Hendak Ditahan, Tersangka Korupsi Aset Pemkot Surabaya ”Mencak-mencak”

Soendari, tersangka dugaan korupsi aset Pemkot Surabaya marah-marah dan menolak untuk ditahan oleh penyidik Pidsus Kejati Jatim, Senin (2/4). [abednego/bhirawa]

Kejati Jatim, Bhirawa
Ruang pemeriksaan Pidana Khusus (Pidsus) di lantai lima gedung Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Senin (2/4) tiba-tiba gaduh. Hal itu disebabkan oleh seorang perempuan bernama Soendari (48) yang tak mau ditahan penyidik atas kasus dugaan korupsi aset milik Pemkot Surabaya berupa eks Kantor Kelurahan Rangkah di Jl Kenjeran Surabaya.
Pemeriksaan tersangka dilakukan sejak pukul 09.00. Dan kegaduhan yang dilakukan tersangka berlanjut hingga di lantai dua gedung Kejati Jatim. Di mana tersangka Soendari tetap bersikukuh tidak mau ditahan oleh penyidik Kejaksaan. Bahkan tersangka mengaku masih menunggu pengacaranya untuk menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah, hingga sekitar pukul 14.30 tersangka berhasil dibawa ke dalam mobil tahanan.
“Tunggu pengacara saya. Saya nggak mau masuk rutan (rumah tahanan). Lihat saja nanti siapa yang menang, Kejaksaan apa saya,” ucap Soendari kepada penyidik Pidsus Kejati Jatim yang hendak melakukan penahanan, Senin (2/4).
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Jatim Richard Marpaung mengatakan tersangka diduga tanpa hak telah memasuki tanah milik Pemkot Surabaya di Jl Kenjeran 254 Surabaya yang dulunya dipakai untuk Kantor Kelurahan Rangkah. Tanah dengan luas 537 meter persegi itu dibeli Pemkot pada 1926 berdasarkan Besluit nomor 4276.
Lanjut Richard, pada 1999 Kantor Kelurahan Rangkah dipindahkan di Jl Alun-alun Rangkah No 25 Surabaya. “Pada 2003, tersangka Soendari membuat peta bidang atas tanah di Jl Kenjeran 254 Surabaya tanpa bukti kepemilikan tanah dan bangunan yang sah. Hingga pada 2004 ada proyek pelebaran akses Jalan Kenjeran menuju Jembatan Suramadi, dan lahan itu termasuk lahan yang terkena proyek,” jelasnya.
Pada lahan tersebut, masih kata Richard, terdapat warung milik tersangka yang terkena gusur dengan ganti rugi bangunan Rp 116 juta. Namun tawaran ganti rugi tersebut ditolak oleh tersangka Soendari yang kemudian mengajukan konsinyasi di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Hingga pada2008 tersangka nekat memasuki lahan itu lagi.
“Pada 2014, tersangka malah menjual tanah tersebut seharga Rp 2,1 miliar kepada pembeli yang telah membayar lunas. Padahal tanah dan bangunan aset tersebut telah dibeli Pemkot Surabaya pada tahun 1926 dengan Besluit nomor 4276,” tegas Richard.
Dari kasus ini, Richard menambahkan kerugian negara mencapai Rp 2,1 miliar. Ditanya terkait kesulitan penahanan tersangka, Richard mengaku, penyidik telah mempunyai bukti-bukti yang cukup dalam kasus ini. “Bukti-bukti dari penyidik sangatlah cukup dalam kasus ini. Tersangka kami tahan di Rutan Kelas I Surabaya di Medaeng Sidoarjo karena alasan tahanan perempuan,” pungkasnya.
Menanggapi penahanan ini, Adil Pranadjaja selaku pengacara tersangka menyesalkan penahanan yang dilakukan Kejati Jatim. Sebab dalam kasus yang menyeret kliennya ini, Pemkot Surabaya tidak memiliki bukti jika lahan kliennya disebut sebagai aset negara. Sedangkan kliennya diakui Adil mempunyai bukti, sehingga tetap mempertahankan tanahnya.
“Telalu terburu-buru (penahanan oleh penyidik). Klien kami punya bukti berupa peta bidang tanah tersebut. Kalau tidak ada peta bidang, mana mungkin BPN mengeluarkan sertifikat. Kita akan ajukan gugatan perdata ke Pengadilan,” imbuhnya. [bed]

Tags: