Hidung Elektronik, Alat Pendeteksi Penyakit Asma

Dr Ir Agus Sujono

Dr Ir Agus Sujono
Di era industri 4.0 atau era digitalisasi apa yang tidak mungkin menjadi mungkin. Terbukti, para ilmuwan berlomba-lomba membuat inovasi dengan memanfaatkan teknologi. Seperti halnya yang dilakukan Dr Ir Agus Sujono dalam mengembangkan metode diagnosa udara pernapasan menggunakan Hidung Elektronik dalam disertasi doktoralnya di Departemen Teknik Elektro Istitute Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya (ITS). Ide itu tercetus karena mahalnya diagnosa penyakit asma yang menggunakan Gas Chromatography (GC).
Hari begitu ia disapa menjelaskan jika hingga saat ini pengembangan teknogi pemantauan medis dan metode diagnosa yang biasa digunakan masih didasarkN pada komposisi cairan pada manusia seperti darah dan urin. Meskipun, cara tersebut memiliki akurasi yang sangat tinggi dan biaya yang terjangkau. Akan tetapi hal tersebut justru membutuhkan waktu yanh lama dan berbahaya bagi pasien dan petugas.
“Metode diagnosa lain yang sedang berkembang saat ini adalah metode diagnosa udara pernapasan. Metode ini memanfaatkan sampel udara yang diambil dari pasien yang kemudian dianalisis untuk mengetahui perubahan konsentrasi senyawa tertentu,” ungkap pria yang memperoleh gelar sarjananya di ITS ini.
Pria kelahiran Kediri ini menyayangkan biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan diagnosa dengan metode ini. Karena bisa menyentuh kisaran puluhan juta rupiah, dan menurutnya biaya tersebut sangat mahal. Selain itu, proses pengambilan sampel dan pengujiannya pun rumit. Oleh karena itu, ia mengusulkan alternatif lain yang lebih murah dan bersifat portabel, yakni Hidung Elektronik. Dengan menggunakan deret sensor gas dan Support Vector Machine (SVM), sistem ini mampu bekerja dengan cepat dalam menirukan cara kerja manusia, klaimnya.
“Dasil penelitian yang saya lakukan sejak tahun 2009 lalu, inovasi teknologi saya ini mampu menghemat sampai 90 persen biaya diagnosa penyakit asma,”papar dia.
Dijelaskan Hari, pengembangan Hidung Elektronik dalam penelitiannya ini menggunakan tujuh buah sensor gas tipe Metal Oxide Semiconductor (MOS), di antaranya sensor Karbondioksida (CO2), Karbon Monoksida (CO), Hidrogen (H2), NO, H2S, NH3, dan VOC. Setiap sensor digunakan untuk mendeteksi senyawa-senyawa di dalam udara pernapasan yang mengindikasikan adanya asma pada subjek. Sehingga alat tersebut dapat beroperasi dalam tiga tahap untuk menghasilkan keseluruhan respon sensor dengan total 150 detik.
“Hasil ini tentu lebih cepat daripada diagnosa menggunakan GC yang memerlukan waktu beberapa hari,”kata dia. Kendati begitu, Hari menyadari jika alat yang ia kembangkan masih perlu banyak peningkatan, terutama pada sensitivitas dan selektivitas dari sensor yang digunakan. Ke depan, ia berharap alat tersebut bisa dioptimalkan sehingga dapat segera digunakan oleh masyarakat dan mampu memberikan informaai mengenai kondisi pasien yang menderita penyakit asma dengan lebih akurat dengan biaya yang terjangkau. [ina]

Tags: