bisa membaca menulis. Ini juga sulit untuk belajar melalui jarak jauh, sehingga perlu pendampingan dari orang tua,” ujar Wali Kota Hadi, setelah datang ke SDN Jati 1, Rabu (15/7).
Selain itu, bagi sekolah yang mengadakan kegiatan sekolah inklusif, perlu ada peraturan khusus terkait pembelajaran bagi siswa. Wali Kota Hadi meminta kepada Disdikbud untuk mengeluarkan SE terkait pelaksanaan pendidikan bagi sekolah inklusif.
“Di beberapa sekolah yang ada kegiatan sekolah inklusif berbeda-beda cara untuk mengadakan kegiatan pendidikan inklusif. Sehingga perlu bagi Disdikbud mempersiapkan SE terkait teknisnya,” terangnya.
Sedangkan bagi orang tua yang tidak memiliki smartphone berbasis android, Wali Kota Hadi menyarankan, bagi siswa dengan kondisi keluarga tidak mampu memiliki, bisa diberikan kesempatan belajar di sekolah. Tentunya belajar di sekolah ini dengan protokol kesehatan.
“Tentunya jumlah siswa dengan kondisi seperti ini (tidak memiiki smartphone, Red) tidak banyak. Tapi saya tekankan tidak boleh ada siswa yang sampai terbengkalai pendidikannya. Mereka semua punya kesempatan belajar yang sama,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Disdikbud Kota Probolinggo Moch Maskur menambahkan, kegiatan pelajaran daring bagi siswa kelas 1 SD dan SMP mulai dilakukan Rabu 16 Juli. “Tapi untuk yang kelas 2-6 SD dan kelas 2-3 SMP pelajaran daring dilakukan sejak Kamis, 17 Juli,” katanya.
Terkait pembelajaran daring ini, Pemkot Probolinggo melalui Disdikbud juga memberikan subsidi pulsa paket data baik bagi guru dan siswa. Meskipun tidak menyebutkan anggaran untuk pulsa ini, setiap bulan per orang mendapat subsidi Rp50 ribu. “Baik guru dan siswa subsidi paket data sebesar Rp50 ribu per bulan. Sesuai dengan instruksi dari Peraturan menteri pendidikan nasional,” tuturnya.
Pandemi yang masih berlanjut hingga kini membuat kegiatan belajar mengajar di sekolah sejak Maret lalu, jelas terganggu. Pemerintah daerah belum berani menerapkan pembelajaran konvensional, dengan alasan mengikuti kebijakan pusat. Tak diperbolehkan apabila belum zona hijau. Kondisi ini berlanjut saat tahun ajaran baru. Suasana sekolahpun kini berbeda, ungkapnya.
Kembali belajar dari rumah (BDR). Inilah yang dilakukan siswa di Probolinggo di tahun ajaran baru 2020/2021. Kondisi yang sudah pernah mereka alami hampir empat bulan terakhir. Kondisi tersebut ternyata juga cukup membuat anak-anak jenuh.
“Meski mereka tetap mendapatkan materi pelajaran dengan pembelajaran jarak jauh. Tetapi, sistem BDR juga terbilang menjenuhkan. Sebagian anak-anak bahkan merasa sedih lantaran belum bisa bersekolah seperti sebelumnya,” tandasnya.
Salah satunya diungkapkan oleh Anindya Adenaisyah Sofyan. Belia yang masih duduk di bangku kelas 5 SDN Kebonsari itu memang sudah terbiasa dengan BDR. Di sisi lain, juga merasa sedih. “Karena tidak bisa ketemu guru dan teman,” ungkap dia.
Selama ini, anak dari A Sofyan Sauri itu memang selalu didampingi orangtuanya selama BDR. Bahkan, jika ada materi pelajaran yang dirasa sulit dipahami, dia juga aktif bertanya kepada orangtuanya. Akan tetapi, bagi Anindya, tetap saja kondisi itu jauh berbeda ketika belajar di sekolah.
Menurut dia, suasana belajar di sekolah terasa lebih nyaman. Terutama dalam menyerap materi pelajaran yang diberikan guru. “Walau ayah bunda bisa mengajari materi yang diberikan, tapi tidak sejelas penjelasan guru di sekolah,” tandasnya.
Hampir sama juga yang dirasakan oleh Putri Raisa. Kemarin, merupakan hari pertama Raihan mengenakan seragam putih biru. Dia resmi menjadi pelajar di SMPN 4 Kota Probolinggo setelah lulus dari bangku SD. Kendati demikian, Putri tetap harus berada di rumah di hari pertamanya sebagai pelajar SMP.
Memang, di sekolahnya tengah mengadakan masa pengenalan lingkungan sekolah (MPLS). Akan tetapi hal itu juga dilakukan secara virtual. Dengan mengenakan seragam putih biru, Puttri menatap layar laptop untuk mengikuti MPLS dengan didampingi ayahnya.
Dia juga menceritakan pengalamannya ketika menjelang masa kelulusan SD, harus mengikuti BDR. Putri sendiri merasakan perbedaan BDR dengan sekolah tatap muka. Menurutnya, BDR yang selama ini dirasakan, membuatnya justru kesulitan berkonsentrasi. Terutama ketika menerima materi pelajaran. “Lebih enak belajar tatap muka, jadi ilmunya bisa dipahami sepenuhnya. Kalau dari rumah kadang kan sulit konsentrasi,” terang dia.
Dewi, salah satu pelajar kelas VII di SMPN 3 Kota Probolinggo juga sama sekali belum menginjakkan kakinya di sekolahnya yang baru. Selama diterapkannya BDR, Dewi juga mengaku kurang menyenangkan. Alasannya, materi pelajaran yang diterima tak selengkap dibandingkan belajar tatap muka dengan guru di sekolah, akunya. “Soalnya kan nggak ketemu sama temen-temenku. Nggak bisa bercandaan. Pokoknya nggak bisa feeling good, gitu,” kata Dewi.
Cara konvensional memang dirindukan siswa, maupun orangtua siswa. Lewat daring, pelajaran memang bisa tersampaikan. Tapi butuh proses lebih untuk memahami. Tak terkecuali bagi siswa SMP sekalipun, yang semestinya terbiasa dengan gadget, tambah Moch Maskur. [wiwit agus pribadi]

Tags: