Hari Santri, Pengingat Sejarah Resolusi Jihad

Oleh :
Lia Istifhama
Pengurus PW LazisNU Jatim

Sudah empat tahun Pemerintah Indonesia menetapkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional melalui Keppres nomor 22 tahun 2015. Momen peringatan tersebut bukan semata identitas bangsa yang mayoritas Muslim dan berasal dari kalangan Nahdliyin, melainkan Hari Santri Nasional ini merupakan penghargaan pemerintah terhadap peran para santri yang ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Peran santri dalam hal ini adalah kaitannya dengan fatwa jihad yang didengungkan para santri Nahdlatul ‘Ulama (NU) organisasi Islam yang didirikan di Surabaya pada 31 Januari 1926 oleh KH Hasjim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Hasbullah. KH. Hasyim Asyari merupakan Hadratus Syaikh pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dan sekaligus memiliki gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui fatwa jihad atau resolusi jihad melawan penjajah Belanda pada 22 Oktober 1945.
Resolusi Jihad ini telah dimuat lengkap pada koran Kedaulatan Rakyat pada tanggal 27 Oktober 1945, hal yang sama juga ada di Koran Suara Masyarakat. Fatwa Jihad inilah yang merupakan cikal bakal meledaknya perang besar di Surabaya pada 10 November 1945. Yang sebelumnya telah terjadi perang selama 4 hari yaitu dari tanggal 26 hingga 29 Oktober 1945.
Dimulai dari tanggal 25 Oktober 1945 dengan tidak diijinkannya tentara Inggris masuk ke wilayah Surabaya, namun pada tanggal 26 Oktober tentara Inggris tetap masuk dan membangun pos-pos pertahanan dengan karung-karung pasir yang ditumpuk dan diisi senapan mesin. Inggris yang telah diketahui membonceng Belanda saat itu mendapatkan perlawanan dari pemuda-pemuda Surabaya dan kalangan santri Nadhliyin.
Mengapa Fatwa Jihad Menjadi Fenomenal ?
Fatwa Jihad menjadi sangat mempengaruhi semangat berperang dari para santri Nahdliyin saat itu karena dicetuskan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Beliau bukan hanya sebatas penggerak jihad para pahlawan saat itu, melainkan juga memiliki kapasitas komunikasi yang luar biasa. Beliau senantiasa berkomunikasi dengan tokoh-tokoh muslim dari berbagai penjuru dunia untuk mendukung kemerdekaan RI, diantaranya dengan dengan Pangeran Abdul Karim al-Khatthabi (Maroko), Sultan Pasha Al-Athrasi (Suriah), Muhammad Amin al-Husaini (Palestina), Dhiyauddin al-Syairazi, Muhammad Ali, dan Syaukat Ali (India), serta Muhammad Ali Jinnah (Pakistan).
KH Hasyim Asy’ari mencetuskan lima butir dalam fatwa atau resolusi jihad, yaitu sebagai berikut: (1). Kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus wajib dipertahankan. (2). Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus dijaga dan ditolong. (3). Musuh Republik Indonesia yaitu Belanda yang kembali ke Indonesia dengan bantuan sekutu Inggris pasti akan menggunakan cara-cara politik dan militer untuk menjajah kembali Indonesia. (4). Umat Islam terutama anggota NU harus mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya yang ingin menjajah Indonesia kembali. (5). 5. Kewajiban ini merupakan perang suci (jihad) dan merupakan kewajiban bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 94 kilo meter, sedangkan mereka yang tinggal di luar radius tersebut harus membantu dalam bentuk material terhadap mereka yang berjuang.
Fatwa yang disiarkan lewat langga-langgar dan masjid-masjid tersebut kemudian melahirkan pergerakan perjuangan yang tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah untuk melawan penjajah Belanda. Mereka menjadikan lima butir tersebut sebagai pengejawantahan kaidah Islam, yaitu hubb al-wathan min al-iman (mencintai tanah air adalah bagian dari iman).
KH Hasyim Asy’ari, Sang Pencetus Resolusi Jihad
Kebesaran sosok KH Hasyim Asy’ari tak lepas dari latar belakang beliaunya yang memang memiliki kecintaan pada bumi Indonesia. Semangat dakwah antikolonialisme sudah melekat pada diri Kiai Hasyim sejak belajar di Makkah. Sikap anti penjajahan juga ditujukan pada penjajah Jepang. Kiai Hasyim dengan tegas menolak perintah Jepang dalam hal kebudayaan ‘Saikerei’ yaitu menghormati Kaisar dengan cara membungkukkan badan 90 derajat menghadap ke arah Tokyo setiap pagi sekitar pukul 07.00 WIB.
Budaya itu diberlakukan Jepang kepada seluruh penduduk Indonesia tanpa kecuali, baik anak sekolah, pegawai pemerintah, kaum pekerja dan buruh, bahkan di pesantren-pesantren. Kiai Hasyim Asyari menentang karena dia menganggapnya ‘haram’ dan dosa besar. Membungkukkan badan semacam itu menyerupai ‘ruku’ dalam sholat yang hanya diperuntukkan menyembah Allah SWT.
Salah satu pendiri ormas terbesar di Indonesia ini juga memiliki peran dalam menggerakkan Kebangkitan Nasional.
Gerakan yang muncul pada 1908 tersebut, terus menyebar setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan ketertinggalannya dengan bangsa lain. Gerakan kebangkitan inilah yang memunculkan lahirnya berbagai organisasi pendidikan dan pembebasan.
Merespon kebangkitan nasional tersebut, Nahdlatul Wathan (Kebangkitan Tanah Air) dibentuk pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran), sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki cabang di beberapa kota.
Berangkat dari munculnya berbagai macam komite dan organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkoordinasi dengan berbagai kyai, karena tidak terakomodirnya kyai dari kalangan tradisional untuk mengikuti konperensi Islam Dunia yang ada di Indonesia dan Timur Tengah akhirnya muncul kesepakatan dari para ulama pesantren untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926) di Kota Surabaya. Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasjim Asy’ari sebagai Rais Akbar.
Ada banyak faktor yang melatar belakangi berdirinya NU. Di antara faktor itu adalah perkembangan dan pembaharuan pemikiran Islam yang menghendaki pelarangan segala bentuk amaliah kaum Sunni. Sebuah pemikiran agar umat Islam kembali pada ajaran Islam “murni”, yaitu dengan cara umat islam melepaskan diri dari sistem bermadzhab.
Kini, semangat peringatan Hari Santri semakin menggema seiring dengan semangat Islam Nusantara oleh banom-banom Nahdlatul Ulama, seperti Muslimat, Fatayat, Banser, Anshor, IPNU, IPPNU, Lazisnu, Pagar Nusa, dan sebagainya. Terlebih, wapres yang baru dilantik merupakan kalangan Nahdliyin.
Hari Santri 2019, Santri Indonesia untuk Perdamaian Dunia.
Tema HSN kali ini dicetuskan oleh Menteri Agama sebagai simbol perdamaian. Hal ini memperkuat semangat Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan potensi modal sosial yang hebat. Modal sosial bukan sebatas potret solidaritas, melainkan semangat para santri menguatkan kesetiakawanan habl min an-nas yang damai satu sama lain. Jika Indonesia sebagai bangsa majority of moslem mampu menunjukkan toleransi beragama yang kuat dan membumikan sikap damai sesama masyarakat, maka tidak mustahil Indonesia menjadi cermin negara Muslim mayoritas yang cinta damai dan tentunya ini kemudian kelak menjadi investasi besar menuju negara maju.
——— *** ———–

Tags: