Harmonisasi Membangun Karakter Bangsa

Oleh :
Maswan
Penulis adalah Dosen UNISNU Jepara, Kandidat Doktor Manajemen Kependidikan Unnes, Asesor BAP-SM Prov. Jateng

Berita perilaku menyimpang yang dilakukan oleh pejabat publik seperti korupsi, suap, pungli, dan sejenisnya sering menghiasi media cetak maupun media sosial. Lebih semarak lagi adanya gonjang ganjing politik dalam perseteruan pilkada, berakibat munculnya beragam fitnah dan ujaran kebencian serta bentrokan, demo yang anarkis demi kekuasaan.
Di penghujung tahun 2016 lalu, kita lihat fenomena pejabat publik (Bupati Klaten, Sri Hartini), melakukan tindak kriminal dalam bentuk dagang jabatan (suap/pungli). Aneh, seorang bupati, melakukan penistaan atas jabatan sebagai seorang kepala daerah. Ia seharusnya menjadi pengayom dan memberi kesejahteraan rakyatnya, tetapi justru malah menjadi pemeras rakyatnya yang ingin hidup sejahtera.
Dalam berbagai kasus pelanggaran, baik moral, susila, sosial dan etika jabatan seperti yang disebut di atas, sejatinya tidak patut dilakukan oleh kita yang mengaku beragama. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila, tampaknya tidak lagi bertuah dan tidak cukup untuk pengendalian kejahatan moral dan tata susila tersebut.
Salah Pendidikan
Pendidikan kita, bertujuan membentuk mental dan kepribadian manusia Indonesia yang berkarakter. Istilah sikap mental kepribadian ini dapat diartikan sebagai keseluruhan jiwa raga yang terparti adanya nilai-nilai spritual keagamaan, akidah, akhlak, etika susila dan moral. Dalam hasanah pendidikan, nilai-nilai tersebut berada pada ranah afektif (nilai sikap).
Menurut Foerster sebagaimana  dikutip oleh  Muhammad Rajab dalam tulisan berjudul; Pendidikan Karakter untuk Keadaban Bangsa (Bhirawa, 21/10/2014) disebutkan; ada empat ciri dasar dalam pendidikan karakter;
Pertama, keteraturan interior di mana setiap tindakan diukur berdasar hierarki nilai. Nilai menjadi pedoman normatif setiap tindakan.
Kedua, koherensi yang memberi keberanian, membuat seseorang teguh pada prinsip, tidak mudah terombang-ambing pada situasi baru atau takut risiko. Koherensi merupakan dasar yang membangun rasa percaya satu sama lain. Tidak adanya koherensi meruntuhkan kredibilitas seseorang.
Ketiga, Otonomi. Di situ seseorang menginternalisasikan aturan dari luar sampai menjadi nilai-nilai bagi pribadi. Ini dapat dilihat lewat penilaian atas keputusan pribadi tanpa terpengaruh atau desakan pihak lain.
Keempat, keteguhan dan kesetiaan. Keteguhan merupakan daya tahan seseorang guna mengingini apa yang dipandang baik. Dan kesetiaan merupakan dasar bagi penghormatan atas komitmen yang dipilih.
Sebagai bahan refleksi dan instrospeksi, selama ini kita mungkin salah dalam membentuk karkater anak, yang kurang sesuai dengan ciri-ciri di atas. Orang tua di rumah, belum menjadi pendidik karakter yang baik. Dalam aplikasinya kita belum bisa menjadi contoh dan pola asuh yang baik. Para pemimpin masyarakat dan bangsa juga belum dapat dijadikan figur publik yang konsisten dan komitmen dengan apa yang diajarkan serta dalam perilakunya belum dapat dijadikan teladan.
Dalam konsep teoritis dan desain kurikulum pendidikan selama bertahun-tahun pendidikan kita lebih mengacu pada kognitif. Pola pendidikan di sekolah yang ditangani guru lebih mementingkan ranah kognitif (pengetahuan), sementara ranah afektif (sikap) dan psikomotorik (keterampilan) terabaikan.
Menurut Dr, Suharno MSi, dalam tulisannya berjudul Jaringan Pendidikan Karakter, menyatakan;  “Pendidikan selama ini bisa dikatakan kurang efektif dalam mendidik karakter peserta didik. Penyebabnya antara lain karena selama ini proses pendidikan karakter yang dilaksanakan di lembaga pendidikan formal, keluarga dan masyarakat cenderung berjalan sendiri-sendiri. Substansi dan proses pendidikan yang tidak sinergis satu sama lain akan melahirkan masyarakat yang tidak mantap dan terbelah..” Krjogja.com, 16/12/2016)
Hal tersebut diperkuat oleh Azyumardi Azra, bahwa ada beberapa masalah pokok yang menjadi akar krisis mentalitas dan moral di lingkungan pendidikan, yaitu; arah pendidikan telah kehilangan objektivitasnya; pada saat yang sama para peserta didik dihadapkan pada kontradiksi nilai (contradictory set of values);  Dan, selain itu, para peserta didik juga sulit mencari contoh teladan baik (uswah/hasanah/living moral exemplary) di lingkungannya. (Republika,19/5/2016).
Seharusnya orang tua menjadi peletak pondasi nilai-nilai sikap anak-anaknya, karena orang tua adalah pendidik utama dan pertama pada anaknya. Saat anak dididik di sekolah, orang tua harus mendukung program sekolah tentang kedisiplinan. Kalau guru di sekolah menghukum anak dalam rangka membentuk karakter disiplin, jujur dan berbudi pekerti orang tua jangan salah paham. Masyarakat juga harus memahami konsep mendidik. Di dalam pendidikan ada hadiah dan ada hukuman. Tidak malah mengkompori, untuk memeenjarakan guru yang salah dalam mendidik anak sekolah.
Perlu Keharmonisan
Dalam rantai jenjang pendidikan, keluarga (ibu-bapak) menjadi penentu hitam putihnya sikap kepribadian anak. Oleh karena itu, kiat dan penguatan peran orang tua dalam mendidik karakter dan sikap kepribadian anak di rumah harus dilakukan sejak balita dan dilakukan sepenuh hati. Pimpinan dan tokoh masyarakat menjadi contoh yang bermartabat. Dan guru benar-benar mendidik dengan landasan kompetensi dan dilakukan secara profesional.
Dengan demikian, harmoninasi pembentuk karakter bangsa akan terwujud. Dan upaya membangun pendidikan yang sinergi ini, sebagai antisipasi untuk mengentaskan penyimpangan moral, susila, sosial dan patologi sosial seperti yang disebut di atas.

                                                                                                              ————- *** —————

Rate this article!
Tags: