Hari pertama masuk sekolah tahun ajaran baru dimulai untuk tingkat PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) hingga SLTA. Orangtua sibuk membeli seragam sekolah, serta peralatan alat tulis, termasuk tas sekolah. Belanja rumahtangga mengalami peningkatan. Bagai gayung bersambut Pegadaian juga nampak lebih ramai melayani nasabah. Lebih lagi Pegadaian memiliki program gadai tanpa bunga (0%) untuk mahasiswa dan ibu rumahtangga.
Pegadaian menjadi muara penyedia uang, nampak ramai sejak awal bulan Juli (setengah bulan menjelang tahun ajaran baru). Seolah merespons kebutuhan ke-ekonomi-an ibu-ibu rumahtangga, Pegadaian memberi fasilitasi gadai tanpa bunga, sampai pagu (terbesar) Rp 500.000,-. Anehnya pagu itu (Rp 500 ribu) pas persis untuk membeli seragam sekolah, tas, buku tulis (dan alat tulis lain), serta sepatu baru.
Pegadaian bagai penglipur orangtua murid. Anak-anak bisa memulai tahun ajaran baru, dengan seragam baru, sepatu baru, dan penampilan baru. Bersamaan dengan awal tahun ajaran baru, Pegadaian meluncurkan program gadai tanpa bunga. Targetnya, meningkatkan tambahan nasabah sampai dua juta orang. Menjadi 11,5 juta orang pada tahun (2018) ini. Dengan program itu omzet Pegadaian diharapkan mencapai Rp 145,4 trilyun.
Sehingga ke-gundah-an orangtua murid, bukan pada pemenuhan seragam baru. Melainkan proses PPDB (Pendaftaran Peserta Didik Baru). Diperlukan “perburuan” sekolah negeri (tingkat SD hingga SLTA) untuk menghemat biaya. Namun mengikuti proses PPDB tidak mudah, memerlukan kejelian orangtua murid. Disesuaikan dengan nilai hasil UN (Ujian Nasional), serta Usek (Ujian Sekolah). Juga masih harus menghadapi ujian lain bersifat lokal pada satuan pendidikan.
Terdapat pembiasaan baru yang diberlakukan sejak lima tahun terakhir, berupa TPA (tes potensi akademik) di SMP Negeri dan SLTA negeri. Pada sekolah negeri, tidak semata menggunakan hasil UN (Ujian Nasional) maupun Usek SD. TPA sebenarnya lebih menjamin transparansi proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Sesuai potensi terkini calon peserta didik.
Tidak semua peserta didik cukup “beruntung” dalam menjalani Unas maupun Usek, karena berbagai faktor. Termasuk kendala kesehatan, serta tidak mampu mengikuti bimbel (bimbingan belajar) bertarif mahal. Pada sisi lain, banyak murid dengan kebiasaan potensi akademik rendah namun “beruntung” memperoleh hasil UN cukup tinggi. Sehingga TPA, dapat berperan sebagai “saringan” dalam berburu bangku sekolah. Hasil UN dan Usek “dihargai” 40%, sebagai bekal kepantasan.
Tes potensi akademik, menggunakan rayonisasi. Setiap rayon (terdiri dari beberapa sekolah se-kawasan) menyelenggarakan ujian tertulis untuk menjejaki kompetensi akademik calon peserta didik. Selanjutnya seluruh calon peserta akan diperingkat sesuai hasil uji faktual. Tentu yang dipilih untuk mengisi kuota bangku kelas VII dan kelas X, adalah peringkat teratas. Murid sableng dengan potensi akademik rendah, tidak akan bisa menembus ujian rayon itu.
Tetapi sistem rayonisasi, harus dilaksanakan dengan tetap memperhatikan hak-hak calon peserta didik. Sebab hak pendidikan yang dijamin UUD pasal 28C maupun UU Sisdiknas tidak mengenal teritorial (rayon). Sehingga rayonisasi tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat alamat sekolah asal. Melainkan rayon tujuan yang diminati. Misalnya, boleh saja beralamat di Surabaya selatan memilih sekolah di Surabaya utara.
Selain rayonisasi, masih banyak persyaratan non-akademik yang memberatkan orangtua murid. Terutama masuk SD Negeri. Beberapa Pemerintah Kabupaten dan Kota mensyaratkan akte kalahiran dan KK (kartu keluarga) hanya untuk melihat alamat tempat tinggal. Maksudnya sekolah Negeri hanya boleh dimasuki oleh warga kota setempat. Ini berhubungan dengan pemberian (subsidi) BOS yang diharapkan untuk warga kota sendiri, bukan warga luar kota.
——— 000 ———