Hentikan Politisasi Terorisme

Oleh:
Ani Sri Rahayu
Pengajar Civic Hukum (PPKn) Univ. Muhammadiyah Malang 

Zaman dan situasi saat ini yang namanya kemajuan teknologi adalah suatu hal yang mustahil bisa kita hindari. Teknologi seakan menjadi suatu yang utama dalam kehidupan manusia modern saat ini. Seakan ada ketergantungan sangat besar terhadap teknologi, utamanya teknologi informasi.
Dilema kecanggihan teknologi
Entah kita sadari atau tidak hadirnya kecanggihan teknologi, bisa membawa manfaat sekaligus ancaman buat si penguna. Itulah yang bisa penulis simpulkan diawal penulisan opini kali ini. Melalui kecanggihan teknologi, dunia serasa berada dalam genggaman. Bahkan seperti saat ini, hadirnya media sosial menjadi penanda era informasi digital, termasuk di Indonesia dengan 130 juta pengguna hingga Januari 2018.
Meski demikian, perlu kita ketahu bersama bahwa kecanggihan teknologi bukan semata-mata berkah bagi peradaban. Namun, sebaliknya kecanggihan teknologi itu sendiri bisa menjadi tantangan yang serius. Tidak cuma soal bagaimana caranya agar tidak tertinggal, upaya agar kecanggihan teknologi tak malah menghadirkan kekacauan pun kian berat untuk ditunaikan. Misalnya, saat ini yang paling up to date adalah masalah kekerasan atau radikalisme. Merujuk dalam hal radikalisme ini, penelitian Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI) menemukan media sosial mempercepat radikalisasi karena seseorang dapat terpapar pesan radikal dalam frekuensi tinggi.
Sebanyak 85 persen narapidana terorisme mengaku melakukan aksi teror hanya dalam rentang kurang dari satu tahun setelah terpapar radikalisme melalui media sosial. Sebuah akselerasi yang signifikan jika dibandingkan dengan sebelum populernya media sosial. Pasalnya, terpidana terorisme 2002-2012 rata-rata mulai radikal dalam kurun lima sampai 10 tahun sejak pertama terpapar hingga melakukan aksi terorisme.
Itu artinya keberadaan media sosial jelas memudahkan kelompok teroris dan radikal melakukan propaganda dalam menunjukkan eksistensi, bahkan melakukan rekrutmen anggota baru. Terlalu banyak bukti yang menyebutkan para teroris belajar membuat bom dari media sosial. Karena keberadaannya jelas meningkatkan interaksi, media sosial bisa membuat simpatisan menjadi mudah mengakses informasi. Komunikasi di antara sel-sel pelaku teror lebih memungkinkan lewat kanal-kanal privat medsos. Penyebaran kontennya pun lebih masif dengan jangkauan lebih besar.
Bahkan, tidak hanya itu, melalui media social itupun masih banyak yang mengambil manfaat atas sebuah tragedi kemanusiaan ialah sebuah perilaku yang sangat tidak terpuji. Bisa kita katakana sebagai perbuatan yang tidak terpuji, karena pada saat sebagian dari kita masih berduka karena ditinggalkan anggota keluarga, sebagian yang lain justru menggunakan momentum dari tragedi tersebut untuk menarik keuntungan baik pribadi, kelompok, maupun golongan.
Di ranah publik, ada saja individu dan kelompok kepentingan yang menggunakan tragedi bom Surabaya untuk menyudutkan pemerintah dan partai-partai pendukung pemerintah. Isu-isu yang sarat teori konspirasi bertebaran di media sosial. Mulai tudingan pengalihan isu, lemah dan buruknya kinerja aparatur Polri dan intelijen, hingga kegagalan pemerintahan digunakan untuk menguatkan kampanye mengganti presiden pada Pilpres 2019.
Politisasi isu terorisme
Jujur sebagai penulis setelah mengetahui semua ini sangat kecewa. Kenapa ada saja orang yang berspekulasi tanpa bukti yang jelas, namun berani berkata-kata di media social seperti itu. Ungkapan-ungkapan yang ada bukannya meredam situasi menuju baik, tapi malah justru terkesan sampai provokator. Yang tentu saja bisa menyulut onar situasi. Sudah sepatutnya dalam situasi dukacita yang mendalam akibat tragedi yang ditimbulkan aksi biadab para teroris, sebagai sesama anak bangsa kita prihatin dan saling mendukung.
Sudah semestinya bangsa ini berpikir dan berjiwa besar dengan melupakan dulu perbedaan politik. Politisasi isu terorisme hanya akan memperlebar perbedaan politik yang tidak mungkin berujung pada perpecahan. Kita tentu sama sekali tak menginginkan itu terkadi. Oleh karena itu, sekali lagi, hentikan politisasi isu terorisme. Kita mesti membantu Polri dan penegak hukum lain untuk mengenyahkan terorisme dari Bumi Pertiwi.
Selain itu, perlu kita garis bawahi atau kita sepakati bahwa hadirnya terorisme ini bukan representasi Islam. Islam adalah agama perdamaian dan kedamaian. Secara harfiah arti Islam itu sendiri adalah keselamatan, kedamaian atau perdamaian, ketundukan, dan kepasrahan diri. Tidak ada satu pun ayat Alquran (juga dalam kitab suci agama-agama lain) yang menyuruh dan mengajarkan kepada para pemeluknya untuk melakukan terorisme, radikalisme, brutalisme, kekerasan, kejahatan, perusakan, penyerangan, dan pembunuhan baik terhadap anggota umat seagama maupun terhadap anggota jemaat tidak seagama.
Islam adalah agama yang mengajarkan kepada semua manusia tercipta salam (keselamatan dan perdamaian) sesuai arti, esensi, visi, dan misi Islam itu sendiri. Dalam arti doktrin dan praktik, Islam identik dengan kedamaian, perdamaian, keadaban, dan peradaban sebagai tatanan kehidupan yang dibangun atas dasar moral kenabian dan etika ketuhanan.
Nabi Muhammad (nabi yang diutus oleh Allah untuk membawa dan menyiarkan agama Islam) menyandang misi sebagai pembawa rahmatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam), bukan sebagai pembawa mudarat, bencana, malapetaka, dan laknat bagi alam semesta. Terorisme tidak identik dan bukan merupakan representasi agama (Islam) dan tidak mewakili umat Islam.
Timbulnya radikalisme, ekstremisme, dan terorisme sama sekali tidak berasal dan tidak bersumber dari ajaran agama yang sangat sakral dan bersifat ilahiah. Akar-akar radikalisme, ekstremisme, dan terorisme di kalangan minoritas kelompok agama lebih disebabkan oleh eksklusivitas pemaknaan agama, rigiditas penafsiran teks-teks kitab suci, truth claim (klaim kebenaran) agama secara picik, sempit, dan berlebih-lebihan, kesenjangan sosial ekonomi, dan radikalisasi-politisasi-ideologisasi agama.
Di akhir penulisan artikel ini penulis sangat mengapresiasi tindakan Kementerian Komunikasi dan Informatika menggandeng platform media sosial untuk mengambil langkah. Sebanyak 280 akun Telegram, 300 akun Facebook, 250 lebih akun Youtube, dan sekitar 70 akun Twitter telah ditindak yang terbukti melalukan tindakan memanfaatkan tragedi kemanusiaan untuk mengambil manfaat politik. Politisisasi isu terorisme, selain menambah luka mereka yang masih berduka, akan membuat kasus terorisme menjadi kian sulit diselesaikan hingga ke akar-akarnya.
Selain buruk bagi ekonomi, kegaduhan jika terus dibiarkan akan semakin membelah bangsa ini ke dalam kelompok-kelompok yang saling melemahkan bahkan bisa menyulut kekacauan di negeri ini. Kita sebagai bangsa Indonesia sudah semestinya konsisten bahwa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, keadilan juga merupakan tonggak untuk membina persatuan, kesatuan, ketahanan, dan persatuan nasional.

———- *** ———–

Rate this article!
Tags: