Hari Tani dan Nasib Petani

JunaidiOleh :
Junaidi
Koordinator Tjaraka Library Surabaya

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) akan berakhir per 20 Oktober 2014. Pemerintahan baru di bawah kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla akan diwarisi masalah pertanian yang akut dan kronis. Dan itu merupakan tantangan bagi keduanya untuk mereformasi kebijakan pertanian sebelum Indonesia benar-benar memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang tinggal 3 bulan lagi.
Sebelum pasangan Jokowi-JK memimpin, pada masa transisi ini ada satu momentum penting bagi petani di seluruh tanah air, yakni Hari Tani Nasional yang diperingati tiap 24 September.   Para petani mungkin tak banyak menghiraukan adanya peringatan hari tani tersebut. Hanya segelintir kelompok yang masih setia memperingati tradisi itu untuk memperjuangkan kesejahteraan petani. Rata-rata petani cenderung memperhatikan nasibnya sendiri. Di tambah musim kemarau ini lahan pertanian mengalami kekeringan. Lebih parah lagi, petani harus menelan pil pahit karena keuntungan yang digadang dari hasil taninya berbanding terbaik dengan kondisi yang ada. Ratusan hektar tanaman pangan mengalami puso. Jikalau pun ada yang terselamatkan, petani harus memanen lebih awal tanamannya. Tentu harga jual panennya sangat murah.
Berkaca pada peringatan sebelumnya, setiap peringatan Hari Tani Nasional, sekelompok petani rutin turun ke jalan melakukan demonstrasi untuk meminta perhatian pemerintah. Hari Tani Nasional ditetapkan oleh Presiden Soekarno berdasarkan Keputusan Presiden (Keppres) tanggal 26 Agustus 1963 No 169/1963. Dikeluarkannya Keppres itu menandakan bahwa petani memiliki peran dan posisi penting sebagai entitas bangsa.
Namun kenyataan di lapangan sungguh ironis. Lahirnya UU No 5 Tahun 1960 pada 24 September tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) yang mengatur tentang hak-hak dan kewajiban kaum tani, mengatur hak atas tanah, hak atas sumber-sumber agraria untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran petani dan bangsa seakan tak mampu mengangkat kesejahteraan petani. Padahal 38 juta angkatan kerja Indonesia berada di sektor pertanian.
Tingkat kesejahteraan petani bisa diukur dari NTP pertanian pangan per Agustus 2014 di Indonesia yang berada di posisi 97,78. Ini merupakan level NTP terendah dalam 4 tahun terakhir sejak Agustus 2010. Sedangkan pendapatan petani dari sektor pertanian hanya Rp 12,41 juta per rumah tangga petanian (RTP) per tahun.
Kurangnya kesejahteraan yang didapat petani akan berdampak pada menurunnya jumlah RTP. Sensus BPS 2013 menyebutkan, jumlah RTP dalam sepuluh tahun terakhir (2003-2013) berkurang 5,1 juta RTP, dari 31,23 juta pada 2003 menjadi 26,14 juta pada 2013. Ancaman yang paling nyata dari berkurangnya RTP ialah beralihnya (konversi) lahan pertanian menjadi perumahan, pertambangan, industri, dan pembangunan sarana dan prasarana permukiman. Jika dibiarkan maka area pertanian di Indonesia terancam habis pada tahun 2149. Akibatnya impor pangan akan mengalir deras.
Saat ini lahan pertanian di Indonesia tersisa 15 juta ha. Idealnya lahan pertanian di Indonesia seluas 20 juta hektar. Namun pengadaan lahan baru relatif lambat karena selalu kalah dengan jumlah area yang beralih fungsi.
Permasalahan ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintahan baru. Janji politik Presiden Terpilih Periode 2014-2019, Jokowi yang akan membuka lahan pertanian sawah sebanyak 1 juta hektar setiap tahunnya patut ditunggu realisasinya.
Selain itu, pemerintahan baru juga harus bisa melakukan reformasi terhadap sektor pertanian untuk membangkitkan ketahanan pangan nasional yang sudah dalam tahap kritis.
Sejumlah upaya yang perlu ditingkatkan ialah memperbaiki infrastruktur pertanian, penggunaan teknologi, membantu usaha produksi sampai pada proses memasarkan hasil produksinya. Dan yang tak kalah pentingnya ialah memudahkan akses permodalan dan mengoptimalkan asuransi pertanian.
Peran penting swasta, peneliti, sampai petani juga dibutuhkan untuk mengurai masalah yang selama ini menjangkiti pertanian kita. Karenanya, di Hari Tani Nasional ini sudah saatnya kita melakukan reformasi di sektor pertanian. Jika tidak, petani di Indonesia seperti kata pepatah ibarat “ayam mati di lumbung padi”.
Tidak mudah memang untuk melakukan reformasi di sektor pertanian. Namun langkah ini sangat mendesak harus dilakukan sehingga produk hasil pertanian Indonesia mampu bersaing di tingkat global dan mampu mencapai kemandirian pangan.

                                                                   ——————- *** ——————-

Rate this article!
Tags: