Hidup Mulia dengan Menjaga Lisan

Bicaralah-Yang-Baik-atau-Diamlah-200x300Resensi Buku :
Judul Buku    : Bicaralah yang Baik, atau Diamlah…
Penulis     : Iqro’ al-Firdauz
Penerbit     : Safirah, Yogyakarta
Cetakan     : I, Juni 2014  
Tebal     : 188 halaman
ISBN       : 978-602-255-601-7
Peresensi  : Hendra Sugiantoro (Pegiat Pena Profetik Yogyakarta)

Tahukah mengapa Allah SWT menciptakan wajah kita terdiri atas dua telinga, dua mata, dan satu mulut? Kalau kita mau merenung, hal tersebut menyimpan hikmah bahwa kita sepatutnya lebih banyak melihat dan mendengar ketimbang berbicara. Isi buku ini mengajak kita agar bisa menjaga lisan dan mengingatkan betapa pentingnya selalu berbicara yang baik.
Allah SWT berfirman, “Tidak ada suatu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”(Qs. Qaf:18). Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”(HR. Bukhari dan Muslim). Dari ayat Al-Qur’an dan hadits tersebut, kita secara tegas dituntunkan untuk menjaga lisan. Namun, disadari atau tidak, banyak dari kita bisa berbicara, tetapi tidak mampu berkata dengan baik. Memang hanya persoalan kata-kata, namun dampak dari ucapan kata-kata bisa begitu luar biasa.
Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya ada seorang hamba yang mengucapkan suatu kalimat yang diridhai Allah meskipun kadarnya tidak seberapa, dengan kalimat tersebut Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan, sesungguhnya seorang hamba yang mengucapkan suatu kalimat yang dimurkai Allah, meskipun kadarnya tidak seberapa, maka kalimat tersebut menyebabkannya terjerumus ke dalam neraka.”(HR. Bukhari). Nikmat Allah SWT berupa lisan memang bentuknya kecil, namun perannya sangatlah besar. Dengannya, kita bisa terhormat atau mungkin bisa terlaknat. Menjaga lisan adalah salah satu cara agar kita menjadi seseorang yang bahagia dan mulia di dunia dan di akhirat (hlm. 3-4).
Maka, dalam berbicara, kita perlu memiliki pemahaman atau pengetahuan yang benar mengenai suatu hal. Janganlah asal berbicara jika kita tidak paham atau tidak jelas mengenai suatu hal karena bisa memicu masalah, baik saat ini maupun kelak. Kita perlu menggunakan dua mata untuk melihat sekitar kita, realitas dan fakta, serta kebenaran yang sesungguhnya sebagai referensi yang utuh. Kita juga harus mendengar kebenaran-kebenaran dengan dua telinga. Banyak sekali perselisihan atau pertengkaran lantaran kita asal berbicara tanpa melihat terlebih dahulu realitas dan tanpa mendengar kebenaran yang sejatinya (hlm. 8-9).
Terlalu banyak berbicara tentang hal-hal yang tidak berguna adalah suatu keburukan yang nyata. Keimanan kita tidak akan sempurna sebelum kita mampu menjaga lisan dari berbicara kotor, keji, dan tiada manfaatnya. Perkataan yang baik mengandung kebaikan, kelayakan, dan kebenaran. Salah satu tolok ukur bahwa perkataan kita baik adalah tidak menjadikan orang lain sakit hati, tersinggung, marah, dan kecewa. Lebih baik diam karena khawatir salah ucap daripada memaksakan diri atau sengaja berbicara sementara isi pembicaraan kita menyinggung atau menyakiti orang lain. Berkata baik itu keutamaan. Diam menjadi pilihan terbaik apabila kita tidak bisa berkata baik (26-30).
Hal yang juga penting adalah mengendalikan kata-kata ketika kita dalam kondisi marah, kesal, dan benci. Marah yang tak terkendali adalah salah satu senjata setan. Dengan marah, seseorang mudah sekali mengucapkan kalimat kekafiran, menggugat takdir, berkata jorok, mencaci maki, bahkan sampai berkalimat cerai yang membubarkan rumah tangga. Dalam hal ini, Rasulullah SAW memberi teladan yang apik. Terhadap orang yang membenci pun, beliau tetap berkata baik dan berlaku santun. Kita janganlah memelihara perilaku marah sampai berkata-kata kasar yang dapat menyakiti hati orang lain (hlm. 85-91).
Beberapa cara agar kita bisa menahan marah dan tidak berkata-kata kasar antara lain membaca ta’awudz, berwudhu, dan berpikir positif. Cara lainnya bisa dengan memosisikan tubuh kita lebih rendah dari sebelumnya. Jika amarah datang saat berdiri, maka cobalah untuk duduk. Jika sedang duduk, maka rebahkanlah tubuh kita (hlm. 98). Berbicara santun dan lemah lembut itu keharusan. Terhadap orangtua, Allah SWT menganjurkan kita agar berkata dengan ucapan yang mulia (qaulan karima) (QS. Al-Israa’: 23). Artinya, perkataan yang baik dan sopan, perkataan yang memberikan penghargaan dan penghormatan (hlm. 116-117).
Dalam berdebat pun, kita dianjurkan untuk tidak berbantahan secara negatif (Qs. An-Nahl: 125, Qs. Al-Ankabut: 46). Debat dilakukan dengan cara yang baik (ahsan), menghindari diri dari sikap bangga diri dan takabur, menghindari perkataan buruk dan keji, melenyapkan ambisi selalu ingin menang dan tidak ingin kalah, serta tidak mencaci maki (hlm. 127-132).
Buku ini memberikan pengetahuan dan cara-cara menjaga lisan agar selalu terbingkai dalam kebaikan. Pedoman praktis berbicara ala Nabi Muhammad SAW pun disajikan di bagian akhir buku ini. Jika lisan ibarat pedang bermata dua, maka jadikanlah hidup kita mulia dengan senantiasa menjaga lisan. Berbicaralah yang baik, atau diam.

——————— *** ———————–

Rate this article!
Tags: