Hindari Boikot Pajak

Boikot pajak bisa menjadi gerakan sosial sebagai aksi “protes” masyarakat (wajib pajak). Kekecewaan masyarakat terhadap gaya hidup hedonis kalangan pegawai pajak (dan Bea Cukai) bisa berubah menjadi gerakan kontra produktif. Setelah terungkap transaksi mencurigakan senilai Rp 300 trilyun (sejak tahun 2009), kekecewaan masyarakat bisa semakin memuncak. Pemerintah wajib menjawab temuan PPATK, dan segera menindaklanjuti dengan aksi kongkret “bersih-bersih” aparatur negara yang nakal.

Tragedi penganiayaan biadab oleh anak pejabat Ditjen Pajak, seolah-olah menjadi pintu masuk pemeriksaan menyeluruh terhadap pegawai Pajak. Pamer harta, dan gaya hidup hedonis pejabat menjadi pangkal kekecewaan masyarakat terhadap pejabat dan birokrat. Semakin mengecewakan ditambah dengan pelayanan yang tidak baik, dan hanya pamer kuasa. Gaya hidup mewah bisa memicu penyalah-gunaan kekuasaan birokrasi (dan jabatan politik). Biasa berujung kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN).

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) juga mengungkap temuan 134 pegawai Ditjen Pajak Kementerian Keuangan yang memiliki saham di 280 perusahaan. Walau tidak terdapat UU yang melarang, namun terasa tidak etis. Karena bisa menumbuhkan konflik kepentingan. Kepemilikan saham bisa sebagai alat penyamaran kekayaan. Sangat berpotensi menjadi Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Terbukti dari kasus RAT (orangtua pelaku penganiayaan biadab) yang menyamarkan kekayaan.

Inspektorat Jenderal (Itjen) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menemukan adanya sebagian aset RAT yang kepemilikannya menggunakan nama orang lain. Temuan itu berdasarkan hasil audit investigasi terhadap harta kekayaan RAT. Bahkan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) mencatat jumlah fantastis. tidak tanggung-tanggung, tercatat sampai Rp 500 milyar! Sudah tergolong TPPU sistemik yang sangat meng-khawatirkan. Karena kekayaan yang besar akan digunakan untuk menyuap penegak hakim.

Banyak pejabat Ditjen Pajak (dan Bea Cukai) bertindak sebagai “penyamun,” karena berhasil membangun kejahatan (TPPU) sistemik. Berhasil disembunyikan sejak tahun 2009, meliputi 160 lebih laporan. Terbukti sistemik, dengan melibatkan 467 orang, di berbagai Kementerian. Namun tidak pernah ditindak lanjuti. tidak ada ada kelanjutan informasi terhadap laporan transaksi mencurigakan. Karena uang hasil TPPU ditebar ke berbagai pejabat pemeriksa.

Seluruh rekening RAT (orangtua pelaku penganiayaan biadab) beserta rekening keluarga (yang diketahui) telah dibekukan oleh PPATK. Juga ditelusuri berbagai rekening yang berhubungan dengan RAT dan keluarga. KPK berjanji memeriksa setiap pegawai Ditjen Pajak (dan Bea Cukai) yang terlibat TPPU. Kementerian Koordinator Bidang Polhukam sebagai Ketua Tim Pengendalian TPPU, akan membawa laporan pencucian uang sebesar Rp 300 trilyun kepada KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian RI.

Penganiayaan biadab oleh anak RAT, menjadi pembuka “bersih-bersih” pada kalangan pejabat Kementerian Keuangan. Sebelumnya juga terdapat kasus Gayus Tambunan (tahun 2010), pergawai rendah di Ditjen Pajak yang memiliki kekayaan mencapai Rp 74 milyar. Serua boikot pajak muncul. Beberapa wajib pajak orang pribadi menyatakan enggan melaporkan pajak tahunan. Lebih lagi saat ini media sosial dapat menjadi penggerak netizen.

Maka pemerintah (terutama Presiden, dan Menteri Keuangan) wajib mencegah seruan boikot pajak. Menteri Keuangan bersama Ketua Tim Pengendalian TPPU berjanji menindak tegas setiap pegawai negeri yang menyembunyikan harta kekayaan. Juga menjamin kinerja aparat Pajak, tetap jujur dan profesional. Pemerintah patut mencegah TPPU, dan KKN, melalui peraturan yang kukuh. Terutama tentang restitusi pajak. Serta peraturan Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan.

Walau masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap pegawai pajak (dan Bea Cukai), boikot pajak bisa diancam pidana. Namun pada visi lain, pemerintah patut menjaga kepercayaan masyarakat wajib pajak.

——— 000 ———

Rate this article!
Hindari Boikot Pajak,5 / 5 ( 1votes )
Tags: