Harmonisasi Hubungan Tripartit

Umar SholahudinOleh :
Umar Sholahudin
Mahasiswa S-3 FISIP Unair, Dosen Sosiologi  Unmuh Surabaya

Meskipun bukan Mayday, bukan berarti para buruh tidak melakukan aksi perjuangannya menuntut hak-haknya melalui aksi unjuk rasa massal. Pekan kemarin (29 Oktober), ribuan buruh dari berbagai serikat buruh di Jabodetabok melakukan aksi unjuk rasa di depan istana presiden, Jakarta. Mereka menuntut Peraturan Pemerintah No 78 tahun 2015 yang baru tentang sistem pengupahan nasional yang dinilainya akan sangat merugikan kaum buruh.
Sebelumnya, aksi yang samadilakukanburuhuntuk merespon dan menuntut keseriusan pemerintah (Jokowi-JK) memulihkan kondisi ekonomi nasional. Saat ini kondisi ekonomi nasional berpotensi memasuki masa krisis. Salah satu indikator utamanya adalah semakin melemah dan terpuruknya  kurs rupiah terhadap dollar AS. Saat ini rupiah semakin melemah pada angka 13.700/US$. Akibat terpuruknya rupiah ini, banyak pabrik-pabrik yang terancam gulung tikar, sentra-sentra produksi industry mengalami stagnasi, bahkan ada beberapa yang berhenti beroperasi dan dampaknya bagi buruh adalah ancaman Putus Hubungan Kerja.Saat ini misalnya, akibat rupiah terus terpuruk, sedikitnya 26 ribu buruh yang kena PHK. Jumlah ini berpotensi bertambah seiring dengan suramnya perekonomian nasional, termasuk semakin melemahnya rupiah atas US$.
Beberapa tuntutan yang sejak dulu dan sampai sekarang terus diperjuangkan adalah masalah upah buruh yang dinilai masih sangat rendah (baca; UMK), perbaikan kesejahteraan melalui jaminan sosial dan kesehatan, masalah PHK yang sepihak, dan dan masalah sistem kerja kontrak atau outsourching yang dinilai lebih banyak merugikan pihak buruh. Buruh selama ini masih dianggap dan dalam kondisi tertentu dijadikan “objek” perusahaan, daripada sebagai mitra kerja. Kondisi ini yang kemudian menjadikan persoalan hubungan industrial masih terus berlanjut
Dengan kata lain, persoalan ketenagakerjaan di Indonesia menyangkut tiga elemen penting; Tripartit, yakni penguasa/pemerintah selaku pembuat regulasi, pengusaha selaku pemilik modal dan buruh selaku pemilik tenaga. Ketiga elemen tripartit ini sering kali beda kepentingan, baik dalam tataran regulasi maupun praktik. Ini yang kemudian penyelesaian masalah ketenagakerjaan tidak pernah tuntas.
Sebut saja misalnya masalah Upah Minimen Kab/kota (UMK/R) yang menjadi masalah tahunan yang tak pernah kunjung usai. Setiap ada penetapan upah buruh yang baru, setiap itu pula buruh berunjuk rasa menolak upah baru. Mereka menilai penetapan upah buruh dinilai masih rendah dan tidak sebanding dengan ukuran Kebutuhan Hidup Miniaml (KHL). Dan penetapan upah buruh juga tidak sebanding dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan harga BBM. Karena itu, masalah hubungan Tripartite ini harus dicari akar masalah dan solusinya.
Hubungan yang Harmonis
Pembangunan ekonomi yang berkeadilan dan berkesejehtaraan sangat membutuhkan peran fungsional dan produktif dari ketiganya (Tripartite). Meminjam teori sistemnya Parson, masing-masing pihak memiliki peran yang sama pentingnya, meski berada dalam posisi dan dengan status yang berbeda. Ketiga pihak memiliki tanggung jawab yang sama dengan peran masing-masing dalam membangun pola hubungan industry yang sehat dan harmonis. Peran dan fungsi tersebut didasarkan pada pemenuhan hak dan kewajiban masing-masing secara maksimal.
Pihak pengusaha memiliki kewajiban, tidak hanya sekedar memberi upah yang layak (unsur ekonomis), tapi juga bagaimana pengusaha memperlakukan dan menjadikan para pekerja sebagai mitra atau asset perusahaan yang memiliki nilai penting dalam membangun kemajuan perusahaan, aspek humanitasnya harus lebih dikedepankan dariapda aspek material-profitnya. Hak perusahaan terhadap pekerja adalah bagaimana para pekerja dalam menjaga kondusivitas dan produktivitas dalam bekerja. Sementara itu bagi para pekerja, harus mulai sadar bahwa kegaduhan dalam hubungan industrial tidak akan memberi keuntungan apapun, baik untuk pekerja sendiri maupun bagi pengusaha dan pemerintah, kecuali aktivitas produksi terganggu dan ujungnya perekonomian nasional melemah.
Pihak yang tak kalah penting adalah,pemerintah sebagai regulator. Dalam konteks hubungan industrial, pemerintah harus memerankan diri sebagai “wasit” yang bisa berlaku adil bagi semuanya. Selain wasit, juga harus menjadi “mediator dan fasilitator” jika terjadi dispute (perselisihan) antar keduanya (pekerja-pengusaha), dan diselesaikan dalam koridor kepentingan (ekonomi) nasional.
Jalan Komunikasi yang Sehat
Pola hubungan Tripartit akan berjalan dengan baik dan produktif jika dijembatani dengan adanya komunikasi yang sehat (tidak saling curiga) diantara ketiganya. Masing-masing pihak memperlakukan pihak lain dalam relasi komunikasi interaktif bukan sebagai objek, tapi subjek yang berkontribusibagi kemajuan perusahaan, kesejehtaraan pekerja, dan kemajuan ekonomi nasional. Jika pola relasi dan komunikasi seperti ini dijalankan dengan baik, maka hubungan industrial akan dapat diwujudkan dengan baik, sehat dan produktif. Masing-masing akan mendapatkan dan menikmati “keberkahan” dari peran dan kontribusi para pihak dalam membangun perekonimian nasional yang lebih berkeadilan dan berkesejahteraan.

                                                                                                                 ———- *** ———-

Rate this article!
Tags: