Hasrat dan Tekad Ber-“Negara Islam”

Agus IswandriyantoOleh :
Agus Iswandriyanto
Jebolan FIA Unibraw Malang jurusan Administrasi Negara. Pernah menjadi aktivis pers mahasiswa dan aktivis HMI, kini berprofesi sebagai aktivis pada sebuah partai politik.

Makhluk apakah gerangan ISIS? Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) dialihbahasakan sebagai Negara Islam Irak dan Suriah (NIIS) belakangan menjadi isu santer yang meresahkan. Frase “Negara Islam” yang terkandung di dalamnya merupakan katakunci yang sangat krusial. Tidak bisa tidak, negeri ini punya pengalaman traumatis ihwal diskursus hubungan antara agama dan negara. Para pihak yang berseteru – mendukung “Negara Islam” versus penentang yang ditudingnya mendukung aspirasi negara sekuler – sangat sensitif untuk saling mendidihkan darah dalam rivalitas memperjuangkan cita-cita.
Muatan media pekabaran secara luas mempropagandakan bahaya ISIS beserta paham takfiri yang mengiringinya. Masyarakat diharapkan senantiasa ekstra-waspada sebab infiltrasi yang dilakukan mengambil berbagai bentuk. Bukan sekadar kecemasan islamophobia yang mengada-ada, tapi memang merupakan problema nyata yang sangat serius karena ideologi diperlakukan absolut disertai daya-bius klaim-klaim ketuhanan. Dengan berbasiskan agama yang diklaimnya bersumber langsung dari eksistensi Tuhan maha-absolut yang diyakini, segala cita-cita dan perjuangannya seketika terkabul kun fayakun.
Hasrat ISIS mendirikan kekhalifahan Islam yang menguasai dunia dengan Indonesia sebagai bagian darinya, meskipun bergerak diam-diam secara klandestin di “bawah tanah”, telah menjadi faktor krusial bagi bangsa Indonesia. Sebagai negara berpopulasi muslim terbesar sejagad, sudah barang tentu Indonesia menjadi incaran serius bagi cita-cita tersebut. Mereka meyakini ada saja kaum muslim yang terhanyut dan terbius akan sistem khilafah yang lebih dari gagasan, tapi juga berupa tindakan politik, bahkan horor dan teror jihad yang menebar maut. Dekadensi maupun kegagalan tatanan sistem “bukan-Islam” merupakan amunisi yang paling ampuh untuk memprovokasi para pengikut, sampai rela berbaiat lahir batin, hidup dan mati, lantas mengikuti cita-cita mereka yang diklaimnya berdimensi surgawi.
Ditarik ke masa lampau sejarah negeri ini, pada awal abad 20 sesungguhnya juga terbentang benang merah teramat panjang yang berkelit berkelindan hingga kini. Dari induk semang yang sama Serikat Islam HOS Tjokroaminoto (1905), ternyata berbiak menjadi tiga haluan besar dengan tiga top figure kharismatik sangat berpengaruh, nasionalis (Soekarno), komunis (Musso), dan Islamis (Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo). Artinya, benih-benih maupun obsesi negara teokrasi berbasis Islam bukanlah isapan jempol atau cuma isu yang baru muncul belakangan menyusul kehebohan radikalisme ISIS.
Sesudah Soekarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia tertanggal 17 Agustus 1945, ketiga haluan saling bersaing untuk mendeterminasi negeri yang sedang berjuang membebaskan diri dari pendudukan kolonial. Tak terelakkan, rivalitas yang terjadi bukan sekadar perdebatan gagasan, tapi juga berwujud clash fisik pertumpahan darah. Musso yang memproklamasikan berdirinya Republik Soviet Indonesia tertanggal 20 September 1948 kemudian meregang nyawa dalam Peristiwa Madiun 1948. Kartosoewirjo yang memproklamasikan Negara Islam Indonesia tertanggal 7 Agustus 1949 di Tasikmalaya akhirnya menemui ajal di depan regu tembak (1962).  Belakangan Soekarno dibikin mengenaskan oleh tipu-muslihat ambisi kekuasaan yang canggih, faksi Angkatan Darat yang dikontrol  Soeharto dengan berideologi kekuasaan murni (pure power), hingga beliau tutup usia 21 Juni 1970.
Makna yang terkandung dari catatan sejarah, ihwal hubungan antara agama (baca: Islam) vis-à-vis negara selalu merupakan faktor krusial yang sangat sensitif menimbulkan konflik serius. Mereka memandang agama lebih dari sekadar sistem ritual, tapi juga merupakan totalitas tatanan hidup dan kehidupan yang mutlak bersifat kewahyuan Illahiah, yang berarti para pemeluknya dihukumi wajib  menjadikannya sebagai pondamen tatanan kebernegaraan. Tekad yang diiringi nukilan ayat-ayat kitab suci yang dijunjung tinggi, kemudian merupakan senjata yang efektif-efisien untuk menggerakkan para pejuang jihad Islamis. Hasrat dan fanatisme keberagamaan berkobar-kobar seperti itu dirasakan menjadi sangat nikmat, sangat heroik, tatkala diperlakukan sebagai instrumen untuk menghadapi musuh.
Idealisasi yang absolutistik ihwal besaran keagamaan yang dilakoni pun bersifat menegasikan  isme-isme lain. Kalaupun harus ada kenyataan berdialog, selalu diperlakukan sebagai sarana unjuk superioritas dirinya dengan mensubordinasi pihak lain. Di luar pola-pola hubungan itu seketika ditolak, bahkan mencari-cari alibi semisal menudingnya sebagai “itu ide sekuler”, “itu  buah pikiran komunis”, “infiltrasi zionis”, dan semacamnya. Rasa keberagamaan dikonstruksikan berhadapan melawan musuh, sehingga hanya dengan cara itu nilai keimanan dan religiusitas seseorang dinilai kaffah ataukah bid’ah.
“Hukum Alam” Benang merah sejarah negeri yang terbalut oleh aspirasi teokrasi Islamis, menegaskan bahwa sekarang dan waktu mendatang selalu mungkin ada ahli-waris yang mencetuskan letupan mengejutkan. Oleh karena dirasa terlalu berat untuk secara terbuka tampil manifest dalam panggung percaturan politik demokratis, yang ditempuh adalah gerakan laten oleh sosok-sosok yang lihai merekrut kader. Organisasi keagamaan arus utama yang rahmatan lil ‘alamin semisal NU dan Muhammadiyah, bilamana kehilangan kewaspadaan sangat mungkin dijadikan sasaran infiltrasi radikalisme yang membius umat.
Lantas bagaimana mesti mengendalikan hasrat dan tekad mereka untuk ber-“Negara Islam” yang sudah terlanjur kelewat doktriner? Persuasi dan edukasi menyadarkan, semisal dengan unjuk pilar utama Bhinneka Tunggal Ika yang konvensional, terasa kurang memadai menghadapi fanatisme mereka.
Ihwal keyakinan akan doktrin tertentu akan mencapai tatanan ideal surgawi, mengacu “hukum alam”, pada kenyataannya bukankah kalau tidak mencapai keberhasilan niscaya mencapai kegagalan. Akan halnya hasrat ber-“Negara Islam” seperti berkumandang lantang dengan gegap-gempita paham ISIS, kalau menjadi nyata, pun bisa sukses dan bisa pula gagal. Terlalu sumir mengklaim bahwa dengan mengusung ideologi berbasis wahyu ketuhanan sejati, seketika pasti sukses menciptakan tatanan ideal surgawi, seolah dedengkotnya adalah para malaikat berwujud manusia yang tak pernah salah secuil pun.
Dengan berbasis hukum alam, betapa pun sebuah gagasan terideologisasi sistematis, bukankah selalu dilekati ceteris paribus yang mungkin alpa untuk diantisipasi? Tatkala klaim Illahiah sudah ditebar dengan daya-bius luarbiasa, karena faktor ceteris paribus malah berbuah kegagalan, harap maklum jika legitimasi keagamaan merosot ke titik nadir. Pada abad ke-15, otoritas Gereja dengan klaim ketuhanan absolut menjadi jungkir balik, sebab kebenaran empiris kasatmata justru ditunjukkan Galileo Galilei yang membuktikan Bumi berbentuk bulat dan bukan datar seperti ajaran Gereja. Akankah atas nama hasrat dan tekad ber-“Negara Islam”, mereka mau mengulang kisah serupa itu? Wallahuallambissawab.***                           (Penulis adalah pemerhati masalah-masalah ideologi, kebangsaan dan keagamaan)

                                                                                                                    ———— *** ————

Tags: